Pagi itu, Luna sedang membantu ibunya membereskan dagangan nasi uduk. Rumah sederhana mereka yang berada di gang sempit terlihat seperti biasa: hangat, sederhana, namun penuh cinta. Luna tidak menyangka bahwa hari ini akan menjadi salah satu hari yang paling mengejutkan dalam hidupnya.
Sebuah mobil mewah berhenti di ujung gang, diikuti oleh beberapa kendaraan lainnya. Permana, bersama ibunya, Nyonya Hilma, dan beberapa anggota keluarga besarnya, keluar dengan raut wajah serius namun penuh semangat. Chelsea terlihat ceria sambil menggenggam tangan neneknya.
Warga sekitar yang melihat kedatangan rombongan itu mulai berbisik-bisik. "Itu kan Pak Permana, calon wali kota! Kok bisa dia ke sini?" tanya salah satu tetangga.
Luna yang baru saja selesai mencuci piring, mendengar kegaduhan di luar. Saat dia mengintip dari balik pintu, dia terkejut melihat Permana dan rombongannya berjalan ke arah rumahnya.
"Ibu, ada apa ini?" bisik Luna, merasa gugup.
"Ibu juga nggak tahu, Nak. Siapa mereka? Kok kayak orang penting?" jawab ibunya dengan nada bingung.
Tak lama, rombongan itu sampai di depan rumah. Nyonya Hilma melangkah lebih dulu, membawa sebuah senyum ramah. "Assalamu’alaikum," sapa Nyonya Hilma lembut.
Luna dan ibunya segera keluar. "Waalaikumussalam. Silakan masuk," jawab ibu Luna dengan sopan, meski terlihat gugup.
Setelah semua tamu masuk, ruang tamu yang kecil terasa penuh sesak. Luna semakin bingung dengan maksud kedatangan mereka.
Permana, yang biasanya terlihat tegas dan penuh wibawa, terlihat agak canggung. Dia menghela napas, kemudian mulai berbicara.
"Bu, Luna," katanya, menatap ibu Luna dan Luna bergantian. "Hari ini, saya dan keluarga besar datang dengan niat baik. Saya ingin melamar Luna untuk menjadi istri saya."
Pernyataan itu membuat suasana langsung hening. Luna tertegun, wajahnya memerah. Dia bahkan hampir tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Ibu tahu ini mendadak, tapi kami sungguh-sungguh," tambah Nyonya Hilma sambil tersenyum. "Luna, kamu sudah begitu baik dan tulus merawat Chelsea. Kamu tidak hanya menjadi gurunya, tapi juga pelindungnya. Kami sangat menghargai itu."
Chelsea, yang sejak tadi duduk di pangkuan neneknya, tiba-tiba berkata, "Bu Luna, ayo jadi ibu aku beneran, ya?" ucapnya dengan polos, membuat semua orang tersenyum.
Luna, yang masih terkejut, menunduk, lalu menatap ibunya. "Ibu... ini bagaimana?"
Ibu Luna, meski jelas gugup, menjawab dengan lembut, "Nak, ini keputusan besar. Kalau kamu merasa yakin, ibu akan mendukung."
Permana, dengan nada rendah, menambahkan, "Saya tahu ini mungkin mendadak, Luna. Tapi saya sungguh-sungguh. Saya tidak ingin memaksamu, jadi pikirkanlah baik-baik."
Luna merasa seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Dalam hati, dia tahu keputusan ini akan mengubah hidupnya sepenuhnya. Dengan hati yang masih berdebar, dia hanya bisa berkata, "Beri saya waktu untuk berpikir, Pak Permana."
Permana tersenyum tipis, memahami kegugupan Luna. "Tentu, kami akan menunggu keputusanmu," jawabnya dengan tenang.
Setelah beberapa saat, mereka pun berpamitan. Namun Chelsea terus memeluk Luna sebelum pergi, seakan tidak ingin berpisah. Luna berdiri di depan pintu, masih bingung, sambil memandangi mobil-mobil mewah yang mulai menjauh.
Pagi itu, Luna hampir menjatuhkan tasnya saat melihat mobil hitam elegan milik Permana terparkir di ujung gang. Pintu mobil terbuka, dan Permana keluar dengan jas rapi serta senyuman yang jarang sekali Luna lihat sebelumnya.
"Selamat pagi, Luna," sapa Permana lembut sambil berjalan mendekatinya. "Bolehkah saya mengantar Anda ke sekolah hari ini?"
Luna berdiri mematung sejenak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Pak Permana? Ini... tidak perlu repot-repot. Saya bisa naik motor sendiri," jawabnya gugup.
"Tidak ada kata repot untuk orang yang saya hormati," ujar Permana sambil membukakan pintu mobil dengan penuh wibawa. "Lagipula, Chelsea sudah menunggumu di dalam."
Luna melirik ke dalam mobil dan melihat Chelsea melambai dengan senyum ceria. "Bu Luna! Duduk di sini, ya! Aku sudah siapkan tempat di sebelahku," katanya penuh semangat.
Luna tak bisa menolak. Dengan sedikit ragu, ia melangkah masuk ke dalam mobil. "Terima kasih," gumamnya sambil duduk di samping Chelsea.
Sepanjang perjalanan, Chelsea terus bercerita tentang bagaimana ia ingin bermain bersama Luna lagi, sementara Permana sesekali melirik Luna melalui kaca spion, tersenyum tipis mendengar interaksi mereka.
"Apa Anda tidak keberatan, Luna?" tanya Permana tiba-tiba, memecah suasana.
Luna mengerutkan kening. "Keberatan soal apa, Pak Permana?"
"Jika saya mengantar Anda setiap pagi. Saya rasa ini cara yang baik untuk memastikan Chelsea selalu bahagia," jawabnya, nadanya setengah bercanda tapi penuh arti.
Luna hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Hatinya berdebar-debar, tapi ia mencoba menenangkan dirinya dengan tersenyum pada Chelsea yang terus memegang tangannya erat.
Saat tiba di sekolah, Permana sekali lagi membukakan pintu untuk Luna dan Chelsea. Ia menatap Luna dengan tatapan yang lebih lembut dari biasanya. "Semoga harimu menyenangkan, Luna," katanya, sebelum kembali masuk ke mobil.
Luna hanya bisa mengangguk pelan, sementara pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang sikap Permana yang tiba-tiba berubah. Namun, ia tahu satu hal: hari itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hubungan mereka.
Saat Luna dan Chelsea turun dari mobil mewah Permana, seluruh perhatian tertuju pada mereka. Para guru yang sudah berkumpul di depan kelas langsung saling berbisik, beberapa bahkan tersenyum penuh arti.
"Luna, kamu sekarang diantar mobil mewah ya?" celetuk salah satu guru dengan nada menggoda.
"Kalau sudah dekat dengan calon walikota, beda memang, ya," tambah yang lain sambil tertawa kecil.
Luna hanya tersenyum canggung, wajahnya sedikit memerah. Ia tak tahu harus menjawab apa, terutama karena ini bukan sesuatu yang direncanakan.
Chelsea dengan polosnya menjawab, "Ayahku bilang Bu Luna itu orang yang baik, makanya aku mau Bu Luna terus main denganku." Ucapan Chelsea malah membuat para guru semakin tertawa kecil sambil mengerling ke arah Luna.
Kepala sekolah yang kebetulan berada di tempat itu tersenyum lebar. "Luna, ini kabar baik! Saya sangat bangga salah satu guru terbaik kami punya hubungan baik dengan Pak Permana. Ini juga akan membawa nama baik sekolah kita, loh."
Luna mencoba menjelaskan. "Bu, ini hanya kebetulan saja. Saya tidak ada hubungan apa-apa..."
Namun, kepala sekolah memotong. "Ah, jangan terlalu rendah hati, Luna. Semua orang tahu Pak Permana pria yang baik dan bertanggung jawab. Saya rasa ini bukan kebetulan, tapi berkah!"
Para guru kembali tertawa sambil terus menggoda Luna, sementara ia hanya bisa tersenyum kaku. Di dalam hatinya, Luna merasa bingung dan sedikit khawatir dengan semua perhatian ini. Namun, satu hal yang pasti, suasana pagi itu dipenuhi dengan tawa dan senyum, meski bagi Luna terasa sedikit canggung.
Berita tentang Permana dan Luna kembali viral setelah paparazi berhasil mendapatkan foto mereka bersama di pagi hari, saat Permana mengantar Luna dan Chelsea ke sekolah. Foto tersebut menyebar cepat di media sosial, menjadi bahan diskusi hangat di berbagai platform.
Komentar netizen pun beragam:
Netizen positif:
"Pak Permana kelihatan sebagai sosok ayah yang perhatian. Kalau benar Bu Luna jadi ibu sambung Chelsea, ini pasti jadi keluarga yang harmonis."
"Keren banget, calon walikota yang nggak hanya fokus karier tapi juga peduli keluarga."
"Aku suka sosok Bu Luna, sederhana tapi berkarisma. Cocok banget sama Pak Permana!"
Netizen negatif:
"Ini cuma settingan politik aja biar elektabilitas naik."
"Masih pagi-pagi kok udah jemput-jemput, ada apa ini?"
"Pura-pura peduli keluarga, tapi sebenarnya buat citra aja."
Netizen nyinyir:
"Baru dekat sudah viral, jangan-jangan mau numpang terkenal."
"Kok Luna langsung naik kelas gini? Dari guru TK jadi calon ibu walikota?"
Berita ini menjadi semakin panas karena akun-akun gosip turut mengulas cerita Luna dan Chelsea, bahkan mengangkat isu bahwa kedekatan ini adalah bagian dari strategi politik Permana.
Namun, ada juga akun-akun yang membela Luna. Mereka menyebutnya sebagai sosok inspiratif yang pantas mendapat kebahagiaan karena ketulusan dan kerja kerasnya.
Di sisi lain, tim sukses Permana justru memanfaatkan situasi ini. Mereka memastikan bahwa narasi yang diangkat adalah hubungan keluarga yang tulus dan penuh kasih, menjadikan Permana semakin dicintai masyarakat. Namun, bagi Luna, ini adalah awal dari beban emosional yang besar, karena harus menghadapi sorotan publik yang tak pernah ia duga.
Luna duduk di ruang tamu kecilnya, menatap buket bunga mawar merah yang baru saja diterima. Kartu kecil yang tersemat di antara bunga-bunga itu bertuliskan:
"Untuk Luna, seorang wanita yang tulus dan istimewa. Terima kasih telah membawa kebahagiaan pada Chelsea dan keluarga kami."
Luna menghela napas panjang, merasa semakin tertekan. Ia tahu pemberitaan yang terus berkembang tentang dirinya dan Permana bukan hanya memengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga bisa berdampak pada Chelsea yang masih kecil.
"Kenapa harus begini?" gumam Luna pelan. "Aku hanya ingin mengajar dengan tenang tanpa ada sorotan seperti ini."
Sang ibu, yang baru saja pulang dari warung, melihat wajah Luna yang murung. "Luna, kenapa kamu terlihat sedih? Bukannya ini hal yang baik? Kalau memang Pak Permana serius, kenapa tidak kamu terima?"
Luna menggeleng. "Bu, aku tidak yakin dengan semua ini. Semua terlalu cepat. Dan aku khawatir ini hanya strategi untuk citra politiknya. Aku tidak mau Chelsea jadi korban."
Sang ibu memegang tangan Luna dengan lembut. "Nak, kalau memang dia serius dan Chelsea bahagia dengan kehadiranmu, kenapa tidak? Tapi kalau kamu merasa ini hanya beban, bicarakan baik-baik. Jangan sampai kamu memendam semuanya sendiri."
Di tempat lain, Permana membaca laporan dari asistennya, Andi, tentang respons Luna terhadap buket bunga itu. Meski itu hanya ide dari tim suksesnya, Permana merasa bersalah. "Apa aku sudah terlalu jauh? Aku tidak ingin membuat Luna merasa tidak nyaman."
Andi mencoba meyakinkan. "Pak, ini semua demi menjaga momentum. Lagipula, Bu Luna adalah sosok yang sangat disukai masyarakat sekarang. Jangan terlalu khawatir, dia hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri."
Namun, jauh di lubuk hatinya, Permana mulai mempertanyakan niatnya sendiri. Apakah ini benar-benar demi kampanye, atau ada perasaan tulus yang mulai tumbuh untuk Luna? Sementara itu, Luna masih bergumul dengan pikirannya sendiri, merasa terjebak antara harapan orang-orang di sekitarnya dan keinginannya untuk tetap menjalani hidup sederhana tanpa sorotan.