Kerinduan Akan sosok Ibu

1187 Kata
Saat Luna dan Chelsea tiba di rumah, Nenek Hilma langsung menyambut cucunya dengan hangat. Namun, raut wajahnya berubah khawatir ketika melihat Chelsea tampak sedikit pucat. "Nak, ada apa? Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Nenek Hilma, menggenggam tangan Chelsea dengan penuh perhatian. Chelsea segera menceritakan apa yang terjadi, dari kejadian di sekolah hingga perjalanan yang dihadang oleh dua pria misterius. Ia juga menjelaskan bagaimana Luna melindunginya dengan berani, bahkan melawan para penjahat sendirian. "Nenek, sebenarnya tadi ada orang jah** yang menjegat kami nek.Untung Bu Luna bisa silat." Mendengar cerita itu, Nenek Hilma langsung menatap Luna dengan mata berkaca-kaca. "Bu Luna, saya tidak tahu harus berkata apa. Terima kasih, terima kasih banyak sudah melindungi cucu saya. Anda adalah malaikat pelindung bagi Chelsea," ujarnya sambil memeluk Luna erat. Luna, yang merasa canggung, mencoba meredam situasi. "Tidak apa-apa, Bu. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai gurunya. Yang penting Chelsea selamat." Namun, Nenek Hilma tidak mau hanya mengucapkan terima kasih. "Bu Luna, Anda harus makan malam di sini. Ini tidak bisa ditawar. Saya tidak akan membiarkan Anda pulang begitu saja tanpa beristirahat dulu." Luna mencoba menolak dengan sopan. "Terima kasih banyak, Bu, tapi saya harus segera pulang. Ibu saya pasti sudah menunggu di rumah." Namun, Nenek Hilma tetap memaksa. "Bu Luna, anggap saja ini bentuk rasa syukur kami. Anda telah melakukan sesuatu yang sangat besar untuk keluarga kami. Tidak perlu merasa sungkan." Akhirnya, Luna mengangguk, meskipun ia masih merasa tidak nyaman. Ia menemani Chelsea di ruang tamu sementara Nenek Hilma sibuk menyiapkan makanan di dapur. Tidak lama kemudian, pintu depan terbuka, dan Permana masuk dengan raut wajah serius. Ia tampaknya baru saja mendengar tentang insiden tersebut dari telepon Nenek Hilma. Saat melihat Luna, ia mengangguk singkat. "Bu Luna, terima kasih sudah menjaga Chelsea. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika Anda tidak ada di sana," katanya dengan nada tegas tetapi dingin, seperti biasa. Luna hanya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Pak Permana. Itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai guru." Chelsea, yang duduk di dekat Luna, langsung memeluk ayahnya. "Ayah, Bu Luna hebat banget! Dia bisa melawan penjahat! Ayah harus bilang terima kasih banyak ke Bu Luna," serunya polos. Permana menatap Luna sejenak, tampak sedikit canggung. "Ya, saya sangat berterima kasih. Kalau ada yang bisa kami lakukan untuk membalas kebaikan Anda, tolong jangan ragu memberi tahu kami." Nenek Hilma kemudian memanggil mereka semua ke meja makan. "Sudahlah, cukup basa-basinya. Sekarang kita makan bersama. Ini juga bentuk rasa syukur kita." Saat makan malam, suasana sedikit canggung bagi Luna, tetapi ia tetap mencoba menikmati hidangan sederhana yang disajikan oleh Nenek Hilma. Dalam hati, ia merasa lega Chelsea selamat, meskipun insiden itu membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang lebih rumit dalam kehidupan keluarga ini. Malam itu, setelah makan malam, Luna bersiap untuk pulang. Permana meminta supir keluarga untuk mengantar Luna dengan aman sampai ke rumahnya. "Saya tidak ingin kejadian seperti tadi terulang lagi, terutama di malam hari," kata Permana dengan nada tegas. Luna mengangguk, meskipun merasa bahwa pengawalan ini agak berlebihan. "Terima kasih, Pak Permana. Saya harap situasi ini segera membaik untuk Chelsea." Chelsea memeluk Luna erat sebelum ia pergi. "Bu Luna, terima kasih ya. Saya senang sekali Bu Luna selalu ada buat saya," kata Chelsea dengan mata berbinar, meskipun ia terlihat sedikit sedih mendengar bahwa ia harus tetap di rumah sementara waktu. Dalam perjalanan pulang, Luna merenungkan kejadian hari itu. Penculikan yang hampir terjadi membuatnya khawatir, tidak hanya untuk Chelsea tetapi juga untuk keluarga itu. Luna bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi, mungkin terkait dengan posisi Permana sebagai calon walikota. Sementara itu, di rumah Permana, ia langsung memanggil tim keamanannya. "Saya tidak mau kejadian seperti tadi terulang. Mulai sekarang, Chelsea tidak akan keluar rumah tanpa pengawalan, dan saya ingin semua akses ke rumah ini diawasi ketat," ujarnya dengan nada penuh wibawa. Nenek Hilma, yang duduk di sofa sambil menggendong Chelsea, menyuarakan kekhawatirannya. "Permana, kau harus menjaga Chelsea lebih baik lagi. Anak ini butuh perlindungan, bukan hanya dari segi fisik tapi juga emosional. Dia sudah kehilangan banyak waktu dengan ibunya, dan sekarang dia harus menghadapi ini." Permana mengangguk pelan. "Saya tahu, Bu. Saya akan melakukan yang terbaik. Saya rasa anda tidak perlu khawatir. " Alih-alih merasa bersalah karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga Chelsea sering merasa kesepian, namun Permana bersikap angkuh dan dingin. Insiden ini harusnya menjadi pengingat baginya bahwa peran sebagai ayah adalah prioritas yang tak boleh diabaikan. Di hari-hari berikutnya, Chelsea harus tinggal di rumah untuk sementara waktu, bermain dan belajar di bawah pengawasan ketat. Meski merasa bosan, ia tetap sering bercerita kepada neneknya tentang Bu Luna, gurunya yang ia kagumi. "Nyonya besar, non Chelsea demam tinggi,"ujar pengasuh Chelsea. "Apa? kok bisa tiba-tiba demam, padahal dia di rumah terus."Nyonya Hilma langsung bergegas menuju kamar cucunya. "Sayang, ini nenek sayang, " "Bu Luna, aku kangen banget, Bu Luna ...Bu aku ingin main lagi kaya waktu itu hiks hiks hiks."Chelsea meracau, namun matanya tertutup. Di rumah megahnya, Chelsea terbaring lemah di kamarnya. Suhu tubuhnya tinggi, keringat mengalir deras di dahinya, sementara bibir mungilnya terus memanggil nama seseorang, "Bu Luna... Bu Luna..." Nenek Hilma yang setia duduk di samping tempat tidurnya merasa sangat khawatir. Ia mengelus rambut Chelsea dengan lembut, namun tak mampu menenangkan cucunya yang terus menggigil. "Permana, Chelsea semakin parah. Anak ini terus menyebut nama Bu Luna. Dia tidak hanya sakit fisik, tapi juga rindu pada seseorang yang memberikan perhatian lebih kepadanya," kata Nenek Hilma dengan suara bergetar. Permana, yang duduk di kursi tak jauh dari sana, tampak tegang. Meski hatinya cemas, ia merasa gengsi untuk menghubungi Luna. Baginya, meminta bantuan dari Luna seperti mengakui bahwa ia telah gagal sebagai seorang ayah. Namun, ketika dokter yang dipanggil mengatakan bahwa kondisi Chelsea bisa memburuk jika terus-terusan stres dan tidak mendapatkan ketenangan batin, Permana mulai goyah. "Anak Anda tampaknya sangat merindukan seseorang. Anak kecil seperti Chelsea butuh dukungan emosional, tidak hanya perawatan fisik," kata dokter itu sebelum pergi. Permana akhirnya menyerah pada egonya. Ia mengambil ponselnya dan mencari nomor sekolah Chelsea. Namun, ia teringat bahwa Luna tidak memiliki akses langsung ke keluarganya. Sementara itu, Luna yang terus memikirkan Chelsea mencoba mencari tahu kabarnya melalui guru-guru lain, tetapi tidak ada informasi yang jelas. "Kenapa aku merasa sangat khawatir? Chelsea seperti anakku sendiri," batinnya. Malam itu, akhirnya Permana memutuskan untuk mendatangi rumah Luna sendiri. Dengan mobil dinasnya, ia tiba di depan rumah sederhana Luna dan mengetuk pintu. Luna yang membuka pintu terkejut melihat sosok Permana berdiri di depannya dengan raut wajah tegang. "Pak Permana? Ada apa?" Permana menarik napas dalam, berusaha menahan gengsi. "Chelsea sakit. Dia terus memanggil nama Anda. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Bisakah Anda datang menjenguknya?" Luna terdiam sesaat, hatinya langsung tersentuh mendengar kabar itu. Tanpa berpikir panjang, ia mengangguk. "Tentu saja, Pak. Saya akan ikut sekarang." Permana dan Luna segera kembali ke rumah Permana. Begitu Luna masuk ke kamar Chelsea, gadis kecil itu langsung tersenyum lemah, meski tubuhnya masih lemas. "Bu Luna..." bisiknya pelan. Luna mendekat dan memegang tangan Chelsea dengan lembut. "Ibu di sini, Chelsea. Kamu akan baik-baik saja," ujarnya menenangkan. Permana yang melihat interaksi itu merasakan campuran rasa syukur dan perasaan bersalah. Ia mulai menyadari bahwa peran Luna dalam hidup Chelsea lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN