Iya bu, saya hanya bisa melakukan itu untuk Chelsea. "jawab Luna.
"Tapi... tidak bisakah Nak Luna, berbuat lebih untuk Chelsea?" Cicit Hilma.
"Maksud ibu?"
"Maksudnya, Ibu sangat berharap jika Nak Luna mau menjadi ibu dari Chelsea ,"
"Apa ?" Luna terlihat terperangah mendengar hal itu."Ttttapi bu, ini.. bukan main-main, dan tidak mungkin karena saya dan pak Permana tak pernah saling mengenal apalagi menjalin hubungan."
"Itu benar, bila perlu ibu memohon dan berlutut ibu akan melakukannya, tolong nak Luna, setidaknya lakukan demi Chelsea,"Nyonya Hilma dengan mata berkaca-kaca memohon pada Luna.
"Ibu tidak perlu begitu, saya akan memikirkannya, namun saya harus bicara dengan mas Permana dan ... orangtua saya,"lirih Luna.
"Bu Luna... kapan kita main lagi, Chelsea senang banget, akhirnya Chelsea bisa ngerasain sama seperti teman-teman Chelsea yang main sama ayah dan bundanya," celoteh Chelsea dengan wajah raut bahagianya.
"Euhhhh, iya sayang, kapan-kapan kalau memang Ayahmu ada waktu nya ya."Luna dengan menahan sesak di dadanya, matanya berkaca-kaca, menahan airmata yang hendak menetes di sudut matanya.
"Yeayyyy, asyiiiik akhirnya Chelsea bisa main lagi di dunia fantasi."Chelsea dengan bahagianya.
Malam itu di ruang keluarga, suasana santai tiba-tiba berubah serius saat Nyonya Hilma membuka percakapan dengan senyum penuh arti. Ia duduk di sofa sambil menatap Permana yang sibuk memeriksa dokumen-dokumen pekerjaannya.
"Permana," panggil Nyonya Hilma, menghentikan aktivitas putranya.
Permana mengangkat wajahnya. "Ada apa, Bu?" tanyanya santai.
Nyonya Hilma tersenyum lebar, lalu berkata, "Aku punya ide yang mungkin bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus."
Permana mengerutkan kening. "Maksud Ibu?"
Nyonya Hilma melanjutkan dengan antusias, "Bagaimana kalau kamu melamar Bu Luna?"
Kalimat itu membuat Permana nyaris menjatuhkan dokumen di tangannya. "Melamar Luna? Maksud Ibu, serius?" tanyanya dengan nada kaget.
"Kenapa tidak? Dia jelas-jelas cocok dengan Chelsea. Lihat saja, Chelsea jarang akrab dengan siapa pun kecuali Luna. Bahkan sekarang, setiap hari Chelsea menyebut nama Luna. Selain itu, Luna adalah perempuan yang baik, sederhana, dan punya nilai-nilai yang kita butuhkan untuk keluarga ini," ujar Nyonya Hilma dengan tegas.
Permana terdiam, mencoba mencerna ide itu. "Tapi, Bu, aku belum berpikir sejauh itu. Hubunganku dengan Luna... hanya sebatas guru Chelsea. Aku juga tak ingin dia merasa tertekan dengan situasi yang melibatkan banyak pihak, apalagi media."
Nyonya Hilma mengangguk kecil, lalu menambahkan, "Aku tahu, tapi kadang keputusan yang tampaknya tiba-tiba bisa menjadi solusi terbaik. Kamu butuh seseorang yang bisa melengkapi hidupmu, Permana. Dan Chelsea butuh figur seorang ibu. Luna sudah menunjukkan bahwa dia peduli pada Chelsea dengan tulus."
Permana menghela napas panjang. "Ibu, aku tidak ingin membuat Luna merasa seperti alat dalam hidupku. Jika memang ada kemungkinan seperti itu, aku harus memastikan itu datang dari hati, bukan karena dorongan situasi atau elektabilitas."
Nyonya Hilma menepuk tangan Permana. "Aku percaya kamu tahu yang terbaik, Nak. Tapi pikirkanlah ide ini. Bukan hanya untuk Chelsea, tapi juga untuk dirimu."
Setelah percakapan itu, Permana duduk termenung di ruang kerjanya. Kata-kata ibunya terngiang-ngiang di kepalanya. Meski ia mencoba fokus pada dokumen pekerjaannya, bayangan Luna yang tersenyum sambil mendampingi Chelsea terus terlintas dalam pikirannya.
Setelah percakapan dengan ibunya, Permana duduk sendirian di ruang kerjanya, mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, ide yang dilontarkan Nyonya Hilma terus mengganggu pikirannya.
"Melamar Luna?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Dia memejamkan mata sejenak, mengingat masa-masa sulit saat istrinya, Nadya, memutuskan untuk pergi meninggalkan dirinya dan Chelsea. Rasa sakit dan kecewa masih membekas di hatinya. Nadya, yang dulu ia cintai sepenuh hati, meninggalkan keluarga mereka karena merasa terabaikan. Permana yang sibuk dengan pekerjaannya tak pernah menyangka bahwa prioritasnya akan berbalik menjadi jurang pemisah di rumah tangganya.
Sejak saat itu, Permana menutup dirinya dari cinta. "Aku terlalu sibuk untuk memahami kebutuhan orang lain. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan itu," pikirnya, merasa beban masa lalu kembali menghantui.
Namun, bayangan Luna terus muncul di benaknya. Luna berbeda. Dia sederhana, penuh perhatian, dan terlihat tulus menyayangi Chelsea. Tapi apakah itu cukup untuk meyakinkannya bahwa cinta kedua kali mungkin terjadi?
"Aku bahkan tidak yakin dia akan menerima ide ini, bahkan jika aku mencoba," bisik Permana sambil memandang foto Chelsea yang tertawa ceria bersama Luna di taman bermain.
Pikirannya terpecah. Di satu sisi, ia merasa ide ibunya masuk akal; Chelsea membutuhkan sosok ibu, dan Luna tampaknya orang yang tepat untuk peran itu. Tapi di sisi lain, Permana tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalunya.
"Bagaimana jika aku mengecewakan Luna? Bagaimana jika dia hanya terluka dengan semua ini?" Pertanyaan itu terus berputar di benaknya.
Malam itu, Permana memutuskan untuk tidak mengambil langkah apa pun. Ia tahu bahwa meskipun idenya menarik, ia membutuhkan waktu untuk benar-benar menghilangkan ketakutan dan keraguan yang masih menyelimuti hatinya. Baginya, membuka diri untuk cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesiapan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Saat diskusi berlanjut, Andi melontarkan ide yang lebih berani. "Pak Permana, kalau saya boleh jujur, berita tentang Anda dan Bu Luna sudah jadi trending topic di berbagai media online. Bahkan, banyak portal berita menyebutkan kalau Anda adalah sosok laki-laki yang diidolakan banyak wanita—bukan hanya karena ketampanan, tapi juga karena wibawa Anda sebagai pemimpin."
Permana memandang Andi dengan ekspresi skeptis. "Dan menurutmu, itu alasan yang cukup untuk... menikah dengan Luna?" tanyanya, setengah serius, setengah menantang.
Andi tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Pak, saya hanya menyampaikan analisis. Kalau hubungan Anda dengan Bu Luna berlanjut ke pernikahan, itu bisa jadi momentum besar. Masyarakat akan melihat Anda sebagai sosok yang menghargai nilai-nilai keluarga, rendah hati, dan tidak memandang status sosial. Ini bisa menjadi poin besar untuk meningkatkan elektabilitas Anda."
Permana menghela napas panjang. "Andi, menikah bukan sekadar strategi politik. Apalagi dengan Luna. Dia adalah orang yang baik dan tulus. Aku tidak ingin dia merasa dimanfaatkan atau menjadi korban dalam permainan ini."
Andi mengangguk, mencoba lebih hati-hati. "Tentu, Pak. Saya juga tidak bermaksud mengabaikan perasaan Bu Luna. Tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat sangat mendukung hubungan Anda dengannya. Jika memang ada kemungkinan ke arah itu, kenapa tidak dipertimbangkan?"
Permana terdiam, tatapannya mengarah pada jendela. Pikirannya berputar pada semua yang terjadi: kedekatan Chelsea dengan Luna, komentar ibunya yang mendukung ide pernikahan, dan sekarang tekanan tidak langsung dari situasi politiknya.
Namun, di balik semua itu, ada perasaan kecil yang mulai tumbuh di hatinya—perasaan bahwa Luna memang membawa ketenangan dalam hidupnya yang selama ini penuh dengan ambisi dan kesibukan.
Setelah beberapa saat, Permana menjawab pelan, "Aku tidak akan mengambil keputusan besar seperti itu hanya karena alasan politik, Andi. Jika suatu saat aku menikah lagi, itu harus karena aku yakin dengan pilihan hatiku, bukan karena tekanan elektabilitas atau opini publik."
Andi mengangguk dengan hormat. "Saya mengerti, Pak. Tapi setidaknya, hubungan baik Anda dengan Bu Luna sekarang sudah memberikan dampak positif, baik untuk keluarga maupun karier Anda. Jadi, apa pun keputusannya nanti, saya yakin itu yang terbaik."
Permana hanya tersenyum tipis. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini bukan hanya soal citra atau politik. Jika dia benar-benar membuka hati lagi, dia ingin melakukannya dengan tulus, tanpa paksaan dari siapa pun.
"Aku tak yakin, dengan cinta,"gumam Permana.
Satu minggu kemudian di rumah Luna, dia dan ibunya sedang menikmati kebersamaan di ruang keluarga.Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. "tok tok tok."
"Bu, ada tamu, biar Luna yang buka."Luna beranjak dari duduknya. Dan membuka pintu. "Hahhhhh,.... "
bersambung...