Amanda merasakan keram pada perutnya. Sepertinya ia akan datang bulan. Namun, wanita itu lupa Jika ia tidak membawa pembalut sama sekali. Tidak ada minuman pereda nyeri datang bulan, dan di rumah ini hanya ada dirinya seorang serta Siti.
"Duh, kenapa datangnya mesti hari ini 'sih? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja pas gue lagi di jakarta." Amanda menggerutu kesal. Wajahnya mengkerut, dengan keluhan yang terlihat jelas dari raut wajahnya.
Kedua orang tuanya serta kakek dan juga bibi bersama pamannya pergi menghadiri acara pernikahan saudara dari pihak ibunya.
"Si Siti ke mana lagi? Ini anak pasti keluyuran pergi main. Emaknya udah bilang buat jagain gue, ini bocah malah hilang." Amanda menggerutu sambil menyentuh perutnya. Wanita cantik itu terus meringis kesakitan.
Tidak tahan dengan rasa sakit di perutnya, segera Amanda masuk ke dalam mobil dan melaju pergi menuju toko yang sempat didatanginya kemarin.
Mau jalan kaki? Amanda tidak sekuat itu untuk jalan kaki. Mau terbang pun tidak bisa karena Amanda tidak pernah memiliki sayap.
Saat sedang sakit seperti ini, kadang pikiran melantur, seperti yang terjadi sekarang.
Jadi, ia harus mencari minuman pereda sakit perut dengan membawa kendaraan roda empatnya sampai akhirnya tiba di depan toko.
Beruntung ayahnya yang sangat baik hati itu tidak membawa mobil. Jika tidak, ia lebih milih untuk berguling dari rumah sampai ke toko.
Dilihatnya toko yang tidak terlalu ramai. Wanita itu turun sambil mengambil uang yang tersimpan di dalam kotak dan masuk ke dalam toko melewati Wisnu yang sedang menata barang-barang di rak.
Pria itu hanya melirik pada Amanda, dan tidak berkomentar apapun.
"Oy, minuman pereda nyeri haid mana? Perut gue sakit banget, nih," ujar Amanda.
Hal yang paling dibenci oleh dirinya adalah mencari. Jadi, daripada membuang waktu untuk mencari sesuatu, lebih baik ia bertanya secara langsung.
"Minuman pereda nyeri haid, Mbak? Ada di daerah sini." Seorang gadis berusia sekitar 21 tahun menunjuk rak yang tersedia di minuman pereda haid.
Amanda segera bergegas menuju rak tersebut dan mengambil sebotol minuman. Wanita itu mencari sosok yang ada di dekatnya untuk membukakan tutup botol.
Tidak ada orang lain selain dirinya di rak ini. Sedangkan perempuan yang menunjuk arah rak pergi entah ke mana.
Amanda kemudian mencari siapapun yang bisa membuka tutup botol miliknya ini. Perutnya sudah sangat nyeri, dan ia butuh minuman yang biasa diminum setiap bulannya itu.
"Oy, tolong buka tutup botol minuman ini dulu." Amanda menemukan sosok yang kemarin sempat membuka tutup botol minumannya juga.
Baru diketahui oleh Amanda jika namanya adalah Trisno, laki-laki yang dijodohkan dengannya.
Sosok yang tak lain adalah Wisnu menolehkan kepalanya, kemudian mengambil tutup botol tersebut dari tangan Amanda dan membukanya.
"Ini," ujarnya dengan suara berat.
Amanda langsung mengambil botol tersebut dan menegak minuman hingga sisa setengah. Sakit masih terasa, namun tidak sesakit sebelumnya. Wanita itu mengangkat kepalanya menatap Wisnu.
"Thank you, Trisno?" Amanda ragu-ragu karena ia tidak terlalu ingat dengan nama pria di hadapannya. Namun, sepertinya ia tidak salah kalau namanya adalah Trisno.
"Aku Wisnu, bukan Trisno."
"Oh, whatever what your name." Wanita itu berbalik, mengambil satu bungkus pembalut dan segera melangkahkan kakinya menuju kasir untuk melakukan pembayaran terhadap dua item yang sudah dibawanya.
"Cuma dua ini aja." Amanda menyerahkan barangnya ke kasir yang langsung discan.
"Tunggu sebentar ya, Mbak."
Kasir perempuan tersenyum tipis mengambil uang Amanda kemudian mencari kembalian di dalam laci.
Tak lama kemudian Amanda merasakan suatu menempel di lengannya, membuatnya menolehkan kepala, menatap Wisnu dengan sebelah alis terangkat.
"Kenapa?"
"Ambil jaket ini buat tutupin belakang kamu."
"Kenapa dengan belakang gue?" Amanda memutar sedikit tubuhnya untuk melihat bagian belakang yang dimaksud oleh Wisnu.
Merasa tidak ada yang aneh, Amanda tidak mengambil jaket tersebut.
"Celana kamu berwarna kuning. Tembus," jelas Wisnu.
Amanda membelalakkan matanya dan dengan gerakan cepat segera menarik jaket tersebut dan melingkarkan di pinggangnya.
Ekspresi wajahnya terlihat tenang dan datar, meskipun di dalam hatinya ia merasa malu bisa-bisanya ia tidak menyadari Jika ia tembus.
"Bodoh banget gue, kenapa bisa pakai celana warna cerah," kata Amanda, dengan suara pelan.
Wisnu menatap Amanda, sebelum pria itu berbalik pergi melanjutkan kembali pekerjaannya.
Sedangkan Amanda sendiri, menyerahkan selembar uang 50 ribu pada kasir dan mengambil dua item miliknya tanpa menunggu kembalian.
"Mbak, tunggu, ini uang kembaliannya!"
"Nggak usah! Ambil aja." Wanita itu menyahut tanpa menolehkan kepalanya ke belakang dan langsung bergegas pergi masuk ke dalam ke mobilnya.
Mobil kemudian melaju dengan kecepatan sedang menuju kembali ke rumah kakeknya.
Di teras rumah ia melihat keberadaan Siti yang terlihat kebingungan.
Turun dari mobil, Amanda membawa plastik berisi item yang ia beli tadi.
"Dari mana aja lo? Dari tadi gue cari, nggak ketemu-ketemu juga." Amanda langsung bertanya saat sudah berdiri di hadapan Siti.
"Aku tadi habis dari kamar mandi, Mbak. Perut aku sakit. Tapi, pas aku keluar, aku nggak lihat Mbak Manda dan langsung cari." Siti yang berusia 11 tahun menjawab pertanyaan Amanda. "Mbak dari mana? Beli kue?"
"Kue dari Hongkong."
"Kue dari Hongkong?" Kepala Siti miring ke samping. "Enak nggak?"
"Enak banget. Sampai sekali pakai langsung buang."
Amanda melengos masuk ke dalam rumah begitu saja meninggalkan Siti yang bengong di tempat karena tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Kakak sepupunya.