2. Jadi, Dia?

1936 Kata
Hari ini aku pulang telat karena ada lembur. Meski sudah telat, aku tidak langsung pulang, melainkan mampir membeli salad buah kesukaanku. Lokasinya tidak searah dengan jalan pulang, tetapi tidak terlalu jauh dari kantor. Jadi, tidak masalah. Aku tahu salad buah ini dari aplikasi. Aku asal pesan, ternyata enak. Sudah berkali-kali aku beli salad buah di sini. Ini adalah salad buah yang sama dengan yang kumakan tempo hari saat Bunda mencecarku perihal perjodohan. Entah kenapa, seringkali makan salad buah membuat mood-ku jadi naik. Bukan es krim, bukan pula coklat. Agak aneh, ya? “Anggurnya lagi habis, Kak. Kalau kami ganti stroberi dan kiwi jadi dibanyakin mau?” “Enggak papa, Kak. Boleh-boleh aja.” “Oke.” Yang aku suka dari salad buah di sini adalah sausnya. Yogurt dan mayonesnya terasa sekali kalau diambil dari bahan yang sangat premium. Kejunya juga. Agak mahal, memang, tetapi bagiku sebanding dengan rasa yang ditawarkan. “Dua, ya, kak?” “Iya, Kak. Buat stok di kulkas karena besok weekend.” Aku terkekeh. “Kakaknya sering beli di sini. Saya bonusin satu, yang mini.” “Wah, terima kasih banyak, kak!” “Sama-sama.” Setelah pesananku selesai, aku segera membayar. Aku membeli yang ukuran besar, dua porsi. Total seratus ribuan. Menurutku, ini worth it sekali. “Enggak sabar masukin kulkas, lalu makan nanti habis mandi.” Aku baru saja keluar dari kedai salad buah ketika tiba-tiba aku melihat seseorang yang kukenal. Mataku langsung menyipit. Aku harus memastikan pengelihatanku tidak salah. “Mas Kian bukan, sih, itu?” aku maju lagi. “Eh … iya, ya?” Kini, Mas Kian sedang berdiri bersama seorang perempuan di dekat sebuah resto steak yang tidak terlalu besar, tetapi selalu ramai. Aku tahu soal ‘selalu ramai’ karena memang aku sering ke area ini. Tidak hanya soal membeli salad buah, tetapi juga satu arah dengan kos Mila. Suara Mas Kian dan perempuan itu tidak terdengar karena posisi mereka ada di seberang jalan. Namun yang pasti, ekspresi mereka sama-sama kaku. Mereka seperti sedang bersitegang. Kenapa harus di pinggir jalan begini? “Mereka beneran berantemkah? Kok tegangnya sampai kaya gitu— ih, ih! Yang cewek ngejar!” aku terdiam sesaat, fokus pada mereka. Semula Mas Kian tidak menyadari keberadaanku. Sampai ketika, saat dia menoleh, matanya melebar sesaat. “Lho, lho, lho! Mas Kian mau nyamperin akukah? Enggak mungkin, dong? Mau ngapain?” Mas Kian kini sudah berlari menyeberang jalan. Aku refleks melangkah mundur, tetapi kemudian tanganku dia tahan. Matakku membelalak kaget. “Kenapa? Ada apa? A-apa-apaan ini?” tanyaku bingung. “Bantu saya lima menit saja, Fi.” “Bantu apa—” “Mas Kian!” perempuan tadi sudah berhasil mengejar. Ekspresinya tampak sangat kesal. “Kebetulan, Lis. Calon istriku di sini. Ini yang udah kusinggung kemarin.” He? Tiba-tiba sekali jadi calon istri? “Mas kira aku percaya dengan trik murahan kaya gini? Mas Kian itu kelihatan banget kalau lagi bohong. Jangan manfaatkan sembarang cewek yang lewat demi mengelabuiku!” “Siapa yang mengelabuimu? Aku serius. Aku akan menikah dengannya.” Aku menoleh dan mendongak. Kini Mas Kian sudah merangkulku dan aku masih menatapnya bingung. Sungguh, saat ini aku seperti orang bodoh. Entah kenapa, aku juga mendadak blank. “Mas Kian enggak lihat? Dia aja kelihatan bingung!” Perempuan itu tertawa. “Mas pikir aku bodoh? Dikelabui begini enggak mungkin bikin aku percaya gitu aja!” “Lihat aja, Lis. Dalam tiga bulan sampai setengah tahun kedepan, aku akan menikahinya. Kalau perlu, sebelum itu.” “Kalau enggak?” “Kalau enggak, kita balikan. Dia bingung karena kaget aku tiba-tiba nyamperin dia. Iya, kan, sayang?” SAYANG? SUDAH GILA! Mas Kian mencubit pelan pundakku. Membuatku akhirnya mengangguk. “Bener, saya cuma kaget,” ucapku akhirnya. “Jadi ternyata benar, ya, mantannya Mas Kian masih sering ngejar? Tolong hargai saya sebagai kekasih barunya, Kak.” Jujur, ini refleks. Aku mengarang situasi berdasarkan apa yang kucerna. “Kita sesama perempuan. Tahulah, gimana rasanya kalau milik kita diusik.” “Yakin dia milikmu?” “Kalau enggak?” tangan kananku merangkul pinggang Mas Kian. “Ini saya beli salad buah dua. Buat siapa kira-kira? Mas Kianlah! Masa iya, habis saya makan sendiri? Ukuran jumbo, loh, ini! Saya baru mau nyemperin dia, eh, malah udah ketemu duluan.” Perempuan itu menggeram tertahan, lalu tiba-tiba dia balik badan dan pergi. Setelah tak terlihat lagi, rangkulan tangan Mas Kian langsung turun, pun rangkulan tanganku juga terlepas. Seketika, kami menjauh satu sama lain. Kini, aku menatap Mas Kian sembari bersedekap. “Apa imbalan yang akan saya dapatkan setelah ikut bersandiwara konyol seperti barusan? Untungnya, refleks saya bagus. Iya atau iya?” “Memangnya saya menawarkan imbalan? Tidak, kan?” “Jadi enggak ada sama sekali? Wah! Saya menyesal sudah membantu!” “Terima kasih ….” Aku tidak menanggapi dan memilih untuk lekas menuju motorku. Begitu melewati Mas Kian, aku sengaja behenti. “Mas …” “Apa?” “Tadi apa Mas Kian bilang? Mas akan menikahi saya dalam waktu tiga sampai enam bulan? Kalau perlu, sebelum itu? MIMPI! Selamat balikan dengan pacar yang kelihatannya super childish dan posesif itu. Wew! Ngeri! Orangnya ngejar-ngejar!” Kini gantian Mas Kian yang tidak menanggapi. Dia hanya menatapku dan membiarkanku pergi. Sembari menunggu jalan lengang untuk menyebrang, aku menatap Mas Kian yang masih bergeming di tempatnya. Dia masih menatapku, dan entah kenapa tatapannya terasa aneh. Aneh seperti apa, aku juga tidak bisa mendeskripsikan. “Udahlah! Enggak usah dipikir!” *** Dua minggu kemudian … Masalah perjodohan betul-betul tidak bisa kuhindari lagi. Semakin aku menghindar, semakin Ayah dan Bunda mengejar dan mencecar. Mereka promo sudah macam sales. Selalu memuji berlebihan laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Jujur, aku mulai muak. Daripada terus seperti ini, akhirnya aku memutuskan tanggal untuk bertemu. Paling tidak, Ayah dan Bunda berhenti menerorku dulu. Mereka juga janji, jika memang aku dan laki-laki yang akan dijodohkan denganku ini tidak saling tertarik, maka perjodohan batal. Yang mereka inginkan, minimal kami bertemu dulu. Ya sudah, kuiyakan. Anggap saja menggugurkan kewajiban. Akan kutemui laki-laki itu, dan pertemuan akan dilaksanakan hari ini juga lewat makan malam yang sudah diatur kedua orang tuaku dan orang tuanya. “Dandannya jangan sederhana gitu, Fi! Yang cantik, dong!” Bunda mulai melayangkan protesnya. “Kan aku selalu cantik, Bund. Kurang cantik apa lagi, sih?” “Bajunya ganti! Pakai yang lebih bagus. Itu terlalu polos. Atau sini, deh, Bunda aja yang dandanin—” “Enggak, enggak mau! Aku mau dandan sendiri!” “Tapi jangan terlalu polos gitu. Kalau bisa yang lebih kelihatan nonjol.” “Nonjol apanya? d**a? Aku bukan mau jualan, Bund. Malu, ih!” “Nafi! Kamu ini selalu ada aja kalimat buat bantah Bunda!” “Ya habisnya Bunda kaya gitu!” “Bunda masih akan protes kalau kamu enggak nurut.” “Iya, iya. Ini aku ganti bajunya dan dandan yang cantik.” Daripada terus dikomentari dan berdebat, lebih baik kuiyakan saja apa kata Bunda. Agar lebih cepat selesai juga. Oh iya, kalau ada yang protes kenapa aku banyak bicara, coba tanyakan pada Bunda. Kenapa beliau harus mewariskan sifat yang satu ini? “Bund …” “Apa?” “Masnya itu umur berapakah? Kasih kisi-kisi, dong!” tanyaku sembari mengombre bibir dengan liptint warna merah pekat. Dasarnya kuberi warna nude. “Kata Ayahmu, sih, lima tahunan di atasmu. Dia udah kepala tiga. Cocoklah, ya, buat bimbing kamu yang kaya bayi ini.” “Anak sendiri dikatain terus.” Bunda malah tertawa. “Tapi bener, kok!” “Bunda udah lihat langsung orangnya?” “Kan Bunda udah bilang, Fi. Bunda udah sering lihat, terutama akhir-akhir ini. Dia itu ganteng banget. Kamu boleh mencibir tiap kali Bunda muji dia. Tapi nyatanya memang menurut bunda anaknya ganteng. Tinggi, putih, tapi putihnya enggak yang putih banget. Putihnya cowoklah. Terus kalau senyum, manis.” “Kerja apa, dia, Bund?” “Kerja di kantor gitu, Bunda lupa posisinya. Tapi intinya udah ada kerjaan tetap. Dan itu kayaknya kerjaan sementara. Aslinya dia anak orang berada, Fi. Malah Ayahnya jauh lebih berada dari Ayahmu.” “Tunggu! Bunda ngejar hartanya, ya? Dengan jual aku?” “NAFI!” suara Bunda langsung melengking, dan itu membuatku berjengit kaget. “Jahat banget kamu ngomong gitu ke Bunda! Kita ini meski enggak kaya raya, tapi dari dulu selalu hidup berkecukupan. Kapan kamu kekurangan uang saku? Kok tega banget kamu nuduh Bunda ngejual kamu!” “Y-ya maaf.” Aku meringis. “Aku kelepasan karena kesal. Habisnya Bunda sama Ayah getol banget jodohinnya.” “Ada banyak alasan. Salah satunya, kamu itu anak semata wayang Ayah dan Bunda. Kami ingin kamu dapat jodoh yang terbaik. Yang bibit, bebet, dan bobotnya jelas. Dari segi keturunan, karakter, dia masuk banget. Bunda yakin kalian akan jatuh cinta pada akhirnya.” “Emang sana mau, ya, Bun? Udah tahu tentang akukah?” “Ya udah tahu, pasti. Soal mau atau enggak, belum ada konfirmasi yang jelas. Ya mungkin nunggu ketemu dulu, baru nanti diputuskan.” “Ya udah.” “Kamu masih enggak kepo sama orangnya?” “Enggak. Kan mau ketemu habis ini. Nanggung baget kepo-nya sekarang.” “Ya udah. Kamu buruan dandannya. Kalau telat kelamaan, enggak enak sama sana.” “Iyaaa.” Kisaran lima belas menit kemudian, akhirnya aku beserta Ayah dan Bunda berangkat untuk makan malam di sebuah resto mewah di Jakarta. Aku yang menentukan waktu, sana yang menentukan tempat. Biar adil, katanya. Selama perjalanan, aku banyak merenung. Aku merasa seribu persen perjodohan ini akan gagal. Bukan karena orangnya, tetapi karena diriku sendiri yang masih sangat jauh dari kata ‘siap menikah’. Seringkali aku terbesit untuk single seumur hidup. Kenapa bisa begitu? Jelas ada alasannya. Tidak mungkin aku terpikirkan hal eksterm itu tanpa sebab. Ini berhubungan dengan trauma belasan tahun lalu yang bahkan Ayah dan Bunda pun tidak tahu. Semua bermula dari saat aku kelas tiga SMP. Saat aku masih tinggal di Jepara, kampung halaman Bunda. Andai saat itu tidak ada dua mahasiswa yang menolongku dan temanku, aku mungkin sudah ‘habis’. Dua mahasiswa itu mengaku baru saja berlibur dari Karimunjawa. Aku tidak ingat wajah keduanya karena sudah terlalu lama. Namun yang pasti, salah satunya mengorbankan jaketnya untuk menutupi seragamku yang koyak lebar. Ah, aku tidak ingin membahasnya ini lagi. Aku ingin menangis tiap kali ingat. “Di lantai tiga, mejanya,” ujar Bunda begitu kami bertiga turun dari mobil. Kami baru saja sampai di halaman restoran. “Iya, Bun.” Aku sengaja berjalan di belakang, mengekori Ayah dan Bunda yang jalan lebih dulu. Sesampainya di lantai tiga, ternyata hanya ada dua orang paruh baya— laki-laki dan perempuan. Keningku langsung mengerut. “Mana orangnya?” Untuk sesaat, Ayah dan Bunda berbasa-basi dengan dua orang itu. Aku pun ikut berbasa-basi secukupnya. Aku celingukan, lantai ini benar-benar hanya diisi kami. Apa jangan-jangan dipesan secara khusus? “Ian mana, ini? Kok enggak ada? Datang, kan?” tanya Bunda. “Lagi ke toilet bentar.” Ian? Namanya Ian? Seperti nama cewek! “Nafi cantik sekali. Jauh lebih cantik daripada di foto,” puji si perempuan paruh baya yang aku yakini adalah Ibu dari laki-laki yang dipanggil Ian. “Terima kasih.” “Tunggu, ya. Ian lagi di toilet.” Aku mengangguk. “Iya, Tante.” Karena sudah dipersilakan minum, aku menyeruput lemon tea di depanku. Aku mendadak haus. “Oh, itu Ian udah selesai.” Dengan mulut penuh lemon tea, aku langsung menoleh ke arah yang ditunjuk. Detik itu juga, aku menyemburkan minumanku sampai membasahi baju Bunda. “Nafiiii! Apa-apaan kamu!” Aku berdiri, lalu menatap lebar-lebar pada laki-laki yang kini sedang melangkah tegas ke arah meja. Mulutku menganga, mataku pun mengerjap. “M-mas Kian?!!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN