Kepalaku terasa sangat pusing, Siska memberiku air minum dengan tatapan khawatir. Aku benar-benar tidak paham dengan apa yang sudah dikatakan oleh Papa tadi pagi, pria itu? Astaga! Bagaimana bisa orang asing bisa masuk ke dalam keluargaku? Apakah yakin bukan penipu?
"Ah..." rintihku sambil memegangi kepalaku yang sakit, apalagi saat mengingat ucapan dari Papa.
"Pramuja adalah putraku, Nak." Masih kuingat setiap kata demi kata dari papa, rupanya bukanlah mimpi semata, ini nyata.
"Tidak. Tidak mungkin, Papa pasti hanya salah bicara saja," pikirku benar-benar kebingungan. Sampai tak aku pedulikan seseorang di sisi ranjangku.
"Apa kau baik-baik saja sayang," tanya seseorang yang ternyata adalah Papa, sambil mengusap kepalaku cemas.
"Aku ... aku tidak apa-apa Pa," jawabku datar tanpa ekspresi. Papa sepertinya paham dan berusaha mengerti.
"Oh, astaga! Ternyata putri Papa memang sangat lemah, di ajak bercanda begitu saja sudah pingsan," goda Papa, semakin membuatku pusing. Apakah benar dugaanku barusan?
"Jadi ... apakah papa beneran bercanda? Tidak serius bahwa dia adalah putra, Papa? Syukurlah!" seruku tidak percaya. "Papa tega sekali sih! Aku kira Papa punya anak lain selain Zahra, aku tidak suka," sungutku kesal malas menatap wajah papa.
"Tidak nak, Papa hanya bercanda," jawab Papa dengan tatapan kosong. "Papa sangat menyukai Pram, jadi Papa ingin mengangkatnya sebagai Putra Papa sendiri, lagi pula kau jangan lemah Zahra, tidak selamanya Papa menjaga dirimu, tirulah Pramuja, dia kuat, dia hebat. Papa sangat bangga padanya. Apa kau keberatan jika Papa menganggap Pram seperti anak Papa sendiri?" tanya Papa sambil menatapku geli.
Aku tahu beliau pasti sedang menggodaku dengan cara ini karna aku dari kecil memang tidak suka jika kasih sayang Papa terbagi menjadi dua. Dulu sama Reina. Tetanggaku yang sekarang lagi kuliah di luar kota, dia adalah putri dari bibi Raima. Kita berdua tidak pernah akur.
Dan sekarang, sama Pram.
Huft...
"Aku tidak lemah Pa, aku juga tidak perduli kalau Pramuja itu adalah putra Papa," sungutku sambil menoleh ke arah lain.
"Siska,"
"Iya Tuan,"
"Panggil Pramuja kemari," perintah Papa membuatku malas.
"Baik Tuan," jawab Siska dan langsung keluar dari kamarku.
Beberapa saat kemudian, Pramuja memasuki kamarku dengan langkah perlahan tapi pasti, dia menatapku dengan tatapan aneh. Aku jadi salah tingkah karenanya.
"Ada apa Pa?" tanya Pram sukses membuatku geram.
Aku benar-benar tidak suka saat dia memanggil Papaku dengan sebutan Papa.
"Ck," decakku sebal.
"Ehem! maksudku, ada apa Tuan?" ulang Pramuja salah tingkah.
Dia menatapku dengan mimik wajah gelisah. Entahlah, dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku, tapi entah apa itu aku tidak tahu.
"Kau rawatlah Zahra nak, Papa ada tugas di luar kota, pabrik di Surabaya mengalami masalah," ucap Papa membuatku cemas.
"Apa?! tidak. Papa tidak boleh pergi," cegahku keberatan
"Zahra, jangan manja nak, kau sudah dewasa. Pram yang akan menjagamu mulai sekarang, dia sudah seperti anak Papa sendiri sama seperti dirimu, jadi kau harus hormat kepadanya, kau paham?! dia lebih dewasa darimu anak manis," jelas Papa tidak mau di bantah.
"Huh... Iya Pa," jawabku pasrah.
"Ya sudah, Papa mau siap-siap dulu, kau istirahatlah sayang, jangan nakal," goda Papa sambil mengacak rambut di kepalaku.
"Aku bukan anak kecil Pa," protesku kesal saat di bilang jangan nakal.
"Benarkah?! aku tidak percaya," sahut Pramuja membuatku kesal.
"Diam kau! ini urusanku dengan Papa! bukan denganmu," jawabku sinis.
"Zahra cukup!! ingat kata Papa nak, yang sopan," bentak Papa dan lagi-lagi semakin membuatku sedih.
"Maaf Pa," jawabku lirih.
"Tidak apa-apa Tuan, pergilah," jawab Pramuja sambil mendekat ke arahku.
"Papa! kau dengar Pram?! bukan Tuan!" protes Papa tajam.
"Iya Pa, maaf," jawab Pramuja menyesal.
"Ck, dasar pria kurang ajar, sukanya cari muka," umpatku dalam hati.
"Bagus, Papa pergi ya nak," ucap Papa sambil mengecup keningku.
"Hati-hati Pa," gumamku dengan mata berkaca-kaca. Aku selalu seperti ini jika di tinggalkan olehnya, sangat sedih. Aku tidak mempunyai Mama sejak kecil. Yang aku tahu, hanya Papa Prabu lah orang tuaku. Orang tua yang sangat mengagumkan.
"Maafkan Papa sayang," bisiknya menyesal.
"Sama-sama Pa, maafkan Zahra juga," jawabku sambil menatap matanya sedih.
"Tersenyumlah, kau ingin membuat Papa sakit karna terus memikirkan kekesalanmu?" ucap Papa sambil mencubit hidungku.
"Iya Pa, ini Zahra tersenyum," jawabku lembut.
"Anak pintar, ya sudah, Papa pergi dulu sayang. Dan kau Pram, jaga Zahra dengan baik," intruksi Papa yang langsung di angguki kepala oleh Pramuja.
**********
Hari sudah semakin malam, jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Aku tiduran di ranjang sementara yang lain bercanda di ruang TV. Siska menghabiskan waktnya bersama Pram.
Sementara para penjaga saling melemparkan candaan di pos penjagaan masing-masing.
Karna jenuh, aku keluar dari kamar dan berjalan ke arah taman di samping rumah. Aku duduk di sana sambil memikirkan kehidupanku.
Bagaimana rupa mamaku? kakekku? nenekku? dan semua saudara-saudaraku. Entah mengapa? meskipun aku adalah putri dari orang kaya di kota ini, aku merasa sendirian, aku kesepian, Papa juga kadang bersikap seolah-olah aku ini bukanlah anak kandungnya. Apakah hanya perasaanku saja?! Entahlah?!
Seseorang menepuk bahuku dari belakang, karna kaget aku menoleh dan melihat Pramuja di sampingku sambil tersenyum lembut ke arahku.
"Apa yang kau lakukan di tempat ini gadis manja?" godanya dan langsung duduk di sampingku.
"Memikirkan kehidupanku kak," jawabku membuatnya tertawa.
"Kakak?! kau memanggilku dengan sebutan kakak?!" serunya geli.
"Ck, Papa yang menyuruh, jadi aku harus menurut," sungutku kesal.
Pramuja meraih badanku agar berdiri, dia merapatkan pinggangku pada pinggangnya dan menatap wajahku dari jarak satu senti.
"Apa yang kau pikirkan tentang kehidupanmu sayang?" tanyanya serius.
"Entahlah, aku merasa asing. Ini seperti bukan rumahku, apakah hanya perasaanku saja?" tanyaku gelisah.
Aku pasrah di dalam dekapannya. Pramuja mengelus pipiku dan memajukan bibirnya buat melumat bibirku.
"Mmpphhh apa yang kau lakukan?" tanyaku dengan tubuh gemetar.
"Jangan pernah merasa sendirian Zahra, aku akan selalu ada untukmu, Papa sangat menyayangimu, dia sangat mencintaimu manis, jadi jangan siksa dirimu sendiri dengan pikiran tidak punya keluarga," hiburnya membuatku nyaman.
Entah kenapa? Seolah-olah dialah pemilik rumah ini, sedangkan aku hanyalah orang lain.
"Astaga!! Apa yang sedang aku pikirkan?! ini rumahku, aku atasan dia antara semua pelayan, jadi buat apa aku berpikir seperti itu?!! Sadar Zahra," bathinku berusaha menghibur diriku sendiri.
"Hey, kenapa malah melamun adik," goda Pram membuatku tertawa.
"Aku bukan adikmu."
"Benarkah?! okelah kalau begitu, sudah malam Bos, ayo kita tidur atasanku, aku akan melayanimu," ucapnya membuat mataku membulat sempurna karna keberatan.
"Eh, jaga sikapmu! kau kakakku!" seruku panik.
"Aku bukan kakakmu."
"Kak Pram!!"
"Bukan. Aku pelayanmu."
"Ikh! menyebalkan,"
"Itulah aku sayang," godanya dan langsung membawaku kedalam dekapannya.
*