Udara sore masuk lewat jendela besar yang terbuka setengah. Langit berwarna jingga pucat, menumpahkan cahaya lembut ke ruang tamu yang rapi. Aromanya khas rumah yang nyaman—sedikit wangi kayu dari lantai, bercampur dengan bau sabun cuci piring yang belum hilang dari dapur. Naya sedang duduk di sofa, kakinya tertekuk, rambutnya diikat asal. Kemeja putih yang ia kenakan kebesaran, jelas milik Leo—dan jelas juga ia memakainya bukan karena kehabisan baju, tapi karena nyaman. Di meja ada setumpuk kertas coretan pelajaran, tapi perhatiannya terpaku pada suara derit pintu. “Naya, aku pulangg…” suara itu berat, sedikit serak, dan diakhiri dengan embusan napas panjang. Naya menoleh. Leo berdiri di ambang pintu, jasnya terlipat di satu tangan, dasinya sudah longgar. Ada lelah di wajahnya, tapi ju

