Nyeri pada setiap datang bulan itu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Amanda untuk melewati hari-hari dengan keram di perut dan juga nyeri. Maka dari itu, setiap ia datang bulan, maka wanita cantik 25 tahun itu lebih suka mengurung diri di kamar, seperti apa yang dilakukannya saat ini.
Amanda masih terlelap dalam tidurnya ketika suara ketukan pintu membangunkannya.
"Masuk aja, Bu. Pintu kamarnya nggak aku kunci," sahut Amanda sambil berteriak.
Wanita itu merenggangkan tubuhnya, tanpa mengangkat tubuhnya dari tempat tidur. Sungguh hari-harinya terlalu malas jika harus bergerak. Keluarganya mungkin juga sudah pulang dari acara hajatan di tempat saudara mereka.
Tak lama kemudian pintu terbuka dan terlihat ibunya yang melangkah masuk dengan membawa tatakan dengan cangkir putih di atasnya.
Amanda mengerut keningnya. "Bau apa ini, Bu?" Wanita itu segera bertanya saat ibunya sudah duduk di samping tempat tidur.
Tempat tidur yang ditempati oleh Amanda berukuran sedang dan hanya bisa menampung dua orang dan sayangnya Amanda menolak siapapun yang akan tidur bersamanya.
"Ini ada jamu buat menghilangkan rasa nyeri datang bulan. Dibuat sama ibunya Wisnu, katanya kalau kamu mau nggak sakit lagi setiap datang bulan, harus diurut perutnya, terus harus rajin minum jamu selama seminggu. Insya Allah, nanti kamu nggak akan merasakan nyeri lagi."
"Urut perut? Memang boleh kalau urut perut, Bu?" Amanda bertanya karena wanita itu tidak mengerti apa-apa.
"Adalah. Ibu dulu sering keram seperti kamu ini waktu masih gadis. Terus dibuatin jamu dan diurut sama Mbah kamu. Makanya sakit perut ibu itu udah hilang. Alhamdulillahnya lagi, pas nikah langsung dapat kamu."
"Apa hubungannya?" Amanda tidak mengerti sama sekali.
"Ibu juga nggak tahu. Tapi, biasanya di kampung ini kalau ada orang yang sakit perut waktu datang bulan langsung diurut dan minum jamu biar cepet sembuh. Soalnya, kalau keterusan, nanti sampai menikah agak sulit punya anak."
Amanda hanya menganggukkan kepalanya. "Itu minumannya buat aku? Dijamin ampuh nggak kalau sakit perut aku langsung hilang?"
"Kamu berobat sama dokter aja masih perlu proses buat sembuh, setelah minum obat. Kamu kira, ini seperti zaman purbakala di mana ada yang bisa menyembuhkan dalam waktu sedetik?" Ibunya menggelengkan kepala melihat tingkah laku putrinya itu. "Nah, sekarang kamu minum ini biar perut kamu agak enakan. Walaupun kamu minum minuman setiap bulannya, cuma mereda sebentar doang 'kan?"
Amanda mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh ibunya.
Segera wanita cantik itu mengambil segelas cangkir dan langsung meminum jamu di dalam gelas itu dalam sekali tenggak. Setelah itu, jeda beberapa waktu sampai akhirnya Amanda mengambil air putih dan meminumnya.
"Bu, minta tolong sama Siti buat anterin jaket itu di tempat laundry. Tadi aku dikasih pinjam Trisno buat pakai jaketnya, karena aku tembus waktu belanja tadi."
Amanda menunjuk pada jaket yang kini teronggok di atas gantungan tembok. Tadi dia belum sempat untuk mengantar ke laundry karena harus tidur lebih dulu.
Setidaknya jika jaket tersebut sudah di laundry, Amanda tidak begitu merasa terbebani lagi karena jaket tersebut sudah diserahkan pada pemiliknya.
Lagi pula, jaketnya tidak ada noda darah sama sekali, hanya saja tidak mungkin Amanda mengembalikannya dalam kondisi yang sama dan belum dicuci.
"Di sini mana ada laundry, Manda. Orang-orang lebih suka mencuci sendiri di sungai. Lagian juga, kamu tadi dipinjemin jaket sama siapa? Jangan biasa pakai barang orang yang nggak kamu kenal," kata Bu Yuni.
Tidak ingin putrinya sembarangan untuk meminjam pakaian orang lain. Apalagi jika orang itu memiliki penyakit kulit, bisa repot mereka jika Amanda terkena penyakit ketularan dari orang.
Ada jerawat sedikit saja, satu rumah bisa heboh karena teriakan Amanda.
"Sama Trisno, Bu. Cowok yang dijodohin sama aku. Masa iya Ibu lupa sama namanya?"
Bu Yuni langsung mencubit pipi putrinya itu dengan gemas. "Bukan ibu yang lupa namanya, tapi kamu yang nggak inget. Namanya itu Wisnu, bukan Trisno." Bu Yuni menggelengkan kepalanya. "Ya udah kamu istirahat dulu, nanti kalau sakit perutnya udah reda, kamu boleh keluar. Biarin jaket Wisnu, ibu yang akan cuci."
"Ibu yang mau mencucinya? Ya udah, terima kasih Ibu kesayangan aku." Amanda tersenyum sambil merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Bu Yuni tersenyum tipis. Wanita itu mencium kening putrinya, sebelum akhirnya ia berbalik keluar dengan membawa tatakan dan juga gelas kosong yang sudah dihabiskan oleh Amanda.
Amanda, putrinya, paling tidak bisa kalau harus merasa sakit. Merasa sakit sedikit saja harus cepat-cepat langsung berobat. Jadi, obat apapun yang diberikan oleh mereka, maka langsung ditenggak oleh Amanda sejak kecil dan tidak takut untuk minum obat.
"Gimana keadaan Amanda, Bu? Sudah baikkan dia?" Pak Yadi, menatap istrinya yang baru saja keluar dari kamar putri mereka.
Ekspresi wajahnya terlihat khawatir. Meskipun hal ini sudah biasa dialami oleh putrinya sejak dulu, tetap saja Pak Yadi tidak bisa menutupi rasa khawatirnya. Apalagi Amanda adalah anak satu-satunya yang dimiliki olehnya. Sakit sedikit saja putrinya, Pak Yadi akan merasa khawatir berlebihan.
"Sudah diminum obatnya, Pak. Semoga aja bisa cepat sembuh. Untung aja Bu Astri buatin Amanda sebotol jamu buat persediaan besok sampai beberapa hari ke depan. Semoga saja anak kita cepat sembuh," sahut Bu Yuni pada suaminya.
"Amin, Bu. Bapak juga sangat berharap semoga dengan ini Amanda bisa cepat sembuh total."
Amanda adalah putri satu-satunya yang dimiliki oleh Pak Yadi dan juga Bu Yuni. Sejak kecil anak mereka itu sudah sangat dimanja. Pak Yadi bahkan tidak memperbolehkan putrinya untuk memegang sapu sejak kecil karena terlalu sayang dan memanjakan putrinya.
Sayang sekali, Amanda tumbuh bukan sebagai anak manja, tapi justru semakin barbar.