Kian’s POV Di antara hening dan dinginnya malam di Dieng, aku terbangun. Senyumku langsung terbit begitu melihat Nafi terlelap pulas di depanku. Aku yang menangis lama, tetapi mata Nafi-lah yang justru tampak lebih sembab. Rasa empati istriku ini memang luar biasa tinggi. Terutama jika sudah menyangkut aku, suaminya. Dia bisa menangis lebih banyak, sampai-sampai aku bingung menenangkannya. Tadi sore, aku memang menangis lama di pundaknya. Aku tidak bisa membendung lagi rasa rinduku pada Bapak dan Ibuk. Rasa itu mendadak membuncah begitu saja. Itu benar-benar tak dapat kukendalikan, makanya aku langsung bilang ke Nafi kalau aku ingin menangis lagi. Sepertinya, hanya di depan Nafi aku tidak malu dan tidak takut menangis. Hanya di depannya saja aku tidak perlu khawatir dihakimi. Bagaiman