Suasana terasa sangat mencekam, entah kenapa? malam ini seperti beda dengan malam-malam sebelumnya. Semua seakan berhenti bergerak, bahkan suara angin malam yang biasa aku dengar pun tidak lagi kurasa.
Pramuja juga sudah pergi ke kamarnya setelah aku berusaha mati-matian buat mengusirnya.
"Kembalilah Kak Pram, aku lelah," perintahku saat dia masih ada di dalam kamarku dan mengusap-usap kepalaku.
"Aku mau tidur di sini saja sayang, aku ingin menjagamu," jawabnya keras kepala.
"Justru aku malah tidak bisa tidur kalau kau ada di sini kak Pram," jelasku berusaha sabar.
"Aku tidak akan mengganggumu sayang," jawabnya dan malah merapatkan badannya kepadaku.
Aku mendorongnya dengan pelan, aku masih sedih karna sudah di marahi oleh Papa sebelum pergi. Tapi sebagai anak, aku harus menuruti semua perintahnya bukan?!
Sopan
Sopan
Sopan
Oh.....
"Kak... menjauhlah, aku sesak," ucapku sambil berusaha menahan amarah.
"Ayolah sayang, aku sangat merindukanmu..." Desahnya membuatku geli.
"Aku bukan kekasihmu kak Pram, jadi jangan memanggilku sayang! kau paham?!" seruku mulai hilang kesabaran.
Kalau saja bukan karna Papa, aku pasti sudah tidur dan malas meladeni rayuan tidak pentingnya itu, apalagi dengan mimik wajah m***m yang dia tunjukkan, oh... Sangat menyebalkan.
Ya...
Meskipun aku akui kalau dia sangat tampan.
"Kau benar sayang, kau memang bukan kekasihku, tapi kau adalah bos kesayanganku, apakah salah jika aku ingin melayanimu nona? aasshhh ah..." Desahnya santai.
Lidahnya mulai menjilati kakiku dan merambat ke atas menuju pahaku. Saat dia akan membuka pahaku, sontak aku membentaknya karna kesabaranku sudah mulai habis.
"Cukup!!! aku sopan bukan berarti murahan tuan Pramuja!! keluar dari kamarku sekarang juga!!" teriakku dengan tatapan nyalang.
Pramuja hanya tertawa, dia menghisap pahaku sampai memerah, tubuhku bergetar tidak karuan. Apalagi hisapannya juga dekat dengan area sensitifku
"Uh..." Desahku bingung antara malu dan marah bercampur menjadi satu. Di tambah lagi, aku juga mulai menyukainya. Astaga!!
"Sadarlah Zahra, dia bukan pria baik, dia hanya kagum padamu karna kau adalah anak dari orang terkaya di kota ini," bathinku berusaha menepis cumbuannya.
"Ah... Menjauhlah," desahku gemetaran.
"Aku mohon Zahra," bantahnya keras kepala.
"Kak Pram!! keluar atau aku yang akan keluar dari rumah ini!" ancamku membuatnya tegang.
"Astaga, kau sangat kejam bos manja, baiklah. Aku akan keluar dari kamar ini tapi bukan berarti menyerah, oke. Kau hanyalah milikku," ucapnya dan langsung bangkit dari ranjangku.
Pramuja mengecup bibirku lama dan akhirnya keluar dari kamar setelah aku menjauhkan wajahnya.
Mengingat kejadian itu, aku jadi salah tingkah. Tapi sekarang, entah kenapa aku benar-benar merasa ketakutan.
Aku membutuhkan dirinya. Wira Pramuja.
Mataku terbuka sempurna, aku merasa cemas tanpa sebab. Samar-samar kudengar suara desisan sesuatu mengganggu tidur malamku.
Ssshhhhsssss
Aku bangkit dari ranjang dan membuka gorden jendela, tampak bulan purnama bersinar dengan sangat terangnya. Suara desisan itu semakin terdengar dengan jelas.
Ssshhhhssss
Aku yang dari tadi berusaha mengabaikannya, jadi merasa tidak nyaman dan mencari di mana sumber suara itu berasal.
Sssshhhhssss
Aku keluar dari kamar, dan membuka pintunya dengan perlahan, semuanya tampak gelap, karna kami memang selalu mematikan lampu kala malam hari telah tiba. Lampu hanya menyala sampai jam sebelas malam saja, selebihnya hanya lampu kamar dan teras saja yang menyala.
Ssshhhhssss
Suara itu datang lagi, kali ini lebih keras dari yang tadi. Aku mencarinya di bawah meja, kursi, tangga dan dapur. Tapi tidak ada, suara itu menghilang.
"Siska... Kak Pram..." Panggilku ketakutan. Karna tidak ada orang, aku menaiki tangga dan hendak naik ke atas menuju kamar. Tiba-tiba,
Ssshhhhssss.....
Suara itu kembali datang dan terdengar lebih keras dari tadi. Karna penasaran, aku membalikkan badanku dengan cepat dan ASTAGA!!!
Seekor ular tengah menatapku dengan tatapan nyalang, matanya merah menyala dan besarnya sebesar paha manusia dewasa, panjangnya sekitar sepuluh meter. Sangat mengerikan, lidahnya menjulur keluar dan panjang. Taringnya terlihat sangat tajam.
Karna shock, yang aku lakukan hanya diam dan terduduk lemas di tangga. Ular itu sama persis seperti ular yang ada di dalam mimpiku, tapi tidak!! ini pasti hanyalah mimpi. Dengan cepat aku mencubit lenganku dan,
"Auwh...ah..." rintihku kesakitan. Berarti tidak. Ini bukanlah mimpi!! ini nyata. Astaga!!
"K-kak Pram!" pekikku tertahan.
Ular itu mendekat, desisan serta tatapan matanya benar-benar membuatku lemas.
Ssssshhhssss
"A-aku mohon, si-siapapun, tolong aku," pintaku setengah berbisik. Aku menangis, berulang kali aku menyebut nama Papa. Ular itu tidak hilang juga. Dia membesarkan tubuhnya dan sangat menyeramkan.
Tubuh yang tadinya sebesar paha, sekarang sudah berubah menjadi sebesar pohon kelapa.
"Aakkkhhhh!!! Kak Pram!!" Teriakku tidak berdaya. Ular itu menatapku semakin tajam. Lidahnya terulur keluar dan mendekati leherku. Aku memejamkan mata dengan keringat dingin mengucur di dahiku.
"Uh.... " Desahku hampir pingsan.
Aku tidak merasakan apapun, aku kembali membuka mata dan melihat ular itu sudah berubah menjadi ular kecil. Dia mendesis pelan dan menjauh dariku buat masuk ke kamar Pramuja. Aku sontak terkejut dan bangkit dari tangga. Aku mengejarnya sambil membawa sapu buat memukulnya. Aku tidak mau dia memasuki kamar Pramuja dan membuatnya celaka.
Tapi terlambat, ular itu sudah berhasil menyelinap ke kamar Pramuja dan membuatku panik.
"KAK PRAM!!! BUKA PINTUNYA!! KAU DALAM BAHAYA KAK!! AYO KELUAR!! CEPAT!!" teriakku seperti orang kesetanan.
Entah dapat kekuatan darimana, aku berhasil mendobrak pintunya. Pemandangan di dalam kamar Pramuja lebih mengejutkan diriku untuk yang kedua kali, kedua mataku membulat sempurna, sapu yang tadi aku pegang sontak terjatuh.
Tubuhku bergetar hebat, aku ketakutan. Sangat ketakutan.
"Kak Pram..." pekikku tertahan.
***
Jantungku serasa jatuh ke dasar perut, bagaimana tidak?! Pramuja baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya menggunakan sebuah handuk kecil sebagai penutup di area pribadinya.
Bahkan handuk itu tidak cukup untuk melindungi pinggulnya, andai saja di lihat pada saat lampu menyala, pasti miliknya itu akan terpampang dengan jelas.
Sementara di ranjang tampak seorang gadis tengah membulatkan kedua matanya karna terkejut. Dia Reina, tetangga yang dulu kuliah di kota, dia musuh bebuyutanku sejak dulu. Dia juga salah satu gadis kesayangan Papa selain diriku.
Tapi...
Kenapa dia ada di sini?! kenapa pula dia tidur di kamar Pramuja?! Sungguh!! Hatiku sakit melihatnya. Entah karna cemburu atau apa?! Yang pasti, hatiku terluka melihatnya tidur di kamar Pramuja. Aku tidak terima. Aku tidak suka.
"Reina?" gumamku tidak percaya.
"Apa kau selalu bertingkah seperti ini sejak dulu Zahra?! kau selalu saja bertingkah layaknya orang gila!! kau tidak waras ya?! kenapa kau mendobrak kamar orang pada malam-malam begini, hah?!" bentaknya membuat hatiku sakit.
Hatiku berdebar-debar tidak karuan, bukan karna gadis itu ada di dalam rumahku, melainkan karna dia telah tidur di kamar Pramuja, apa yang sudah mereka lakukan?! kenapa Pramuja diam saja saat aku berteriak minta tolong?! apakah dia tidak mendengar teriakanku?! di luar aku mengkhawatirkan dirinya, sementara di sini, dia bersenang-senang bersama Reina. Dasar tidak tahu diri.
Huft...
Kenapa aku sangat terluka? Apakah aku merasa cemburu?!
"Astaga!! Kenapa rasanya aku ingin menangis?! Ingat Zahra, kau pemilik rumah ini?! Kau nyonya!! jangan lemah!!" bathinku berusaha menghibur diriku sendiri.
Meskipun dalam hati merasakan duka, aku tidak boleh memperlihatkannya.
"Hei!! apa kau tuli?! kenapa kau masuk ke kamar ini Zahra?!" teriak Reina membuyarkan lamunanku.
"Ini rumahku bodoh!! Lagipula kenapa kau ada di sini?! siapa yang menyuruhmu tinggal di rumah ini?! apa kau tidak memiliki sikap sopan santun?! seharusnya kau minta izin dulu padaku sebelum memasuki rumahku!! kau paham?!" teriakku tak kalah sinis.
"Astaga!! sombong sekali kau! aku sudah meminta izin pada mas Pramuja sayang, lagipula dia juga putra dari Papa Prabu bukan?! selain itu aku juga di suruh sama Papa Prabu untuk tinggal di sini, apa kau ada masalah?!" ucapnya santai.
"Sangat bermasalah!! aku sebagai putrinya Papa Prabu menyuruhmu pergi dari rumah ini!! kau dengar!! keluar!!" bentakku berusaha tegar.
"Tidak Zahra, Papa sendiri yang menyuruh Reina untuk tinggal di rumah ini, jadi kau tidak bisa mengusirnya," ucap Pramuja membuat hatiku sedih. Hatiku bagai di remas dari dalam. Sangat sakit tapi tidak akan pernah aku perlihatkan. Aku harus kuat.
"Ingat Zahra!! kau pemilik rumah ini, kau nyonya!! jangan lemah," bathinku dan lagi-lagi berusaha buat menguatkan hatiku.
Meskipun kenyataannya aku merasa aneh di tempat ini, seolah-olah, akulah yang menjadi orang asing, bukan mereka.
"Diam kau!! meski Papa menganggapmu sebagai putra, kenyataannya kau tetaplah seorang pelayan!" ucapku tanpa aku sadari. Aku berusaha menyembunyikan kesedihanku dengan emosi.
"Sebaiknya kau masuk ke kamarmu nyonya," perintah Pramuja tajam.
"Berani sekali kau memerintahku tuan Pramuja!! akulah pemilik rumah ini, jaga batasanmu," umpatku kesal.
"Selamat malam nyonya Zahra, pergilah ke kamarmu," jawabnya tidak mau di bantah.
Hatiku merasa sakit, aku kalah. Sementara Reina kembali tidur dan menarik selimut hingga sebatas dagu.
"Sebelum keluar jangan lupa menutup pintu nyonya, aku lelah," ucap Reina mengejekku.
Sementara Pramuja hanya menatapku tanpa bersuara. Karna kesal aku keluar dari kamarnya dan membanting pintunya dengan keras.
Brakk!!!
Semua pelayan terbangun dan menatapku dengan heran. Siska menghampiriku dan menanyakan tentang keadaanku.
"Ada apa Zahra?" tanya Siska khawatir.
"Tidak ada apa-apa Siska, kalian semua sebaiknya kembali tidur, ini sudah malam. Maaf karna telah mengusik istirahat kalian, selamat malam," jawabku dan langsung pergi ke kamar kemudian mengunci pintunya dengan rapat.
Aku menangis tanpa suara, bagaimana bisa Pramuja membentakku gara-gara Raina. Keterlaluan!! sangat keterlaluan.
Aku mengambil ponselku dan menghubungi nomor Papa yang saat ini ada di kota Surabaya.
Tut...
Tut...
"Hallo Zahra?!" jawab Papa setelah sambungan telepon tersambung.
"Hallo Pa, apakah Papa masih lama berada di kota Surabaya?" tanyaku sambil berusaha menahan isakan tangisku.
"Sekitar satu mingguan nak, memangnya ada apa?" tanya Papa khawatir.
"Zahra kesepian Pa, Zahra tidak betah kalau tidak ada Papa, Zahra ingin Papa cepat pulang dan bercanda bersama Zahra," jawabku lirih.
"Kau bukan anak kecil lagi Zahra, jangan bersikap manja. Belajarlah bersikap dewasa, tirulah Pramuja dan juga Raina sayang, mereka sangat cerdas dan bisa berpikir layaknya orang dewasa, kau harus banyak belajar dari mereka, kau paham?!" ucap Papa dan lagi-lagi membuatku merasa seperti orang asing.
"Jadi Papa tahu kalau Raina tinggal
di rumah ini?" tanyaku datar.
"Tahu sayang, justru Papa lah yang menyuruhnya untuk tinggal dirumah kita, kau tahu sendiri bukan? ibunya telah tiada, hanya kitalah keluarganya mulai saat ini, Papa mohon, jangan bersikap kasar kepadanya nak, kau harus menghormatinya sama seperti kau menghormati saudaramu, kau paham? bersikaplah sopan nak," pinta Papa membuatku bungkam.
Selalu seperti ini, sejak dulu Papa selalu mementingkan perasaan orang lain daripada menanyakan tentang perasaanku.
Aku merasa asing. Aku tidak berdaya. Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana? yang jelas aku menahan rasa sedihku sendirian. Tidak ada teman buat sandaran
Tanpa sengaja airmataku jatuh dan membasahi kedua pipiku dengan cepat.
"Zahra," panggil Papa membuyarkan lamunanku.
"Iya Pa," jawabku serak.
"Kau kenapa nak? apa kau menangis?" tanyanya gelisah.
"Tidak Pa, selamat malam," jawabku dan langsung mematikan telpon.
Aku menghampiri jendela dan berniat menutupnya setelah tadi aku buka dengan lebar karna mendengar desisan ular. Saat aku akan menutup gordennya, Ular itu terlihat lagi, dia di taman, tepatnya di bawah jendelaku dan menatapku dengan tajam. Karna ketakutan aku segera menutup gorden dan tidur di ranjang dengan pikiran was-was.