5. Keputusan Nafi

2284 Kata
Sejak acara makan malam, pandanganku pada Mas Kian di kantor jadi berbeda. Aku terus mengindarinya sebisa mungkin. Terutama jika ada momen kami hanya berdua— seperti contoh, di lift. Aku langsung buru-buru menjauh sejauh-jauhnya. Ini bukan soal aku canggung atau semacamnya. Ini lebih kepada aku ingin menunjukkan betapa aku betul-betul enggan mengiyakan ajakannya untuk ‘mencoba’. Sampai saat ini, aku masih belum berubah pikiran. “Dari tadi kayaknya kamu sering ngelamun, ya, Fi?” ucapan itu membuatku mendongak. Mbak Umi tiba-tiba sudah berdiri di depanku. “E-eh, Mbak? Enggak, perasaan. Aku enggak ngelamun, loh.” “Enggak gimana? Dari tadi Mbak Nafi dipanggilin Mbak Umi, tapi Mbak enggak nyahut sama sekali,” balas Imam. “Malah bengong sambil lihatin layar komputer.” “Emang iya, Mas?” tanyaku pada Mas Nugra. “Iya. Lima kali dipanggil kayaknya ada. Kamu tetap diam. Bahkan bereaksi dikit aja, enggak.” Aku langsung meringis. “M-maaf. Emang lagi banyak pikiran, jujur.” “Soal apa?” tanya Mbak Umi. “Enggak bisa cerita, Mbak. Atau mungkin belum. Entahlah …” “Oke. Enggak papa. Setiap orang punya privasi.” Mbak Umi menganggguk paham. “Ini aku mau ngasih laporan yang kamu minta awal minggu lalu. Kamu bilang mau ngasih sendiri ke HRD—” “Enggak jadi!” potongku cepat sembari menggeleng kuat. “Mbak Umi aja yang naik. Please! Aku lagi kurang enak badan.” “Kerjaanku masih banyak, Fi. Kamu, kan, udah beres. Ada wawancaranya, kan? Maksudku, pasti banyak ditanya-tanya. Suka ada evaluasi dadakan. Pasti agak lama. Enggak sesederhana laporan, lalu selesai.” Soal ini memang benar. Biasanya HRD memang sering menjadi perantara Pak Bos mengevaluasi. Kadang memang Pak Bos langsung, tetapi secara umum, lebih sering HRD yang menyampaikan. Pasalnya, waktu Pak Bos tidak selonggar itu untuk mengevaluasi karyawan satu per satu. “Imam, deh—” “No, no, no! Kerjaanku juga masih banyak. Ini ada tambahan, soalnya. Kalau enggak selesai, aku enggak enak sama Pak Rivan. Minggu lalu aku udah kena tegur. Jangan sampai minggu ini kena lagi. Takut!” “Kalau Mas Nugra?” Mas Nugra tiba-tiba memutar komputernya. “Bisa dilihat sendiri, Fi, aku lagi ngatur campaign sebanyak ini. Target dari Pak Rian naik lagi. Aku harus putar otak dan harus fokus banget.” “Lagian kamu udah setuju dari minggu lalu. Kenapa jadi seenggan ini?” balas Mbak Umi. “Enggak mungkin minta Mas Usman, kan?” tanyaku lirih. “Ya enggaklah! Ngawur! Siapa, lu?” Aku nyengir. “Ya udah, sini.” Akhirnya, aku pasrah. Aku segera bangkit dan naik menuju lantai atas. Ngomong-ngomong, HRD ada tiga orang. Semoga yang menerima ini bukan Mas Kian. Masih ada Mas Ulum dan Kak Windi. Siapa pun dari mereka berdua, asal jangan Mas Kian. Aku tidak siap ngobrol empat mata dengannya sekalipun hanya untuk pekerjaan. Aku mengetuk pintu utama, lalu masuk. Ruang HRD itu cukup luas sekalipun hanya diisi tiga orang. Di dalamnya, ada satu ruangan semacam bilik kedap suara. Entah kedap betulan atau tidak. “Oh, iya. Waktu itu yang minta aku, kan, Kak Windi. Harusnya ke dia, dong.” Aku lekas menghampiri meja dengan plakat Windi Susanti, M. Psi.. Aku mengetuk meja pelan, dan Kak Windi pun langsung mendongak. Aku tersenyum ramah. “Siang, Kak.” “Iya, siang. Nafi, ya?” “Iya.” Aku kembali tersenyum. “Itu, Kak. Saya mau ngumpulin yang waktu itu—” “Ke Kian aja, Fi. Aku ada kerjaan dadakan dari Pak Rivan.” “Kalau Mas Ulum?” “Ulum lagi keluar. Ada urusan sama anak divisi sebelah. Enggak papa, ke Kian aja. Mau aku, dia, atau Ulum, sama aja, kok.” “A-ah, oke.” “Kian lagi di bilik itu. Masuk aja. Dia paling lagi ngerekap.” Aku mengangguk. “Baik, Kak.” Aku balik badan, lalu memejamkan mata erat-erat. Sebelum menuju bilik, aku menatap meja Mas Kian. Memang kosong, tidak ada orangnya. Sama seperti milik Kak WIndi, di sana juga ada plakat bertulisakan Kiano Byakta Raksabumi, M. Psi.. Semua HRD di sini gelarnya sama. Magister Psikologi. Aku selalu takut dengan orang-orang psikologi. Takut kalau mereka bisa membaca isi pikiranku. Baiklah, ini adalah ketakutan yang tak berdasar. Orang psikologi bukan dukun. Aku saja yang berlebihan. Orang psikologi tidak diajarkan membaca pikiran, melainkan menganalisis perilaku. “Udahlah, hadapi aja.” Akhirnya, kuketuk bilik tempat Mas Kian berada. Dia merespon dengan tangan, jadi aku langsung masuk. Begitu melihatku, dia yang tadinya sedang mengetik sesuatu di komputer, langsung berhenti. “Saya mau ngumpulin laporan yang diminta Kak Windi, Mas.” “Duduk dulu.” “Oke.” Aku duduk, lalu menaruh map di meja. Mas Kian melanjutkan mengetik sesuatu di komputer, dan aku hanya diam menunggunya. Kisaran tiga menit kemudian, kerjaannya selesai. Dia menggeser duduknya, dan kini kami sudah berhadapan langsung. “Ini laporannya?” “Iya. Saya kumpulkan jadi satu.” Mas Kian memeriksa laporan yang kubawa. Dia membacanya selama beberapa saat, lalu menatapku. Aku sendiri langsung membuang pandangan. “Yang professional. Ini tentang pekerjaan.” “Ah, o-oke.” “Dalam dua hari kedepan, kamu berangkat workshop dengan Imam. Beda workshop, tapi masih satu tempat. Sama-sama di Hotel Pamungkas. Pematerinya bagus, ini testimoni dari data analyst divisi sebelah. Pak Rivan sudah menandaimu. Kerjamu sebenarnya cukup bagus, hanya belum ada gebrakan. Dia ingin kamu bisa meningkatkan skill lagi. Dia berharap analisismu bisa lebih akurat dan penyajian datanya bisa lebih sederhana agar orang awam pun bisa mengerti tanpa harus dijelaskan dengan detail. Penyajian data yang sederhana juga bisa mempercepat pekerjaannya.” Aku mengangguk. “Baik, Mas. Untuk Mbak Umi sama Mas Nugra gimana?” “Umi dijadwalkan lain waktu. Kalau Nugra, dia bagus terus. Dan ini dia lagi dapat tantangan dari Pak Rivan. Kalau goal tercapai, kemahirannya sudah tidak diragukan. Dia bahkan dulunya pemateri workshop, kan? Jadi tidak heran kenapa dia sehandal itu.” “Bener, sih. Mila pernah cerita juga. Dia salah satu peserta workshop-nya Mas Nugra.” Sekadar informasi, sebelum menjadi sekretaris, Mila adalah advertiser. Dan sekarang advertiser dipegang Mas Nugra. “Itu workshop-nya jam berapa, Mas?” “Jam delapan. Nanti saya kirim jadwalnya ke Usman.” “Oke—” “Atau mau ke kamu langsung?” Aku buru-buru menggeleng. “Ke Mas Usman aja.” “Ya sudah. Itu aja untuk kelanjutan dari laporan ini.” “Baik, Mas. Kalau gitu, saya permi—” “Saya belum selesai ngomong.” Aku yang tadinya sudah setengah berdiri, akhirnya duduk lagi. “Ada apa, ya?” “Karena soal pekerjaan sudah selesai, sekarang giliran masalah pribadi—” “Mas!” aku menoleh ke belakang. “Nanti Kak Windi dengar.” “Kamu enggak lupa, kan, kalau kita sedang berada di dalam bilik kedap suara?” “Beneran kedap suara, apa? Jangan-jangan bohong!” “Kalau enggak percaya, coba saja kamu panggil Windi dengan keras. Minimal dia bereaksi kalau dengar panggilanmu.” “Oke.” Aku balik badan, kemudian teriak memanggil Kak Windi. “Kak Windiiii!” Ternyata benar. Kak Windi tidak bereaksi apa pun. Dia tetap sibuk dengan komputer di depannya. “Sudah percaya, kan?” Aku mengangguk. “Tapi kenapa bahas masalah pribadi di sini? Saya ada kerjaan—” “Jangan ngeles. Mendekati jam makan siang, biasanya karwayan sudah mulai agak bersantai. Kecuali yang ada tugas dadakan atau lagi kejar deadline.” “Memangnya mau bahas apa lagi? Apa ucapan saya malam itu kurang jelas?” aku tidak bisa menyembunyikan rasa kesalku. “Ditambah lagi, saya juga lagi enggak mood bahas masalah itu.” “Mood atau enggak mood. Itu urusan kamu. Saya tetap ingin membahasnya. Kalau enggak mau juga, saya akan terus mencari cara.” Aku menatap Mas Kian tak habis pikir. “Ya udah, buruan bilang!” “Pertanyaan saya masih sama, Fi. Kamu benar-benar enggak mau mencoba? Bahkan sedikit saja?” Lagi dan lagi, pertanyaan ini. Gigih juga, Mas Kian ini! “Mas Kian beneran seingin itu menikahi saya, ya? Mas Kian yakin mau punya istri saya?” “Siapa yang bilang gitu?” “Lah! Nyatanya pengen coba-coba terus. Pengen banget, dong, kencan sama saya? Dan pada akhirnya, tujuannya jelas. Kita disuruh nikah, lho! Penafsiran saya bener, dong!” “Ya kalau cocok, memang tujuannya itu. Rupanya kamu yakin sekali kalau mengiyakan ajakan kencan dari saya, kita akan cocok.” “Idiiih! Pedenya.” Aku bergidik. “Poinnya bukan itu!” “Lalu?” kedua alis Mas Kian menekuk tajam. “Kamu setakut itu hanya diajak mencoba. Itu artinya kamu yakin sekali setelah mencoba, kita akan cocok.” “Enggak gitu, ya! Saya cuma enggak mau. Ya wasting time aja, sih. Daripada buat kencan yang jelas-jelas saya nolak ending-nya, mending buat istirahat di rumah. Tidur, baca buku, nonton, atau main game. Semua itu terasa jauh lebih worth it dibanding sesuatu yang tujuan akhirnya jelas-jelas tidak diinginkan.” “Oke, alasamu memang sangat masuk akal. Tapi, kamu mau tahu kenapa saya tetap kekeuh ingin mencoba?” “Apa? Kenapa?” “Setidaknya, saya sudah memaksimalkan peluang dari orang tua. Kalau pada akhirnya tidak berhasil, ya sudah. Peluang yang terlihat baik, belum tentu akhirnya baik. Peluang yang terlihat kurang baik, belum tentu pula hasilnya kurang baik. Saya hanya berusaha untuk tidak menyia-nyiakan peluang. Perkara hasil itu urusan belakangan. Yang penting, saya sudah berusaha mencoba dan memaksimalkan peluang yang ada.” “Konsep peluang yang Mas Kian jabarin ini lebih cocok ke peluang pekerjaan atau sejenis—” “Enggak. Konsep itu berlaku untuk semua peluang yang ada di dunia ini. Dengan catatan, ada perhitungan dan pertimbangan. Saya enggak lagi mengerucutkan pada peluang tertentu, tapi secara umum. Jika peluang itu dirasa masuk dalam perhitungan dan pertimbangan saya, maka saya harus mencoba. Again, soal hasil itu belakangan. Perkara besarnya usaha dalam mencoba, baru ini berbeda-beda. Dan itu sifatnya relatif.” Aku terdiam, mencerna baik-baik penjabaran Mas Kian. Sebenarnya cukup mudah dimengerti, hanya aku saja yang masih ingin denial. “Kalau enggak paham juga, pertanyakan kapasitas otakmu.” “Mas Kian ini jahat banget, loh, kalau ngomong. Kalau mau ngajak kencan, aturan saya dibaikinlah!” “Poinnya bukan itu, Nafi. Kalu ngomong jangan loncat-loncat konteksnya.” “Iyaaa.” Aku tidak bisa tidak cemberut. “Belum-belum kena marah terus.” “Saya enggak memarahimu. Saya hanya meluruskan kalimatmu agar obrolan kita lebih tertata.” Oh, ya ampun! Salah lagi! Akhirnya, aku terdiam. “Kok malam diam?” “Nanti saya salah omong lagi, kena marah lagi.” “Membedakan teguran dan marah saja kamu enggak bisa?” Kan! Aku salah lagi, dan aku mulai lelah. Ternyata benar kata salah satu temanku. Bicara dengan pria dewasa dan matang, harus siap dengan segala ‘kematangannya’. Sebenarnya bagus saja apa yang dilakukan Mas Kian. Aku mengakui, obrolan yang serius memang bagusnya jangan loncat-loncat konteksnya. Memang di sini aku saja yang tak siap. “Mas Kian, kan, punya pacar yang kemarin itu. Cantik, lho! Kenapa enggak nikah sama dia aja? Kenapa mau datang di acara makan malam enggak jelas itu?” Aku sengaja mengambil topik ini agar lebih to the point. “Kami sudah putus—” “Mas Kian aja yang ingin putus, tapi dianya enggak. Hubungan dimulai atas mau sama mau, artinya kesepakatan kedua belah pihak. Ya putus pun harusnya juga atas kesepakatan kedua belah pihak. Saya anggap kalian masih pacaran, dan saya enggak mau jadi pelakor. Ewww! Amit-amit!” aku bergidik ngeri. “Kamu bilang enggak mau jadi pelakor? Kamu enggak lupa, kan, sore itu kamu bisa akting seolah-olah kita ini sudah pacaran?” “Itu kepepet, ya! Refleks aja. Saya nyesel banget, sumpah, udah mau bantuin!” “Kamu serius enggak mau mencoba?” Dan akhirnya … kembali ke topik awal. Mencoba, mencoba, dan mencoba. “Hm … gini, deh, gini!” “Gini apa? Katakan dengan jelas.” “Ya ini mau saya jelasin. Baiklah, daripada terus membahas ini enggak ada habisnya. Oke, kita coba. TAPI …” aku sengaja menekankan kata tapi agar Mas Kian tidak buru-buru senang. “Tapi?” “Harus ada kesepakatan.” “Kesepakatan gimana?” “Sebelumnya, saya pertegas dulu. Kencannya saat weekend aja, kan?” “Iya.” “Nah, weekend bagi saya itu mahal harganya. Biasanya saya cuma di rumah buat istirahat. Jarang banget saya keluar sekalipun saya punya beberapa teman baik yang sering ngajak main. Demi perjodohan konyol ini, baiklah. Saya mau kita kencan tiga kali. Kalau cocok, ya, udah. Berarti memang takdirnya kita menikah. Kalau enggak cocok, tolong jangan pernah ungkit hal ini lagi. Kalau orang tua masih belum menyerah, Mas Kian harus bantu saya biar mereka menerima keputusan kita dan berhenti menjodoh-jodohkan.” “Oke, setuju,” jawab Mas Kian cepat. “Saya pernah bilang, kan? Saya ini orangnya setia. Orang bisa setia itu karena terbangun kepercayaan lebih dulu. Kalau kepercayaan itu sudah rusak, maka saya bisa langsung cut off dan enggak mau kenal lagi.” “Oke. Saya mengerti.” “Dan tolong jangan berekspektasi terlalu tinggi. Sejak awal saya menolak, dan ini saya mengiyakan untuk menghindari cecaran Mas Kian.” “Rupanya kamu memang terlalu percaya diri.” “Jelas! Karena dengan membangun kepercayaan diri setinggi-tingginya inilah, akhirnya saya bertahan hidup sampai detik ini.” Mata Mas Kian langsung menyipit. “Maksudnya?” “Kalau Mas Kian berhasil menikahi saya, saya akan cerita masalah saya. Tapi kalau enggak, jangan harap.” Aku berdiri, lalu menunduk sejenak. “Malam minggu jemput saya di SMA dekat rumah. Nanti saya kirim map-nya. Jangan jemput di depan gerbang karena saya enggak mau orang tua berharap lebih dengan hubungan kita. Permisi!” Tanpa menunggu Mas Kian menjawab, aku lekas keluar dari bilik sekaligus ruangannya. Selama jalan menuju lift, aku banyak merenung, Kira-kira, keputusanku ini tepat atau justru salah besar? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN