Prolog
“Yang mau dijodohin sama kamu itu orangnya ganteng, Fi. Percaya sama Bunda. Bunda udah lihat orangnya langsung. Lebih ganteng dari yang di foto.”
Lagi dan lagi, Bunda mempromosikan calon menantu yang telah beliau siapkan untukku. Calon menantu yang sampai detik ini masih enggan kulihat wajahnya, bahkan di foto sekalipun.
“Mau Bunda kirim fotonya sekarang?”
“Enggak, Bund. Enggak usah. Orang aku enggak mau.” Aku menolak, dan ini sudah kesekian kalinya.
“Seenggaknya kamu lihat dulu, Fi—”
“Bund, ini keretaku udah mau datang. Udahan dulu, ya, teleponnya?”
“Ya udah. Besok dibahas lagi kalau kamu udah di rumah. Bunda yakin kamu suka—” kalimat Bunda tidak terdengar lagi karena panggilan sudah kumatikan.
Bunyi kereta terdengar nyaring. Aku lekas berdiri dan ikut berbaris bersama penumpang lain. Tak lupa, kunaikkan maskerku dan kupakai lagi topiku. Jujur, aku tidak menyangka kalau yang akan naik sebanyak ini. Hampir berjejal, padahal kelas eksekutif. Kelas ekonomi sepertinya lebih lagi.
Ngomong-ngomong, saat ini aku sedang berada di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Aku baru saja liburan, menepi sejenak dari hiruk-pikuk Ibu Kota.
Aku masuk gerbong tiga, tempat kursiku berada. Antrian mulai lengang karena aku rela masuk terakhiran. Toh kursi sudah dipesan, tidak akan diambil orang. Beda dengan angkutan umum, yang mana siapa cepat dia dapat.
“Kursiku nomor 17D. Ah, itu!” Aku lekas menghampiri kursiku, dan ternyata sudah diisi seorang bapak-bapak gendut yang perutnya bergelambir sampai tumpah-tumpah. Kursi sebelahku masih kosong.
Aku berdehem pelan, berniat menegur baik-baik. “Permisi, Pak. Kursi saya nomor 17D. Bapak salah kursi sepertinya.”
“Salah? Enggaklah! Saya udah beli, kata anak saya di gerbong tiga. Ya suka-suka saya mau duduk di mana!”
“Pak, sistem kereta api enggak boleh kaya gitu. Kursinya harus sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Boleh saya lihat tiketnya, Pak? Saya bantu carikan kursi milik Bapak kalau memang sama-sama di gerbong tiga.”
“Enggak mau. Sama mau duduk di sini aja. Enak.”
Wah! Tak kusangka, aku bertemu penumpang rewel seperti ini. Selama ini aku hanya melihat di internet bagaimana orang ribut di kereta atau pesawat karena kursinya diambil orang lain. Kini giliranku yang mengalaminya sendiri.
“Kenapa enggak duduk?” tiba-tiba saja, ada seorang laki-laki yang sudah berdiri menjulang di belakangku. Dia juga mengenakan masker dan topi sepertiku.
“Kursi saya ditempatin orang, Mas. Ini lihat, nomor kursi 17D. Kalau mau cari petugas di mana, ya? Biasanya lewat, ini enggak lewat-lewat.”
“Kamu ke belakang dulu. Saya bantu. Petugas masih ngurus gerbong lain kayaknya.”
“Oke.”
Laki-laki itu meletakkan kopernya dan menaruhnya di rak atas. Setelah itu, dia duduk di kursi 17C.
“Pak, kereta ini sebentar lagi berangkat. Kalau petugas datang dan terbukti Bapak salah ambil kursi, Bapak bisa diturunin di tengah jalan dan kena denda.”
“Saya punya tiket, Mas! Jangan sembarangan nurunin saya! Enak aja!”
“Coba saya lihat dulu tiket Bapak.”
“Enggak mau! Masnya ini pacar Mbaknya, ya? Enggak usah ikut campur urusan orang! Nanti kena getahnya.”
“Wah!” Aku langsung melongo tak habis pikir. “Bapak ini udah gede banget, masih enggak tahu diri pula!” seruku spontan.
“Apa? Kamu berani ngatain saya?”
Aku langsung memejamkan mata ketika si Bapak Gendut berdiri dan hendak meninjuku. Namun, aku tidak merasakan apa pun. Begitu aku membuka mata, ternyata tangan si Bapak Gendut ditahan kuat oleh laki-laki 17C.
“Sudah saya bilang, Masnya jangan ikut campur—”
“Saya tahu Bapak kesal, dan dia juga salah karena ngatain. Tapi coba Bapak lebih kooperatif lagi. Pasti dia enggak akan—”
“Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?”
Akhirnya, pertugas datang. Aku menghela napas lega. “Ini, Pak. Kursi saya 17D. Saya sudah bilang baik-baik, dibantu Mas ini juga. Tapi Bapaknya ngeyel enggak mau pindah. Diminta tiketnya juga enggak mau nunjukin.”
“Pak, coba tunjukin ke saya tiketnya.” Petugas itu berujar tegas. “Kalau tidak mau, silakan keluar. Kalau masih tidak mau juga, saya akan panggil satpam buat nurunin Bapak sacara paksa.”
Bapak Gendut akhirnya menyerahkan tiket dan si petugas langsung memeriksa. “Bapak di gerbong delapan. Bukan tiga. Itu kelas ekonomi, bukan eksekutif. Mari, saya antar ke sana.”
“Jadi beneran bukan di sini?”
“Bukan. Jauh di belakang sana, Pak.”
Akhirnya, si Bapak Gendut berdiri dan menyingkir. Di saat yang sama, kereta mulai berangkat. Dia menatapku galak, dan aku langsung menunduk sejenak.
“Maaf, Pak. Tadi saya enggak bermaksud ngatain. Tapi tolong jangan nyusahin orang lain.”
“Ya!”
Akhirnya, si Bapak Gendut pergi bersama petugas. Aku lekas mengangkat koperku dan menaikkannya ke rak atas. Namun, karena posisi kereta sudah berangkat, aku hampir saja oleng. Untungnya, laki-laki 17C sangat peka. Dia memegangi lenganku dan mengambil alih koper.
Setelah itu, dia minggir dan menyuruhku segera duduk. Aku patuh, lalu menunduk sejenak padanya. “Terima kasih banyak, Mas. Buat yang barusan, juga yang tadi. Apa pukulan Bapak itu sakit?”
“Lumayan, tapi tidak masalah. Kamu juga salah karena ngatain fisik orang.”
“Iya, saya sadar. Makanya barusan saya minta maaf. Jujur, saya terlanjur kesal. Habisnya sudah ditanya baik-baik, tapi tetap enggak mau kooperatif. Bikin orang lain susah aja.”
“Ya sudah. Yang penting sekarang kamu bisa duduk dengan nyaman.”
Aku mengangguk. “Sekali lagi terima kasih banyak, Mas.”
“Ya.”
Aku melepas topi dan maskerku karena aku butuh makan. Nanti akan kupakai lagi kalau perutku sudah kenyang.
Aku baru saja membuka box nasi yang kubawa dari luar ketika tiba-tiba Bunda kembali meneleponku. Aku segera mengangkat panggilan dari beliau. “Apa lagi, sih, Bund?”
“Udah jalan keretamu?”
“Baru aja jalan.”
“Besok sampainya jam berapa?”
“Subuh pokoknya. Setengah limaan, apa, ya? Kisaran itu. Belum aku cek lagi jamnya.”
“Kamu kenapa pilih Stasiun Pasar Senen, sih, Fi? Jauh, lho, dari rumah.”
“Pilih yang keretanya murah. Bunda tenang aja, aku naik gocar. Enggak perlu dijemput.”
“Ya udah, hati-hati.”
“Oke, Bund.”
Begitu panggilan dari Bunda selesai, aku meletakkan ponsel di samping. Aku membuka lagi box makanan di depanku, lalu menoleh. “Makan, Mas.”
Alih-alih menjawab, laki-laki itu malah terus menatapku. Sekalipun topi dan maskernya masih dia kenakan, tetapi matanya terlihat jelas menatapku lurus-lurus.
“Wajah saya ada yang anehkah?” tanyaku akhirnya. Aku agak kikuk karena ditatap seperti itu.
“Enggak.”
“Masnya enggak mau makan?”
“Silakan makan saja. Jangan pedulikan saya.”
Aku tersenyum. “Baiklah.”
Sembari makan, aku mengabari kakak sepupuku lewat pesan. Namanya Mas Adam. Dia yang sudah berbaik hati menampungku selama di Jogja, meminjamiku motor untuk keliling, juga mengantarku ke stasiun.
Untungnya, istri dia baik. Akunya juga cukup tahu diri. Menumpang tiga hari harusnya tidak berlebihan. Toh aku datang dan pergi tidak dengan tangan kosong.
“Akhirnya, kenyang juga.” Aku membuang bungkus makananku di tempat sampah yang disediakan.
Aku melirik laki-laki yang duduk di sebelahku, kini dia sedang sibuk dengan laptopnya. Apa dia bekerja? Atau masih mahasiswa?
Ponselku kembali berdering. Aku hampir marah andai itu panggilan dari Bunda. Ternyata dari Mas Adam.
“Hallo, Mas?”
“Jaketmu ketinggalan, Fi.”
“He? Jaket yang mana?”
“Yang army. Ini si Agas yang nemuin di belakang.”
“Eh, iya! Ya udah, enggak papa. Minta tolong simpan dulu, Mas. Kapan-kapan aku ambil. Atau kalau Mas longgar, minta tolong dikirim ke Jakarta. Hehe …”
“Ya besok biar dicuci dulu.”
“Makasih banyak, Mas.”
“Sama-sama. Makasih juga, ini si Agas kesenengan kamu jajanin sebanyak itu.”
Aku tersenyum. “Syukurlah kalau dia suka.”
“Ya udah, aku mau ngabarin itu aja. Hati-hati di jalan. Kabari aku atau Anis kalau udah sampai!”
“Oke!”
Begitu panggilan selesai, aku mematikan ponselku. Aku ingin tidur. Aku lelah setelah tiga hari belakangan explore Jogja sendirian.
Liburan kali ini aku betul-betul hanya ingin melepas penat dengan menghabiskan waktu di Jogja, kota kelahiran Ayahku. Dulu aku cukup sering datang, tetapi belakangan ini tidak lagi. Terutama setelah Eyangku meninggal. Eyangku tinggal satu, yakni yang tinggal di Jepara— kota kelahiranku dan Bunda.
“Ehm!” laki-laki di sebelahku tiba-tiba berdehem agak keras. Aku menoleh.
“Ada apa, Mas?”
Dia menutup laptopnya, lalu menatapku. “Dalam rangka apa ke Jogja?”
“Main.” Aku tersenyum. “Kerjaan baru aja hectic, terus mereda. Mumpung tanggal merah sambung weekend, jadi saya manfaatin buat ke Jogja. Kalau Masnya, sih?”
“Sama saja.”
“Main juga? Tapi kenapa bawa laptop?”
“Biasa. Atasan agak rewel.”
Aku kembali tersenyum. “Atasan saya juga agak rewel. Tapi baik, sih. Jadi bisa dimaklumi.”
“Kenal dekat dengan atasan?”
“Enggak dekat juga, tapi sahabat saya itu mantannya.”
“Mantan?” kedua alisnya bertaut.
“Iya. Ini karena kita enggak saling kenal aja, ya, Mas. Saya mau cerita dikit. Toh saya juga enggak sebut merk. Jadi, saya punya sahabat. Diam-diam, dia itu mantan atasan saya. Plot twist banget, kan?”
“Kamu dukung mereka balikan?”
“Banget. Tapi ya terserah mereka, sih. Mereka udah dewasa, kok. Udah bisa ambil keputusan sendiri. Saya, mah, tim hore aja.”
Laki-laki itu mengangguk. Karena dia tidak membalas lagi, jadi aku memutuskan untuk segera mengenakan kembali masker dan topiku. Aku ingin tidur.
“Oh iya, Mas. Masnya turun di mana?”
“Pasar Senen.”
“Ah, sama. Amanlah, itu pemberhentian terakhir kereta ini. Jadi enggak takut kebablasan.”
“Kamu mau tidur?”
“Iyalah. Mau apa juga? Naik kereta saat malam enggak bisa lihat pemandangan apa pun. Memang tujuan saya biar bisa tidur panjang. Besok kerja soalnya.”
“Oke.”
Aku merpatkan jaketku, lalu tidur miring membelakangi si laki-laki 17C. Tak lupa, aku juga memanfaatkan selimut gratis yang disediakan untuk penumpang gerbong eksekutif. Sudah lelah, kenyang pula. Rasa kantuk jelas tak terelakkan lagi.
Kesadaranku belum benar-benar hilang ketika tiba-tiba kurasakan sandaran kursiku perlahan turun. Aku juga merasakan selimutku dibenarkan.
Aku lekas balik badan, laki-laki di sebelahku ternyata tidur. Mataku mengerjap bingung. Aku bahkan berdiri, hampir seluruh penumpang di kereta ini hening. Hanya beberapa saja yang sedang ngobrol santai dengan sebelahnya.
Aku kembali duduk, lalu kulihat lagi laki-laki yang duduk di sebelahku. Matanya terpejam rapat. Aku bahkan nekat mendekatkan wajah untuk memastikan dia betul-betul tidur atau tidak.
“M-mas?” aku mengibaskan tangan di depan wajahnya. Matanya tenang, tidak bergerak-gerak. “Lah, tidur beneran! Terus yang barusan siapa?”
Akhirnya, aku segera kembali ke posisi semula. Dengan perasaan bingung yang tak menentu, aku kembali memejamkan mata. Entah kenapa, aku mendadak merinding.
Siapa yang melakukan hal tadi? Masa iya, hantu?
***
Aku terbangun ketika mendengar penguman dari petugas kereta. Suara sekitar juga mulai gaduh. Ternyata, sebentar lagi sudah tiba di Stasiun Pasar Senen.
Tidurku sangat nyenyak. Hanya beberapa kali saja bangun, tetapi tidur lagi karena suasana kereta sungguh hening. Hampir semua orang pulas. Bahkan ada dengkuran dari beberapa penumpang pun tidak ada yang peduli.
Saat aku hendak mengambil koper, laki-laki di sebelahku langsung berdiri dan membantuku. Dia sungguh peka, bahkan hanya dalam sekali lirik.
“Terima kasih banyak, Mas.”
“Ya.”
Lima menit kemudian, aku dan laki-laki 17C sudah antri untuk keluar kereta. Kami jalan berurutan menuruni peron. Beberapa kali aku menguap karena rasa kantuk belum sepenuhnya hilang.
Sudah pasti, topi dan maskerku tidak akan kulepas di saat seperti ini. Wajahku jelas luar biasa berantakan.
Tepat ketika aku tiba di jalan menuju pintu keluar, tiba-tiba aku melihat Bapak Gendut yang tadi malam. Matanya langsung mendelik begitu melihatku.
Tunggu! Bukannya dia sudah bilang ‘Ya’ saat aku minta maaf?
Aku langsung bergegas keluar ketika Si Bapak Gendut berjalan cepat mengejarku. Sebenarnya aku ingin lari, tetapi tidak bisa. Selain padat orang, aku juga membawa koper.
“Aduh, harus sembunyi ke mana ini?” aku mulai panik. Aku takut sekali kena tonjok. Mau lapor satpam, alasannya belum cukup kuat karena kekhawatiranku baru sebatas asumsi.
“Mbak! Tunggu! Jangan kabur!”
“T-tadi saya sudah minta maaf, lho, Pak!
“Makanya tunggu!”
Aku tetap jalan cepat. Aku kurang paham area Stasiun Pasar Senen meski sudah beberapa kali ke sini.
“Mbak! Jangan kabur!”
Aku tak mengindahkan kalimat si Bapak Gendut. Aku juga tak berani dekat-dekat dengannya. Entah kenapa, tiba-tiba saja bayangan belasan tahun lalu mendadak terngiang di ingatanku.
Aku masih terus menghindar ketika tiba-tiba tanganku ditarik seseorang menuju parkiran mobil. Aku didorong masuk mobil warna putih, koperku pun dimasukkan sekalian. Begitu pintu ditutup, aku langsung terdiam.
Ternyata, ini ulah si laki-laki 17C. Aku hafal dengan jaket kulit warna coklatnya. Aku tersenyum lega sekalipun dia tidak akan melihatnya.
“Terima kasih, Mas ….” lirihku tulus, dan laki-laki itu langsung mengangguk.
“Di mana cewek itu?! Kok hilang?”
Kini, si Bapak Gendut sudah berdiri di dekat mobil. Aku terkesiap ketika laki-laki itu mendorongku dan mencium— ralat, tidak. Selain kami sama-sama mengenakan masker, dia juga menutupi bibirku dengan ibu jarinya.
“Kayaknya tadi lari ke sini? Apa sembunyi di dalam mobil?”
Kini, mataku hanya bisa mengerjap. Pasalnya, mataku dan mata laki-laki itu saling menatap dalam jarak yang sangat dekat. Aku tidak berkutik karena selain masih kaget, juga belum memungkinkan. Perlahan kurasakan laki-laki itu melepas topiku.
“Lah! Malah orang pacaran! Ke mana cewek itu?”
Setelah beberapa saat hanya hening, akhirnya laki-laki itu mundur. Aku menegakkan badan, kemudian menatap luar jendela. Bagus, si Bapak Gendut telah pergi menjauh.
“Akhirnya … dia pergi juga!” Aku menghela napas lega. “Dia langsung me-notice saya, masa? Dalam sekali lihat, lho!”
“Mungkin karena topimu mencolok.” Laki-laki itu mengulurkan topiku yang sempat dia lepas. “Soalnya warna kuning terang.”
“O-oh iya juga, ya? Pantesan! Ini topi dikasih istrinya sepupu.”
Laki-laki itu tidak menanggapi. Dia hanya berdehem pelan. Sebelum suasana menjadi sangat canggung, aku lekas keluar mobil dan menarik koperku. Laki-laki itu juga ikut keluar.
“Maafkan saya karena barusan lancang.”
“Meski saya kaget, tapi enggak papa. Itu demi melindungi saya. Pokoknya terima kasih banyak, Mas. Untuk semuanya. Sejak semalam, sampai pagi ini.”
“Ya. Sama-sama.”
“Masnya boleh lepas maskernya sebentar? Saya ingin lihat wajah—”
“Untuk apa?”
“Seenggaknya kita impas. Semalam saya sudah nunjukin wajah.”
“Kenapa harus impas?”
“Jadi enggak mau?”
Laki-laki itu menggeleng.
“Ya udah, enggak papa. Sekali lagi makasih banget, banget, banget!”
“Ya.”
Sebelum benar-benar pergi, aku kembali menatap laki-laki itu dan ternyata dia juga sedang menatapku. Entah kenapa, tatapan matanya membuatku berdebar kencang. Ini terjadi begitu saja dan sangat tiba-tiba. Semakin dia menatapku, semakin jantungku tak keruan.
Akhirnya, aku jalan cepat meninggalkan laki-laki itu. Aku menjauh sembari memegangi d**a kiriku yang terasa semakin menggila. “Jangan konyol, Fi! Mana mungkin kamu jatuh cinta sama laki-laki yang bahkan belum kamu lihat wajahnya!”
***
Jateng, 6 Maret 2025