Pasha duduk termenung di kursi kerja di ruangannya. Malam telah larut, namun pikirannya tak kunjung tenang. Meja kerjanya penuh dengan dokumen, tetapi tak satu pun yang disentuh. Wajah Yaya terus terlintas di benaknya. Ia mengingat senyumnya, kata-katanya yang lembut namun tegas, dan bagaimana gadis itu berjalan menjauh darinya di kamar hotel tempo hari. “Yaya ....” gumamnya pelan, menundukkan kepala. Sudah beberapa minggu berlalu sejak pertemuan itu, namun bayang-bayang Yaya masih menghantuinya. Hidupnya bersama Mecca terasa semakin kosong. Bahkan, setiap kali Mecca berbicara tentang pernikahan mereka, Pasha hanya menanggapinya dengan anggukan singkat atau jawaban seadanya. “Kenapa hati ini jadi seperti ini? Kenapa aku semakin merasa kehilangan dia?” batin Pasha, menggenggam kedua t