Kepalaku terasa pusing karna hampir semalaman aku menangis tanpa suara. Aku sedih karna merasa di abaikan oleh Papa dan juga Pramuja.
Aku berusaha menjelaskan pada mereka berdua tentang kesedihanku tapi percuma. Mereka tidak akan pernah percaya.
Yang ada di pikirannya hanyalah satu, manja. Aku hanyalah gadis manja yang sukanya mengadu pada Papa.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Entah kapan aku tertidur akupun juga tidak tahu.
Pramuja juga sudah mulai berubah, dia tidak lagi memperhatikan aku sama seperti kemaren saat baru datang. Dia sudah punya mainan baru, Reina. Tapi buat apa aku kepikiran?! Bukankah ini yang aku harapkan?!
Oh...
Entahlah...
Sejak ada wanita itu di rumah ini, kelihatannya aku memang harus sabar. Terserah mau ada yang perduli atau tidak. Yang jelas aku harus bangkit. Aku bukan wanita lemah.
Aku membuka baju tidurku di ranjang sebelum pergi ke kamar mandi. Aku merasa gerah karna tadi malam harus berlarian kesana kemari mengejar ular dan ujung-ujungnya bertengkar dengan tamu istimewa Papa.
Setelah melepas baju dan baju dalaman lainnya, aku turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar mandi.
Tapi baru dua langkah aku berjalan, tiba-tiba,
"Kita mandi bersama sayang, jangan terburu-buru, sungguh kau sangat cantik seperti bidadari Zahra, apalagi dalam keadaan telanjang," ucap seseorang dengan suara berat nan seksi.
Mataku membulat sempurna, bagai di sambar petir aku langsung membalikkan badanku dengan cepat.
Astaga!! betapa terkejutnya diriku saat melihat Pramuja ada di ranjang, lebih tepatnya di sisiku saat tertidur. Dia menatapku lekat. Rupanya dia tidur di ranjangku tanpa aku ketahui.
"K-ka-kau?!! kenapa kau ada di kamarku kak Pram?!" teriakku sambil berusaha menarik selimut yang ada di hadapanku.
Tapi belum sempat aku meraihnya, Pramuja sudah menariknya lebih dulu hingga selimut itu menjauh dariku.
"Eh, apa yang kau lakukan?!" teriakku panik.
Aku melindungi badanku hanya dengan kedua tanganku. Astaga!! aku sangat malu, jantungku berdebar sangat kencang. Pramuja bangkit dari ranjang dan mulai mendekatiku dengan perlahan, aku ibarat kelinci yang memasuki kandang ular. Sangat menegangkan, apa yang harus aku lakukan?! bahkan kedua tanganku pun tidak cukup untuk melindungi p******a dan juga daerah kewanitaanku.
"Ja-jangan mendekat!" seruku gemetar.
Nafasku memburu dengan sempurna, bahkan saking cepatnya sampai-sampai payudaraku bergerak naik turun. Pemandangan itu justru semakin membuat mata Pramuja meredup, dia sudah di penuhi oleh nafsu.
"Aku hanya ingin mendekatimu saja sayang, aku hanya ingin merasakan betapa hangatnya tubuh telanjangmu itu ada di dalam dekapanku," ucapnya dan langsung menarik tanganku hingga tubuhku yang telanjang bulat menempel erat pada badannya.
"Ugh... Kak Pram, jangan seperti ini, Zahra takut..." desahku lemas.
"Jangan takut sayang, aku tidak akan memakanmu, aku hanya sangat menyayangimu nyonya cantik," jawabnya sambil mengeratkan pelukannya.
Bibirnya yang basah menempel lekat pada telingaku dan bergerak ke samping menelusuri wajahku.
"Ah..." Desahku tertahan.
"Apa kau tahu sayang? kau sangat cantik jika ketakutan seperti ini, mimik wajahmu membuat nafsu liarku bangkit," godanya semakin membuatku ketakutan setengah mati.
"Jangan seperti ini Tuan... Ingatlah, aku adikmu," bisikku lirih.
"Bukan. Kau bukan adikku sayang, kau adalah atasanku, bukankah itu yang kau ucapkan padaku tadi malam saat di kamarku Zahra?" ucap Pramuja membuatku gelisah.
"A-aku tidak sengaja kak Pram, maafkan aku," jawabku sambil menggigit bibir bawahku cemas.
"Tidak sengaja katamu?"
"I-iya kak Pram, saat itu aku marah karna kau membela Reina dan tinggal satu kamar dengannya," jelasku dengan mata berkaca-kaca. Entah kenapa aku jadi sedih jika mengingat kejadian itu. Aku benar-benar tidak terima jika Pramuja memperhatikan wanita lain.
Pramuja menatap mataku dari jarak satu centi, bahkan nafasnya pun terdengar sangat halus di telingaku.
"Apa kau cemburu sayang?" tanyanya lembut.
"Ti-tidak. Bu-buat apa aku cemburu?" jawabku dan tanpa sengaja air mataku jatuh menetes hingga membasahi kedua pipiku.
"Astaga mata! kenapa pakai nangis segala sih?! Pramuja jadi tahu kelemahanku kan! ini semua gara-gara dirimu mata," bathinku kesal.
"Kau cemburu sayang," tuduh Pramuja sambil tersenyum.
"Tidak. Aku tidak cemburu, kau dengar atau tidak sih?!" jawabku berusaha tegas.
"Kalau kau tidak cemburu, kenapa bisa menangis seperti ini sayang? lihatlah. Bahkan airmatamu sangat banyak menetes," godanya membuatku kesal.
"Ck, menyebalkan," sungutku sambil memberontak dari pelukannya.
Bukannya lepas Wira Pramuja justru memelukku semakin erat. Bibirnya mencari bibirku dan melumatnya dengan ganas.
"Mmpphhh, kak..." Desahku frustasi.
"Maaf jika aku telah melakukan kesalahan sayang," bisik Pramuja di telingaku.
Entah dapat dorongan darimana aku membalas ciumannya di bibirku. Aku mengalungkan kedua tanganku di lehernya dan menekannya dengan kuat agar ciuman kami semakin dalam. Aku berusaha menyalurkan kesedihanku padanya.
Aku ingin dia tahu betapa sakitnya hatiku saat dia bersama wanita lain, aku hanya ingin dia memperhatikan diriku saja. Aku tidak mau perhatiannya teralihkan oleh makhluk cantik bernama Reina.
Mungkin aku sempat tidak menyukainya, tapi sekarang aku sadar. Hidupku lemah tanpa dirinya.
"Jangan tidur satu kamar dengan Reina lagi kak Pram," pintaku lirih.
"Apakah kau keberatan sayang? jujurlah," pintanya sambil menatap mataku lembut.
Aku menghela nafas karna putus asa, Pramuja menekan pinggangku agar merapat pada pinggangnya.
"Iya kak Pram, aku keberatan," jawabku sambil menunduk.
Pramuja meraih daguku agar bisa menatap manik matanya. Dia tersenyum dan membelai pipiku penuh kasih.
"Aku tidak pernah tidur satu kamar bersama Reina sayang, saat itu aku hanya sembunyi dari kejaran orang," ucapnya membuatku heran.
"Kejaran orang?! siapa yang mengejarmu kak Pram?" tanyaku membuatnya salah tingkah.
"Ehem, lupakan itu semua, yang pasti aku tidak tidur bersama Reina. Kau mau mandi bukan? ayo aku mandikan, karna aku juga ingin mandi bersamamu," ucapnya membuat jantungku serasa jatuh kedasar perut.
"Apa?! jaga matamu kak Pram!" seruku panik.
"Aku bukan kakakmu."
"Tapi..."
"Sssttt... Aku hanya pelayanmu nyonya."
"Akh!!!" teriakku keras karna Pramuja memanggul tubuh telanjangku di bahunya.
***
Tatapan matanya memang selalu tajam, tapi jika denganku, tatapan mata itu berubah menjadi lembut. Entah kenapa dia bisa bersikap seperti itu? yang pasti, aku sangat menyukainya. Aku sangat menyukai tatapan matanya yang tajam. Terlihat sangat seksi di mataku.
Contohnya seperti saat ini, Wira Pramuja terus menatapku tanpa berkedip, dia ibarat ular yang siap memakan mangsanya kapan saja. Bahkan pipiku sampai bersemu merah karna malu, apalagi saat Pramuja menatapku dengan penuh minat, semakin membuatku gementar dan salah tingkah.
Sejak kejadian intim di bawah shower tadi pagi, sikapnya jadi berubah liar, dia selalu memandangku seolah aku ini adalah pujaan hatinya.
Astaga! mana mungkin?! kurasa aku memang perlu menyegarkan otakku, setiap sentuhannya mampu membuat hatiku yang paling dalam berdebar-debar tidak karuan.
Pramuja...
Benarkah kau seorang manusia?
Kenapa kadang aku berpikir bahwa kau itu adalah monster, meskipun aku akui bahwa kau benar-benar sangat mempesona.
"Zahra," panggil Pramuja membuyarkan lamunanku.
"Eh! iya," jawabku terkejut.
"Kenapa kau malah melamun nyonya manja? cepat siapkan kamar baruku," goda Pramuja sambil tersenyum.
"Em... Sudah selesai, aku rasa kamarmu sudah bersih. Kau bisa menempatinya mulai malam nanti. Ingat ya!! Jangan tidur bersama Reina. Kata orang tua jaman dulu itu tidak baik," nasehatku membuatnya tertawa.
"Aku tidak pernah tidur bersama Reina Nyonya Zahra, kenapa kau masih saja cemburu?" candanya dan langsung bangkit dari kursi buat menghampiriku.
"A-aku tidak cemburu, jangan terlalu besar kepala Tuan," selaku salah tingkah.
Pramuja mendekatiku dengan perlahan, tangannya menarik pinggangku hingga mau tidak mau aku jadi mendekat ke arahnya.
"Uh," rintihku saat dia membawaku kedalam dekapan hangatnya. "Apa kau selalu bersikap seperti ini pada setiap wanita Tuan Pram?" tanyaku setengah berbisik. Pramuja memajukan bibirnya dan mengecup leherku pelan. "Sshhh..." Desahku meremang.
"Aku tidak pernah memandang wanita lain selain dirimu Zahra, hanya kaulah semangatku buat kembali ke dunia nyata ini," jawabnya membuatku bingung setengah mati.
"Kembali ke dunia nyata?! apa maksudmu Tuan Pram?" tanyaku ingin tahu. "Apakah kau pernah tiada? mati suri misalnya?" tanyaku lagi karna semakin penasaran.
Pramuja terlihat sangat gelisah, dia melepaskan tangannya di pinggangku dan menatap ke arah lain. Dia terdiam cukup lama hingga mau tidak mau aku mengguncangkan bahunya.
"Tuan Pramuja," panggilku pelan.
Pramuja kembali menatap mataku dan menjawab pertanyaanku dengan nada datar. Seperti ada penderitaan di matanya. Setiap kata-katanya mengandung makna yang susah sekali buat di tebak.
"Maksudku... Sebelum bertemu denganmu, hidupku serasa mati Zahra, dan setelah bertemu denganmu, dunia nyataku seolah kembali," jawabnya tanpa ekspresi.
Aku merasa Pramuja menyembunyikan sesuatu dariku, entah kenapa dia berubah muram setelah mengucapkan kata dunia nyata kepadaku.
Karna tidak mau membuatnya sedih, aku mengalihkan perhatiannya dengan mengajaknya ke jendela.
"Ikut aku," ajakku sambil menarik tangannya pelan. Pramuja menurut dan mengikutiku ke dekat jendela. Setelah sampai, entah di rasuki apa dia mencium bibirku ganas dan penuh dengan tuntutan.
"Mmpphh... Apa yang kau lakukan kak Pram..." Tanyaku gemetar.
"Semoga kau mau menerima diriku apa adanya Zahra, karna kau hanyalah milikku" gumamnya pelan dan hampir tidak terdengar.
Pramuja memeluk tubuhku dengan erat, karna kondisi pikirannya lagi kurang baik, maka aku membalas pelukannya dan tidak memprotes sama sekali.
"Tuan Pram,"
"Iya," jawabnya lembut. Pelukannya benar-benar sangat membuatku nyaman.
"Kemaren malam aku di ganggu oleh seekor ular, tapi entah kenapa ular itu terlihat sangat aneh. Dia bisa berubah bentuk menjadi besar. Dia hampir saja mematukku. Tapi karna kasihan melihat wajahku yang sedih, dia tidak jadi mencelakaiku dan malah lari ke kamarmu dengan cepat. Aku mengejarnya dengan membawa sapu. Itulah sebabnya kenapa aku mendobrak pintu kamarmu tengah malam. Tapi setelah pintu kamarmu terbuka, ular itu tiba-tiba saja menghilang. Aku takut dia menggigitmu dan membuatmu celaka. Tapi ternyata aku salah, justru akulah yang celaka karna melihat Reina, em... Maksudku, melihat kalian berdua berada di dalam satu kamar. Tahu gitu mending ularnya aku suruh gigit aja biar kalian berdua kapok," sungutku membuat Wira Pramuja tertawa geli.
"Benarkah?! berani sekali Ular itu menganggumu!! awas saja kalau ketemu, bakalan aku tangkap dan langsung aku bakar buat makanan tikus," jawab Wira Pramuja membuatku merasa aneh.
Tidak ada rasa khawatir sedikitpun di matanya. Apakah dia tidak memperdulikan keselamatanku?! sikapnya seolah-olah hanya sedang mendengarkan sebuah dongeng khayalan dari anak kecil. Apakah aku tidak berarti di matanya?! apakah aku tidak penting baginya?!
Huft...
Entahlah?!
"Zahra," panggilnya lembut.
"Iya,"
"Kenapa kau terlihat muram nyonya manja?" tanyanya membuatku kesal.
"Tidak apa-apa Tuan, dan aku bukanlah nyonya manja. Aku mandiri, kau dengar?! selamat tinggal," sahutku sambil meninggalkan kamar barunya yang letaknya di sebelah kamarku.
Saat akan membuka pintu, Pramuja lebih dulu menarik tanganku. Dia menghimpit badanku ke pintu.
"Eh, apa yang kau lakukan Tuan?" tanyaku gemetar.
"Aku akan selalu menjagamu Zahra, jangan khawatir, kau akan selalu baik-baik saja sayang, kau dengar?" rayu Pramuja membuatku salah tingkah.
"Terima kasih," jawabku tersipu malu.
"Tapi ada bayarannya," godanya membuat mataku melotot.
"Apa?! berapa? aku lupa kalau kau adalah seorang penjaga," gerutuku kesal.
"Apa kau yakin bisa membayarku?" tanyanya semakin membuatku geram.
"Bisa. Aku anak orang kaya Tuan Pramuja, aku juga bekerja, jangan meremehkanku," jawabku tajam.
"Baiklah, aku mau ini bayarannya sayang, cup," Pramuja mengecup keningku. "Dan ini juga sayang, cup," Pramuja mengecup bibirku. "Ini apalagi sayang, cup," Pramuja mengecup leherku.
Tubuhku merasakan gelenyar aneh, Pramuja semakin turun ke bawah dan saat akan menyingkap Dressku, tiba-tiba,
Tok
Tok
Tok
Dengan kesal, Pramuja menghentikan aktifitasnya. Hatiku merasa lega sekaligus ingin tertawa. Pramuja membuka pintunya dengan kasar.
"Reina!!" seru Pramuja membuatku terkejut.
"Ada apa Reina?" tanyaku pelan.
Bukannya menjawab, Reina malah menghampiri Pramuja dan mengalungkan tangan putihnya di leher Pramuja.
"Sarapan sudah siap Pram, kau harus makan, aku yang sudah memasak sendiri untukmu," ucapnya dengan nada seksi.
"Terima kasih, kau tunggu saja di bawah, aku akan segera kesana," jawab Pramuja tanpa ekspresi.
Pemandangan Reina memeluk leher Pramuja benar-benar membuatku muak. Andaikan saja aku bisa, ingin rasanya aku mencekik lehernya. Tapi apalah daya? Dia tamu kesayangan Papa. Sementara aku harus menghormatinya. Menyebalkan! Sangat menyebalkan.