Bab 7. Wisnu vs Amanda

859 Kata
Para orang tua sudah mulai membahas dan memperkenalkan tujuan mereka untuk mempertemukan dua orang dalam status yang sama-sama single. "Hubungan kita juga semakin dipererat dengan tali silaturahmi yang semakin kokoh. Saya sangat yakin, kalau nak Wisnu bisa menjadi imam yang baik untuk cucu saya, Amanda." Pak Riswan berkata seraya menatap pada Wisnu. Sementara Amanda sendiri sudah duduk gelisah di tempatnya. Wanita itu benar-benar tidak bisa menikah dengan seorang laki-laki yang bahkan tidak dikenalnya. "Kek, mohon maaf, bukannya menikah beda agama itu nggak boleh, ya?" Amanda mengangkat sebelah tangannya sambil menatap kakeknya dengan takut-takut. Pak Riswan menoleh menatap cucunya dengan senyum tipis. "Tentu saja, menikah berbeda agama itu nggak diperbolehkan dalam agama kita. Kalaupun tetap dilanjutkan, itu namanya zinah seumur hidup. Kenapa Manda bertanya seperti itu?" Amanda menatap sekelilingnya kemudian beralih menatap pada sosok pria yang akan dijodohkan dengannya. "Bukannya dia non muslim? Matanya sipit, otomatis dia bukan dari agama yang sama dengan kita 'kan? Iya 'kan? Udah pasti iya dong," ujar Amanda penuh percaya diri. Kali ini ia memiliki kesempatan dan alasan untuk menolak perjodohan yang ditentukan oleh kedua belah pihak keluarga. Ini terlalu cepat baginya. Bahkan, sangat cepat sehingga Amanda merasa jika saat ini ia sedang berada di alam mimpi. Semua orang yang berada di dalam ruang tamu, kecuali Amanda tertawa. Bahkan, Ibu dari pria itu pun menutup mulutnya saat tertawa. "Kamu salah, Amanda. Walaupun matanya sipit, kulitnya putih, dia terlahir sebagai Muslim. Soalnya, ayahnya sendiri seorang mualaf sebelum menikah dengan ibunya." Pak Yadi yang duduk di sebelah putrinya menjelaskan. Spontan bahu Amanda yang semula berdiri tegak kini akhirnya luruh begitu saja mendengar apa yang diucapkan oleh ayahnya. "Jadi, bagaimana, Amanda, kamu setuju menerima perjodohan yang kakek dan juga orang tua Wisnu tentukan untuk kalian berdua?" Pak Riswan bertanya pada cucunya dengan hati-hati, membuat Amanda gelisah terutama ketika tatapan matanya bertemu dengan mata tua kakeknya. Belum lagi ekspresi wajah kakeknya yang agak melas, membuat Amanda sedikit tidak tega kalau harus menolak. Apalagi di hadapan banyak orang seperti ini, dia jelas tidak ingin mempermalukan kakeknya dan membuat pria tua itu merasa sedih. "Ya udah, aku bakalan menerima perjodohan ini," ujar Amanda, setelah berusaha menenangkan diri. "Kamu sendiri Nak Wisnu, apa kamu setuju menikah dengan Amanda dan menerima perjodohan ini?" Tatapan Paman Amran langsung tertuju pada Wisnu yang sejak tadi hanya diam. Wisnu yang ditanya mengangkat kepalanya. Ditatapnya semua anggota keluarganya dan juga anggota keluarga Pak Riswan yang kini penuh harap padanya. Wisnu menghela napas dengan berat, namun tidak tega juga kalau harus menolak. Setelah berpikir matang-matang, pria itu akhirnya menganggukkan kepalanya. "Saya bersedia." Amanda tentu langsung melotot matanya pada pria itu. Bukan karena mendengar jawaban pria itu, tapi karena ekspresi pria itu yang tampak ragu-ragu dan juga terlihat sangat berat, membuat Amanda tidak terima. Seolah-olah Wisnu menerima perjodohan ini terpaksa. Padahal jelas ia adalah orang yang paling menolak di sini. Dirinya memiliki wajah rupawan yang cantik, ditolak secara halus oleh pria di hadapannya tentu membuatnya merasa harus memberikan pria ini sebuah pelajaran. "Alhamdulillah kalau begitu, nanti kita akan menentukan tanggal pernikahan mereka. Kakek harap, kalian bisa mengenal satu sama lain sebelum nanti lanjut ke jenjang yang lebih serius," ujar Pak Riswan. Amanda melangkahkan kakinya ke teras belakang rumah di mana banyak sekali tumbuh-tumbuhan milik sang kakek yang ditanam oleh mereka. Duduk membelakangi cahaya, sosok Wisnu terlihat menghadap pada sayur-sayuran milik sang kakek. Amanda diminta oleh kedua orang tuanya dan juga ibunya Wisnu untuk mendatangi pria itu. Harga diri Amanda sekali lagi tergores karena harus menghampiri laki-laki lebih dulu. Segera wanita itu mendekat kemudian segera berdiri di samping kursi yang bisa menampung 2 orang dewasa duduk. Tangannya terlipat di d**a, menatap pemandangan di hadapannya dengan ekspresi wajahnya yang dibuat sedatar mungkin agar pria itu tahu jika ia juga menolak perjodohan ini. Tidak ada yang membuka suara sedikitpun. Keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Amanda sudah tidak sabar lagi untuk berbicara. Kakinya bergerak ke sana kemari, sebelum akhirnya wanita itu berdeham. Sekali berdeham, tidak mendapat respon. Dua kali berdeham, masih terasa hening. Tiga kali berdeham, baru kemudian Amanda menolehkan kepalanya menatap Wisnu yang masih tetap menatap kosong pada hamparan sayuran di hadapannya. "Lo nggak usah kepikiran dan seolah-olah kalau perjodohan ini adalah beban lo doang. Lo tahu kenapa? Karena gue juga paling anti dijodohin dan menolak keras perjodohan ini. Nggak usah merasa seolah-olah lo yang paling menderita." Amanda berbicara panjang lebar sambil memutar tubuhnya sedikit menghadap pada Wisnu. "Jangan berpikir seolah-olah gue mau banget nikah sama lo. Nggak. Gue nggak mungkin mau menikah dengan laki-laki macam lo. Apalagi status lo itu duda, dih. Paling-paling lo ditinggal bini karena lo yang nggak becus." Katakanlah jika kata-kata yang diucapkan oleh Amanda sangat kejam. Namun, Amanda tidak peduli. Segera setelah Amanda mengucapkan isi hatinya, Wisnu yang sedang melamun menoleh menata tajam Amanda. Wajah ini tentunya Amanda akhirnya ingat karena dia adalah orang yang membukakan tutup botol untuknya di toko kemarin sore. "Ngapain lo melotot-lotot gitu? Lo pikir gue bakalan takut? Dengar, ya, gue pribadi bakalan melakukan berbagai macam cara buat gagalin perjodohan ini. Karena apa?" Amanda menegakkan tubuhnya menatap tajam Wisnu. "Karena gue nggak mau nikah sama lo." Wanita itu mengibaskan rambutnya kemudian berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Wisnu yang tercenung di tempat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN