Satu bulan kemudian …
“Bunda, aku enggak mau! Kenapa, sih, maksa mulu?”
Aku masih terus menolak untuk dijodohkan. Pokoknya aku tidak mau. Sekali tidak, tetap tidak.
“Kenapa enggak mau, padahal lihat aja belum?”
“Ini bukan soal orangnya, Bund. Tapi emang aku enggak mau dijodohin aja.”
“Salah sendiri, kamu udah Bunda kasih waktu berbulan-bulan buat bawa calon, tapi enggak kunjung bawa. Sekarang ini lagi marak LGBT, Fi. Lesbi dan gay di mana-mana. Kamu enggak termasuk, kan?”
Mendengar itu, aku langsung menganga. “B-bunda ngira aku masuk LGBT hanya karena enggak pernah pacaran? Parah, sih! Aku normal, Bunda. Aku tetap naksir cowok, kok.”
“Emang cowok yang kamu taksir itu enggak ada yang naksir balik?”
“Mana kutahu. Aku enggak pernah tanya.”
Bunda menggeram tertahan. Tampak gemas dengan jawabanku. Aku sendiri memilih untuk kembali melahap salad buah di pangkuanku.
“Di kantor lama, kamu enggak dapat-dapat karena katanya banyak yang toxic. Ini di kantor baru katanya baik-baik, tapi masih enggak dapat juga. Kamu itu cantik, Fi. Bunda objektif aja. Tapi kenapa satu pun enggak ada yang nyatol? Jangan-jangan kamu ada radar khusus yang bikin cowok menjauh?”
“Radar apa, sih, Bund?”
“Ya itu tadi. LGB—”
“Ya Allah! Lama-lama aku marah beneran dituduh lesbi terus. Bunda ini jahat banget. Anak sendiri dituduh belok.”
“Ya soalnya akhir-akhir ini lagi marak. Bunda, kan, khawatir kamu termasuk. Apalagi cewek itu enggak kelihatan. Dalih sahabatan, eh, ternyata pacaran.”
“Terserah Bunda aja, deh!”
Aku memilih untuk tidak menanggapi lagi. Ucapan Bunda setelahnya tidak ada yang kugubris. Aku hanya diam sembari terus makan.
“Kalau cara halus enggak mempan, Bunda sama Ayah terpaksa pakai cara yang ekstrem.”
“Ya sana. Aku enggak peduli!”
Bunda pergi dengan kesal. Aku meletakkan saladku, lalu merebah di sofa. Harusnya hari libur itu menyenangkan, tetapi bagiku, hari kerja terasa lebih baik.
Aku berangkat pagi, pulang petang. Sampai rumah bersih-bersih, makan, lalu istirahat.
Berbeda sekali dengan weekend. Dari pagi sampai malam isinya dibujuk untuk mau dijodohkan dengan laki-laki yang sampai detik ini masih belum kutahu namanya.
Kata Ayah, laki-laki itu anak dari teman beliau. Ya … biasalah! Semacam itu sudah menjadi template bagi orang Indonesia. Kalau tidak menikah dengan anaknya teman— atau kenalan— orang tua, ya menikah dengan teman sendiri.
Kalau aku pribadi, andai menikah adalah sebuah kewajiban, aku lebih memilih opsi kedua. Setidaknya, aku sudah kenal dengan temanku. Baik buruk sudah ada gambaran. Coba kalau dijodohkan? Sudah macam beli kucing dalam karung.
“Gini banget nasibku!” aku menghela napas pelan, lalu mulai memejamkan mata. Namun, tiba-tiba saja ponselku berdering. Ada telepon dari Mila.
Mila adalah teman kerjaku di tempat baru. Kami belum lama kenal, tetapi sangat mudah akrab karena seumuran. Dalam hitungan bulan saja, kami bisa dekat layaknya sudah kenal bertahun-tahun.
“Hallo, Mil?” sapaku ogah-ogahan.
“Storymu kok di Jogja, Fi? Kapan kamu ke sana? Atau sekarang ini?”
“Bukan, itu bulan lalu. Hehehehe …”
“Kok diem aja kalau habis dari Jogja?”
“Sengaja, Mil. Emang lagi pengen nenangin diri.”
“Niat banget baru diupload sebulan kemudian.”
“Biar orang ngiranya aku ke Jogja sekarang. Padahal, mah, udah lewat.”
“Kirain kalau beneran di Jogja, aku mau titip sesuatu.”
“Enggak, enggak. Aku lagi di rumah. Ini lagi rebahan di sofa.”
“Ya udah, aku tutup lagi aja kalau gitu. Niatku udah batal.”
“Oke, deh!”
Aku baru akan memejamkan mata lagi ketika kini kudengar langkah kaki mendekat. Aku melirik, Ayah dan Bunda datang bersamaan.
“Apa lagi, sih?” Aku bertanya frustasi. “Kenapa Ayah sama Bunda susah banget buat biarin weekend-ku tenang?”
“Fi …” panggil Ayah dengan nada rendah.
“Apa?”
“Kamu enggak punya pacar, kan?”
“Enggak.”
“Naksir orang atau enggak?”
“Enggak— eh, naksir.”
“Siapa?”
“Ya rahasialah!”
“Bukannya terkahir kali kamu bilang kalau yang kamu taksir itu udah nikah?” balas Bunda. “Yang kamu bilang enggak ada kabar apa-apa, tapi tahu-tahu upload foto di pelaminan?”
Bunda tidak salah. Orang yang sudah kutaksir selama bertahun-tahun— tepatnya sejak kuliah— memang sudah menikah. Dia menikah kisaran satu tahun lalu. Aku patah hati pada orang yang bahkan tidak tahu kalau aku teramat menyukainya. Suka sendiri, patah hati pun sendiri.
Miris, ya?
Sejak saat itu, hatiku seolah mati rasa. Sungguh!
“Iya, itu emang bener. Tapi ada lagi.”
Soal ‘ada lagi’ ini sebetulnya aku masih ragu. Perasaan yang kupunya masih terlalu samar.
“Siapa?” tanya Ayah.
“Kok Ayah ikutan kepo kaya Bunda?”
“Maksud Ayah, kalau emang kamu suka orang itu, Ayah kasih waktu sebulan lagi buat deketin orangnya. Kalau kamu berhasil, Ayah batalin perjodohan ini.”
Oh, ya ampun! Pada akhirnya mereka memang ingin aku segera menikah. Itu saja intinya. Tidak kurang, tidak lebih.
“Siapa, Fi?” tanya Bunda mulai gemas karena aku tak kunjung menjawab.
Kalau boleh jujur, jawabannya adalah laki-laki tempo hari. Iya, laki-laki di kereta, alias si 17C. Laki-laki yang menyelamatkanku dari serangan Bapak Gendut.
Entah kenapa, cara dia menatapku seperti berbeda dengan orang kebanyakan. Itu membuatku sangat sulit melupakan tatapannya. Di antara fase mati rasaku, baru dia yang kembali membangkitkan benih-benih suka dan sedikit butterfly effect di perut.
Aku tidak tahu apakah aku saja yang terlalu ke-pede-an, atau memang dia ada ketertarikan padaku. Terutama saat dia pura-pura menciumku, tatapannya terasa sangat dalam. Sayang sekali, aku belum tahu wajahnya, belum tahu pula namanya.
“Fi, kok diam aja?”
“Baru naksir biasa, Yah. Enggak ada niat buat deketin.”
Bagaimana mau mendekatinya? Aku saja tidak tahu dia tinggal di mana. Mau mencari tahu juga tidak ada clue sama sekali. Rumit!
“Tapi kamu ada goal menikah, kan? Jangan bilang mau single seumur hidup? Ayah enggak mau itu terjadi. Anak Ayah harus punya pasangan hidup.”
Aku terdiam. Bagian ini aku tidak yakin.
“Fi—”
“Ada, kok, Yah. Aku juga pengen nikah. Cuma belum ketemu aja sama yang klik.” Meski tak sesuai isi hati, ini adalah jawaban paling aman. Aku malas jika pertanyaan melebar ke mana-mana.
“Fi, Ayah tahu. Ayah dan Bunda akan terkesan kejam padamu. Tapi zaman sekarang, cari laki-laki buat dijadiin suami itu enggak cukup hanya sebatas ganteng dan kelihatan cinta aja. Cinta bisa dipupuk, tapi karakter orang itu udah terbentuk sejak kecil. Jangan sampai kamu salah pilih. Bisa sengsara seumur hidup!”
“Emang Ayah udah yakin kalau laki-laki yang mau dijodohin sama aku ini punya karakter baik? Ayah kenal berapa lama? Siapa tahu sikap dia menipu? Bisa aja, dong, Yah?”
“Kalau awal kenal, Ayah kenal dia udah dari tiga tahunan yang lalu. Dia kan anak temen Ayah. Kalau Ayah lagi ke rumahnya, sikapnya selalu sopan, baik, pokoknya bikin Ayah terkesan. Dulu kan belum ada niatan mau jodohin atau gimana, jadi sikapnya pasti asli. Bukan palsu. Makin ke sini pun anaknya makin baik. Ayah suka lihatnya. Dia terlihat sangat menghormati orang tua.”
Aku kembali terdiam.
“Lihat keseharianmu yang kerja dari pagi sampai petang, weekend pun cuma di rumah, mau kapan dapat jodoh, Fi? Kamu pikir jodoh akan jatuh dari langit? Enggak. Jodoh itu harus diusahakan. Banyak caranya.”
“Iya, Yah. Aku tahu.”
“Makanya kenalan dulu, ya? Nanti soal lanjut atau enggak, pikir sambil jalan. Seenggaknya kamu ketemu dulu sama dia biar kalian saling tahu sama tahu.”
Aku menatap Ayah dan Bunda bergantian. Mereka menatapku penuh harap.
“Ya udah, iya. Tapi aku yang nentuin waktunya. Pokoknya harus ikut mood-ku.”
Ayah dan Bunda kompak tersenyum. “Oke, deal!”
***
“Mbak Nafi mau ke ruangan Pak Rivan, ya?” tanya Imam, salah satu teman kerjaku yang satu ruangan. Dia bangkit dan menghampiri mejaku. “Titip, dong, Mbak. Gantian.”
“Ya, sini. Ada lagi atau enggak?” tanyaku pada temanku yang lain. Ada Mas Nugra, Mbak Umi, juga Mas Usman.
“Boleh, Fi. Ini sekalian, dijadiin satu aja. Biar Pak Rivan enak ceknya.”
“Oke.”
Setelah mengumpulkan laporan, aku bergegas ke ruangan Pak Rivan. Dia adalah bosku di tempat baru. Masih muda dan sangat tampan. Baik hati pula. Tidak seperti bos lamaku. Sudah tua, masih seenaknya sendiri. Tiap hari kerjaannya hanya marah-marah.
Meski punya bos tampan rupawan dan masih muda, sedikit pun aku tidak ada perasaan ingin naksir. Ya, sekadar suka yang normal-normal saja. Tidak ada perasaan lebih. Aku cukup tahu diri untuk tidak membawa diriku menuju lembah patah hati.
Kenapa begitu? Dia tidak akan pernah tergapai olehku. Ini bukan hanya soal status sosial, tetapi dia juga mantan dari teman dekatku sendiri. Iya, si Mila. Mereka sepertinya sama-sama belum move on. Tinggal menunggu waktu saja sampai mereka balikan. Aku yakin sekali soal ini.
“Eh … kok pintunya kebuka? Apa lagi ada orang?”
Aku berjalan pelan menuju ruangan Pak Rivan yang lokasinya hanya satu lantai di atas ruanganku. Langkahku terhenti ketika mendengar obrolan dari dalam.
“Lo yakin, Ki?” itu suara Pak Rivan. Aku mengintip, ternyata sedang ada Mas Kian.
Mas Kian adalah salah satu HRD kantor ini. Aku dengar, dia dan Pak Rivan berteman dekat sejak lama. Namun, aku tidak tahu banyak soal Mas Kian karena kami tidak pernah ada kepentingan kecuali saat rekruitment. Itu pun pada akhirnya kami tidak wawancara langsung karena aku wawancara dengan HRD yang satunya lagi. Kami hanya sempat bertegur sapa sekadarnya. Di awal kerja, aku bahkan sempat melupakan wajahnya.
“Yakin. Kayaknya ini satu-satunya cara gue wujudin rencana gue tanpa bikin Ayah marah atau tersinggung. Ya, meminimalisir konflik kedepannya juga.”
“Lo udah tahu seluk-beluk orangnya, emang?”
“Baru tahu sedikit. Tapi yang jelas, orang tuanya baik. Gue merasa diterima banget.”
“Dan lo enggak mau berbagi sama gue siapa dia?”
“Lain kali, Van, setelah gue tahu lebih banyak tentang dia. Ini masih terlalu abu-abu. Info yang gue terima belum banyak.”
“Ya udah, oke.”
Begitu melihat Mas Kian berdiri, aku langsung balik badan dan berjalan cepat ke arah lift. Aku akan pura-pura baru keluar dari sana.
Berhasil!
Saat Mas Kian keluar dari ruangan Pak Rivan, aku sudah memposisikan diri di depan lift. Aku langsung tersenyum saat dia menatapku.
Karena kami tidak kenal dan sebatas tahu, tidak banyak yang bisa kulakukan. Senyum basa-basi harusnya sudah cukup. Selama ini pun begitu.
“Mau ketemu Pak Rivan?” pertanyaan itu membuat langkahku seketika terhenti. Aku menoleh.
“I-iya.” Jujur, aku tidak expect kalau Mas Kian akan bertanya. “Pak Rivan ada, kan, M-mas?”
“Iya, ada.”
“Ngomong-ngomong, saya tahu kabar kalau Mas Kian sama Pak Rivan itu berteman. Apa enggak aneh manggil teman sendiri dengan sebutan Pak?”
“Itu namanya professional.”
Aku meringis. “Bener, sih. Ya sudah, Mas, saya ke sana dulu—”
“Tunggu!”
“Iya? Gimana?”
Mas Kian berdehem pelan, lalu menghadapku. Aku sendiri langsung mundur, mendadak bingung.
“Namamu Nafi?” tanyanya dengan nada yang terdengar sangat datar.
“Iya. Mas Kian kok tahu?”
“Kamu saja tahu nama saya.”
“Mana mungkin enggak tahu? Kan Mas Kian HRD. Apalagi teman Pak Bos juga. Emang Mas Kian tahu nama saya dari mana?”
“Saya cukup bagus dalam mengingat nama orang dan wajahnya. Saya bahkan hafal nama teman satu ruanganmu.”
“H-hah?” aku melongo untuk sesaat. “M-maksudnya?”
“Usman, Umi, Imam, dan Nugra.”
“Woah …” jempolku refleks terulur. “Keren! Soalnya bener semua.”
“Mengingat nama orang kamu bilang keren. Apa kamu sepayah itu?”
“H-hah? Kenapa tiba-tiba ngatain saya payah?”
“Karena hal seremeh itu kamu sebut keren.”
Aku mencibir pelan. “Kelebihan orang itu beda-beda, Mas. Ada yang pandai mengingat wajah dan nama, tapi payah dalam bersosialisasi. Ada yang pandai menulis, tapi payah dalam menggambar. Ada yang pandai bertutur kata, tapi payah dalam berhitung. Itu semua bisa berlaku sebaliknya.”
“Jadi apa kesimpulanmu setelah mengatakan itu?”
Aku memejamkan mata sejenak. “Iya, saya memang agak lemah dalam mengingat wajah dan nama orang. Tapi di beberapa titik, saya bisa tetap ingat, kok. Beneran!”
“Lalu apa kelebihanmu setelah tahu kekuranganmu sefatal itu?”
“He? Memangnya kekurangan ini fatal, ya?”
“Jangan keluar topik. Apa kelebihanmu untuk menutupi kekuranganmu yang satu ini?”
“Kenapa Mas Kian ingin tahu? Saya mau ada perlu sama Pak Rivan, ya! Kenapa jadi diwawancara?” aku mulai kesal. Orang ini random sekali ternyata!
“Saya bisa membantumu mengumpulkan laporanmu kalau kamu mau jawab pertanyaan saya barusan.”
“Enggak perlu! Saya bisa serahin ini sendiri—”
“Mood Pak Rivan lagi jelek. Besar kemungkinan kamu kena marah kalau laporanmu buruk.”
“Pak Rivan kenapa bad mood? Apa sesuatu telah terjadi?”
“Hari ini dia sedang sensitif. Sudah ada dua orang yang kena marah habis-habisan. Satu anak Divisi Humas, satu lagi anak finance.”
Aku mendadak menciut. Aku yakin Mas Kian jujur karena setahuku Pak Rivan memang tidak jarang memarahi karyawan kalau kesalahannya fatal. Apalagi kalau suasana hatinya sedang buruk. Pasti semakin menakutkan.
Baik, sih, memang baik. Tapi agak tegaan juga!
“Tidak tertarik? Ya sudah, sana taruh sendiri. Saya akan ke ruangan—”
“Tunggu, Mas!”
Aku refleks menahan lengan Mas Kian, tetapi kemudian kulepaskan lagi. “M-maaf, barusan refleks. Mas Kian mau bantu saya kasih ini kalau saya sebutin kelebihan saya?”
“Cepat katakan.”
“Saya cantik, kan?” aku tersenyum.
“Kamu pikir itu lucu? Secantik apa pun perempuan, kalau bodoh, tidak cantik lagi.”
“Mulutnya jahat banget! Saya enggak bodoh, ya!”
“Saya enggak bilang kamu bodoh. Maksud saya, kalau seseorang sampai membanggakan fisiknya saat ditanya tentang kelebihan, itu artinya sudah tidak ada lagi yang bisa dia banggakan dari dirinya. Karena fisik itu paten pemberian Tuhan.”
“Iya, sih. Lagian saya cuma bercanda.”
“Cepat katakan.”
Aku terdiam sebentar. “Hm … saya orang yang setia. Ini bukan hanya soal setia pada pasangan atau hal yang berbau romatis, tapi saya bicara secara keseluruhan. Saya dengan percaya diri akan bilang kalau saya adalah orang yang sangat setia. Ini kelebihan yang enggak semua orang punya. Bukan begitu, Mas?”
Alih-alih mendapat balasan, aku malah dibuat berjengit kaget ketika Mas Kian merebut map laporan yang kubawa. Detik berikutnya, dia berjalan cepat ke arah ruangan Pak Rivan. Dia meninggalkanku yang kini sudah menganga dalam bingung.
“Dia kenapa, sih? Kok aneh?”
***