Keesokan harinya.
Sakit perut Amanda tentu sudah reda sehingga wanita itu sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala.
Maka hari ini, ibunya meminta agar ia mengembalikan jaket milik Wisnu di rumah sebelah.
Baru kemudian disadari oleh Amanda jika sudah 3 hari di sini ia tidak pernah melihat keberadaan Wisnu di rumahnya.
"Duh, ibu, kenapa nggak Siti ajak sih yang disuruh mengembalikannya? Apa bedanya tangan aku sama Siti sendiri yang antar?" Amanda menyampaikan protes pada ibunya yang meminta dirinya sendiri yang mengantarkan jaket tersebut ke rumahnya Wisnu.
Padahal bisa saja Siti yang melakukannya, tapi ibunya yang baik hati ini justru memintanya yang mengantar langsung.
Bu Yuni berkata, "jelas aja beda, dong. Kamu yang dipinjamkan berarti kamu yang harus mengembalikan. Masa iya kamu nyuruh Siti yang balikinnya?"
"Ya memangnya kenapa kalau aku suruh Siti? Toh, cuma sebelah rumah doang." Amanda cemberut. Padahal tadi dia sedang bersantai namun ibunya tiba-tiba masuk ke dalam kamar sambil membawa jaket dan memintanya agar mengembalikan jaket tersebut.
"Sudah sana, kamu kembalikan lagi jaketnya. Apa jangan-jangan kamu terlalu sayang sama jaketnya sampai harus ditahan terus?"
"Enak aja. Aku juga nggak mau lihat jaketnya."
Gadis itu mengambil jaket tersebut dari tangan ibunya.
"Ingat, rumahnya Wisnu ada di sebelah. Kamu jangan perginya ke sembarangan rumah," peringat Bu Yuni.
Mengangkat bahunya, Amanda segera melangkah membawa paper bag berisi jaket milik pria itu untuk dikembalikan.
Cukup jalan kaki dan hanya mengambil beberapa puluh langkah sampai akhirnya ia kini tiba di depan rumah sederhana milik Wisnu dan juga keluarganya.
"Permisi!"
"Halo?"
Amanda berteriak di depan rumah memanggil siapapun yang ada di dalam untuk segera keluar. Namun, sudah beberapa kali memanggil tidak ada respon dari dalam padahal pintu rumah terbuka.
"Apa nggak ada orang di dalam? Tapi, pintu rumah kebuka. Eh, di sini rumah juga sering dibuka pintunya." Amanda mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Rumah di perkampungan kakeknya tentu sudah sangat ramai. Meski begitu mereka tetap memiliki jarak antara rumah satu dengan rumah yang lainnya karena masing-masing dari pemilik rumah memiliki lahan yang luas.
"Gue balik aja kali, ya? Terus nanti suruh Siti yang antar. Tapi, Siti masih sekolah." Amanda bergumam kebingungan.
Tak lama kemudian sosok seorang pria muncul mengenakan celana pendek dengan baju kaos berwarna biru tua keluar dengan membawa cangkul.
Amanda yang melihatnya tentu terkejut.
Pikirannya agak negatif thinking terutama saat melihat pria yang tidak lain adalah Wisnu keluar dengan membawa cangkul sambil melemparkan tatapannya padanya.
Bayangan Amanda adalah cangkul itu pasti akan melayang ke kepalanya.
"Ada apa?" Wisnu berdiri di hadapan Amanda menatap wanita itu dengan sebelah alis terangkat.
"Eh, nggak jadi mau lempar cangkul itu ke kepala gue?" Amanda bertanya tercengang sejenak sebelum akhirnya wanita itu berdeham. "Maksudnya, gue datang ke sini cuma mau kasih ini sama lo. Jaket yang lo pinjamin kemarin, thanks," ujar Amanda, menatap Wisnu.
Wisnu menatap paper bag di tangan Amanda sebelum akhirnya pria itu mengambilnya.
"Iya."
"Selain jadi pegawai toko, lo juga jadi tukang cangkul?" Amanda bertanya. "Jadi tukang cangkul kuburan atau lahan?" Kepalanya miring ke samping menatap polos pada pria yang tampak pendiam di hadapannya.
"Mau merumput di depan rumah."
Jawaban Wisnu membuat Amanda segera menolehkan kepalanya ke belakang melihat halaman depan rumah Wisnu yang sudah lumayan ada rumput-rumputnya.
"Oh." Wanita itu menganggukkan kepalanya. "Sekali lagi thanks, dan gue pergi."
Amanda kemudian melengos pergi begitu saja. Wanita itu mengangkat roknya hingga sebatas betis membuat Wisnu segera mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Di kampung ini, tentu Amanda harus memakai pakaian sopan. Tidak ada hotpants, tidak ada rok mini, tidak ada dress kekurangan bahan, dan sebagai macamnya yang sering dipakai oleh Amanda saat ada di kota.
Ibunya dan ayahnya melarang dia untuk berpakaian sembarangan di kampung halaman orang.
Tiba di rumah, sudah ada kakeknya yang duduk santai di teras.
"Dari rumah Wisnu? Kakek senang kamu akhirnya akrab dengan Wisnu. Kakek benar-benar berharap dia bisa menjadi cucu menantu kakek," ujar kakek Riswan. Pria itu tersenyum menatap pada cucu kesayangannya itu.
Semua cucu kakek Riswan tentu disayangi olehnya. Namun, pria tua itu tidak munafik jika kadar cinta dan sayangnya lebih besar pada Amanda. Pasalnya, Amanda adalah cucu perempuan satu-satunya yang ia miliki sebelum menantunya hamil anak kedua dan melahirkan anak yang diberi nama Siti.
Amanda menarik kursi kemudian duduk di sebelah kakeknya. "Kakek benar-benar pengen aku nikah dengan dia? Kalau aku udah menikah dengan dia, terus gimana dia bisa memenuhi kebutuhan hidup aku?"
"Kalau soal itu kamu tenang saja. Toko yang ramai itu, itu punya Wisnu. Dia punya omset lumayan setiap bulannya. Terus, punya beberapa hektar lahan juga yang ditanam padi dan sawit. Kamu hidup nggak akan susah." Kakek Riswan menatap cucunya dengan senyum manis.
"Oh, iya? Berarti omsetnya lebih dari 600 juta setiap bulan kalau begitu," kata Amanda.
"Ya nggak sebanyak itu. Kalau tokonya, paling cuma 8 juta bersih. Di sini nggak kayak di kota." Kakek Riswan meralat. "Entah kalau perkebunannya, kakek nggak pernah tanya."
Sementara itu Amanda sendiri memiliki penghasilan ratusan juta setiap bulannya. Bukan hanya dari pekerjaannya sebagai manager, namun ia juga merangkap menjadi seorang selebgram dengan hampir satu juta pengikut yang sering mendapatkan endorse. Tidak hanya itu saja, Amanda salah satu beauty vlogger dengan subscriber 2 jutaan dan satu kali upload video tentunya langsung mengundang banyak penonton.
Meski dimanja oleh kedua orang tuanya sejak kecil, Amanda selalu diajarkan untuk mencari uang. Jadi, wanita itu memiliki pemasukan dalam nominal yang besar setiap bulannya. Tidak salah jika ia memiliki banyak teman dari banyak kalangan. Lalu, ia harus menikah dengan laki-laki seperti Wisnu? Rasa-rasanya Amanda ingin segera melarikan diri dan menyusun rencana agar tidak dipaksa menikah.