7. Kencan Petama - 2

1996 Kata
“Sampai detik ini, saya belum tertarik.” Aku mejawab tegas. “Lagi pula, bukankah terlalu awal kalau Mas Kian bertanya seperti itu? Misal saya jawab … iya, saya tertarik. Apa Mas Kian akan langsung menikahi saya?” Mas Kian menghabiskan suapan terakhirnya, lalu menyeruput jeruk hangatnya. “Hm … mungkin?” “Mungkin?” Aku menganga. “Secepat ini? Yakin? Ini baru kencan pertama, lho, Mas. Separuh jalan aja boro-boro. Buru-buru amat!” “Saya tahu itu.” “Tunggu! Jangan-jangan, Mas Kian tertarik dengan saya?” aku mendekatkan wajah. “Iya, Mas?” “Sepertinya iya.” Aku semakin menganga. “Mas Kian kira saya akan percaya gitu aja dan terharu? Enggak, ya! Kelihatan banget enggak seriusnya.” “Apa kamu benar-benar berpikir kalau saya enggak cukup bagus, Fi? Sampai reaksimu selalu begitu.” Aku menghela napas pelan. “Ini bukan soal bagus atau enggak bagus, Mas. Ini soal saya yang masih belum terima karena dijodohin. Berasa saya ini enggak laku banget. Saya bisa cari sendiri—” “Sudah dapat?” potong Mas Kian cepat. “Belum, kan?” Gerakanku terhenti. Aku yang tadinya sudah mengangkat gelas, akhirnya kembali menurunkannya. “Memang belum. Lagian dua puluh lima masih mudalah. Saya enggak buru-buru menikah.” “Tapi saya sudah kepala tiga, Fi. Saya bahkan lebih tua dari Rivan.” “Terus? Apa urusannya sama saya? Apa saya yang harus bertanggung jawab atas itu?” “Kebetulan adanya kamu.” Aku mencebik pelan. “Jadi kalaupun kita menikah, Mas Kian juga terpaksa, kan? Ngaku!” “Kamu pikir saya sangat sukarela menikahimu?” “Tunggu! Apa Mas Kian enggak merasa jawaban Mas itu bikin saya makin enggan?” “Saya paham, kok. Jelas itu bikin kamu makin enggan, mungkin juga jadi ilfeel? Tapi saya tetap harus mengatakannya. Bukankah aneh kalau saya jawab saya menikahimu dengan sukarela? Kalau memang saya sukarela, artinya saya sudah jatuh cinta padamu. Iya atau iya?” “Iya juga, sih.” “Sekarang saya tanya kamu. Perjodohan mana yang enggak didasari paksaan? Kalaupun pada akhirnya deal, awalnya tetap ada unsur paksaan lebih dulu. Saya bisa dengan sukarela menikahimu kalau dalam sebulan ini kamu bisa membuat saya jatuh cinta.” “Idih! Diajak nikah aja saya enggak tertarik, kenapa saya harus repot-repot bikin Mas Kian jatuh cinta?” “Bagaimana kalau saya saja yang membuatmu jatuh cinta?” “Coba aja kalau berhasil!” Mas Kian malah tersenyum, dan entah kenapa senyumnya itu terasa sangat menyebalkan. Terasa sekali kalau dia sedang bercanda dan mempermainkanku. Jujur, sampai detik ini aku tidak bisa menebak isi kepala Mas Kian. Dia terlihat tidak terlalu senang dengan perjodohan ini, tetapi dia bertindak seolah-olah harus membuatku mau dinikahi olehnya. Bukankah ini aneh? Apa dia punya maksud terselubung? “Habis ini kamu mau ke mana?” tanya Mas Kian setelah beberapa saat lamanya kami hanya diam. Rupanya dia sudah tertarik mengubah topik obrolan. “Terserah yang ngajak kencanlah. Saya ikut aja. Saya enggak ada rencana apa pun, jadi enggak ada ide pengen ke mana.” “Nonton pameran mau?” “Pameran? Tentang apa?” “Lukisan. Kalau enggak salah, sebelumnya ada lomba untuk umum dan pesertanya tingkat nasional. Saya dengar ada ribuan yang ikut. Nah, yang dipajang seratus terbaik.” “Boleh. Itu aja. Tema lukisannya apa, Mas?” “Sepertinya macam-macam.” “Oke.” Aku mengangguk setuju. “Kayaknya itu lebih menarik daripada keliling enggak jelas.” “Ya sudah, habis ini langsung ke sana saja. Toh makanannya sudah habis.” “Oke. Secepatnya aja biar enggak kemalaman.” Setelah menghabiskan minum, aku segera turun dari dipan. Namun, karena kurang hati-hati, aku malah keseleo. “Aduh!” “Kenapa, Fi?” Mas Kian langsung menghampiriku. “Kaki saya keseleo. Kurang hati-hati, barusan. Jadi nekuk.” Kini, aku duduk di dipan dengan posisi kaki menggantung. “Duh! Mana nyeri banget.” “Kamu ini ceroboh!” “Mas Kian berani ngatain saya ceroboh? Penilaian dari saya langsung minus!” “Saya belajar dari kamu cara ngatain orang.” “Hah?” Mas Kian yang saat ini jongkok di depanku, tiba-tiba berdehem pelan. “Saya bercanda.” “Enggak lucu!” “Lurusin kakimu. Saya lihat bagian mana yang sakit.” Aku patuh. Aku mengangkat kakiku ke dipan, kemudian meluruskannya. Berikutnya, aku menunjuk pergelangan kaki. “Area sini, Mas.” “Keseleonya gimana?” “Nekuk ke dalam. Miring kakinya.” Mas Kian meraih kakiku, dan entah kenapa jantungku langsung berdetak sangat cepat. Karena semakin lama semakin tak terkendali, akhirnya aku menarik lagi kakiku dan kembali kuturunkan. “E-enggak usah, deh, Mas. Nanti juga sembuh sendiri—” “Yang patuh. Saya lihat dulu!” Mataku melebar saat Mas Kian dengan beraninya mengambil kakiku dan mengangkat ke dipan serta meluruskannya seperti tadi. Aku langsung meringis saat dia menekan bagian pergelangan kaki. “Aaak, pelan-pelan!” “Ini, kan, yang sakit?” “I-iya.” Mas Kian mengurutnya pelan. Aku memejamkan mata untuk menahan mulutku agar tak bersuara. Ini sakit, tetapi cara Mas Kian mengurut terasa meyakinkan. “Sudah. Coba gerakin.” Aku memutar kakiku, lalu melongo. “Wah! Udah enggak sakit, Mas. Maksudnya, berkurang banyak banget.” “Itu keseleo ringan, jadi mudah diobati.” Aku tersenyum lebar. “Makasih.” Mas Kian hanya megangguk. Dia berdiri, lalu bergegas keluar meninggalkanku. Kini, aku terdiam sembari menatap Mas Kian yang terus berjalan keluar area rumah makan. Aku berdecak pelan. “Kenapa sikapnya nanggung, sih? Habis diobati minimal ditungguinlah! Ini malah langsung ditinggal. Dasar aneh!” *** Sepertinya, aku harus menarik kata-kataku. Pasalnya, tadi aku sempat bilang kalau sikap Mas Kian itu nanggung. Ternyata, dia keluar lebih dulu karena mencari kantong plastik tebal. Dia masuk lagi dan meminta es batu. Dia bilang, meski keseleoku terkesan ringan, baiknya tetap dikompres air dingin. Katanya, air dingin bagus untuk meredakan bengkak dan nyeri. Aku setuju, karena Ayah pun sering mengulang-ulang kalimat ini. “Gimana? Kakimu terasa lebih baik lagi?” tanya Mas Kian di tengah-tengah perjalanan menuju lokasi pameran. Karena weekend, jalanan otomatis padat. Jadi, waktu yang dibutuhkan jelas lebih lama. “Makin mendingan. Tadi waktu saya bilang enggak sakit saat digerakin, ternyata waktu buat jalan masih sakit.” “Wajar, karena gerakanmu saat masih di dipan hanya gerakan ringan. Kalau jalan, sendi kakimu harus menopang tubuhmu.” “Bener!” “Lagi pula, seringan-ringannya keseleo, enggak mungkin juga sembuhnya instan. Nanti akan membaik seiring kamu gerak pelan-pelan. Jangan didiamkan, tapi jangan pula dipaksa.” “Oke.” Aku mengangguk. “Ngomong-ngomong, makasih banyak, Mas.” “Ya. Lain kali kurangi cerobohnya.” “Bukan ceroboh, ya. Tapi—” “Tapi apa? Jelas-jelas kamu ceroboh. Turun dipan enggak lihat-lihat.” “Iya, iya. Saya ceroboh!” Susah sekali kalau sudah berdebat dengan Mas Kian. Dia hampir tidak pernah membiarkanku menang. Rasa-rasanya, dia selalu membuatku diam dan pasrah dengan kalimatnya. Sepertinya, Mas Kian ini tipe laki-laki yang sangat dominan. Namun, ini baru penilaian sementara berdasarkan apa yang kurasakan dalam beberapa waktu terakhir. Rasanya masih terlalu jauh untuk menyelami dirinya. Akankah penilaian ini benar, atau hanya topeng luar saja? Entahlah, aku belum berani menjamin apa pun. Tiba-tiba saja, ponsel Mas Kian berdering. Dia meraihnya, lalu menoleh ke arahku. “Angkat aja.” “Dari Rivan.” “Iya, angkat saja.” Mas Kian berdehem pelan. “Hallo, Van? Iya, kenapa? Enggak, enggak. Gue enggak bisa. Tapi lo bisa bilang Mas Arga, sih. Dia lebih banyak link soal itu. Ya kan lo pernah bahas itu. Lagian istrinya masih kerabat lo juga. Jujur aja, enggak papa. Dia bisa jaga rahasia. Bilang aja dikasih tahu gue. Serius, temen dia orang IT banyak. Please, jangan. Jangan Mas Ari. Mas Ari nanti bakal nanya gue macam-macam. Iya, serius. Oke. Habis ini gue bilang dulu. Oke!” Panggilan akhirnya selesai. Mas Kian mengetik sesuatu, lalu menaruh kembali ponselnya. “Gue lo, gue lo, tapi kalau di kantor manggil Pak. Apa enggak canggung banget, Mas?” “Manggil Pak kalau ada orang lain aja. Kalau berdua, tetap seperti ini.” “Oh, gitu. Ada urusan apakah? Kayaknya serius banget.” “Biasa, cowok.” “Hah? Emang setiap cowok butuh orang IT?” “Kamu nguping?” “Alih-alih nguping, saya cuma dengar.” “Bukan hal besar.” “Ada hubungannya dengan Mila, ya? Tiba-tiba aja saya mikir ke situ.” “Enggak. Ini urusan pekerjaan.” “Oh … oke.” Meski tak puas, aku tetap mengangguk. Sejujurnya, aku merasa akhir-akhir ini ada hal kurang baik dengan Mila. Dia seperti sering murung dan kurang ada semangat hidup. Aku takut mantan suaminya macam-macam. Iya, aku tidak salah bicara. Mila memang seorang janda. Janda, tetapi masih gadis. Dia malang sekali bertemu laki-laki penyuka batangan. “Kenapa diam, Fi? Kamu mikir apa?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak papa. Ngomong-ngomong, selain soal Pak Rivan dan Mila yang mantan pacar, apa Mas Kian tahu sesuatu?” “Tahu.” “Apa?” “Mereka pacarannya saat masih kuliah.” “Ih! Bukan itu! Itu enggak informatif. Yang lebih kompleks, dong.” “Kamu ngajak saya bergosip tentang sahabatmu sendiri?” “Poinnya bukan itu, Mas. Saya cuma khawatir aja dia kenapa-napa. Dia akhir-akhir ini banyak diam. Wajahnya kaya murung dan agak tertekan. Kalau saya tanya, jawabannya selalu enggak papa. Barangkali Mas Kian tahu sesuatu.” “Enggak.” “Jangan-jangan Pak Rivan nindas Mila?” Mas Kian malah tersenyum. “Mungkin?” “Dasar Pak Bos jahat!” “Katamu baik?” “Hah? Emang saya pernah bilang baik? Kapan?” “Enggak, enggak. Sudah, lupakan.” Suasana mendadak hening. Kami belum juga keluar dari kemacetan. “Mas …” “Apa?” “Masih jauh atau enggak, ya?” “Kenapa memangnya?” “Jawab dulu.” “Setelah melewati kemacetan lampu merah ini, tinggal lurus sebentar, lalu belok sedikit ke kanan. Nah, sudah sampai. Gedung pameran ada di area itu. Yang lama memang di titik ini karena macet. Sekarang giliran kamu jawab. Kenapa tiba-tiba tanya soal jarak?” “Enggak papa, sebenarnya. Saya cuma tanya. Udah makin malam, soalnya.” “Di jadwal, pamerannya tutup jam sebelas.” “Bukanya dari jam berapa?” “Sebelas juga. Jadi dua belas jam full. Kenapa? Kamu takut pulang kemalaman?” “Bahasanya bukan takut, tapi saya enggak mau pulang kemalaman.” “Oke. Saya usahakan.” “Oh iya, Mas. Ngomong-ngomong, saya ngerasa wangi mobil Mas Kian ini enggak asing. Padahal, hari ini pertama kalinya saya naik mobil ini. Apa parfumnya best seller, jadi banyak yang pakai?” Mas Kian malah tersenyum, dan senyumnya lebih lebar dari yang tadi. “Saya nanya serius. Jangan senyum-senyum gitu. Bagus, nih, buat parfum mobil Ayah. Biar enggak monoton.” Mas Kian tiba-tiba membuka dasboard dan menunjukkan setumpuk parfum mobil yang bentuknya unik. Aku refleks mengambil satu dan Mas Kian membiarkan. “Pakai ini?” “Iya. Tinggal buka tutupnya, lalu gantung di depan sini. Wanginya sangat tahan lama. Enggak bikin eneg juga.” Aku mencium tutup parfum itu. Benar, wanginya sama dengan mobil ini. “Tapi jujur, saya baru pertama kali lihat parfum ini. Merk apa?” “Itu bukan wangi yang bisa kamu dapatkan sembarangan. Ini juga edisi terbatas.” “Maksudnya?” “Saya sendiri yang meraciknya. Lihat saja bentuknya, apa ada label dari merk tertentu?” “E-eh, enggak. Botolnya polosan, ternyata. Saya baru sadar.” “Saya dulu pernah coba-coba meracik parfum sama teman kuliah. Kebetulan, orang tuanya punya toko parfum besar dan cabangnya ada di mana-mana. Jadi, ini wangi campuran rahasia. Kamu enggak bisa mendapatkannya kecuali dari saya langsung.” “Serius? Tapi kok saya ngerasa wanginya enggak asing. Kaya pernah nyium ini, soalnya wanginya itu agak khas. Enak, sih, saya akuin. Tapi aneh.” “Anehnya?” “Maksud saya, jelas-jelas ini pertama kalinya saya naik mobil Mas Kian. Masa untuk wangi seunik ini, saya langsung familiar? Enggak mungkin, dong?” Mas Kian menoleh, dan senyum miring langsung tercetak samar di wajahnya. “Kamu yakin, Fi, ini pertama kalinya kamu naik mobil ini?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN