Via memandang pantulan dirinya dengan bosan cermin di depannya. Sungguh, mood-nya terjun ke jurang atas teror pria aneh itu. Apa kesalahannya di masa lalu sehingga berurusan dengan si Mas ojek yang membuatnya takut dan jengkel secara bersamaan. Selama ini, hidupnya selalu damai dan tenang, tak ada yang menganggunya selain kesendirian. Dia beraktifitas seperti biasa, pagi berangkat mengajar, sore pulang ke rumah dan ke toko buku setiap akhir pekan. Hanya itu, hidup yang aman dan damai.
Via meraih jilbab panjang sederhana dan gamis pudar bewarna ungu, dia tak memoles wajah sedikit pun, tujuannya supaya laki-laki itu tak lagi mengaguminya dan menjauh darinya. Via akan melakukan segala cara agar pria itu berhenti mengejarnya.
*****
Via hanya tersenyum kecut melihat pria di depannya. Ternyata laki-laki itu sudah lebih dulu sampai di toko buku langganannya. Entah dari mana pria itu tahu tentang toko yang selalu dikunjungi Via tersebut, padahal dia tak pernah diantar oleh si Mas tukang ojek itu ke sini. Selain licik dan penuh manipulatif, dia juga hebat dan memiliki bakat sebagai penguntit.
Ada yang berbeda, kali ini dia tak terlihat seperti tukang ojek. Dia memakai kaos hitam yang melekat sempurna di tubuhnya, sekilas lihat kaos itu terlihat biasa, tapi jika diteliti lebih dekat, Via tahu persis bahwa kaos itu adalah kaos mahal yang tak bisa dimiliki semua orang karena harganya yang bisa mencapai belasan juta.
Kaos hitam itu dipadukan dengan celana jins bermerek dan sepatu sport bermerek juga. Via jadi heran, apa penghasilan sebagai tukang ojek sebanyak itu sehingga bisa membeli kaos sejenis Armani?
"Duduklah! Aku sudah menunggumu selama satu jam." Raihan menyediakan kursi di depannya untuk Via. Toko ini memiliki fasilitas yang tak dimiliki toko buku lain. Ada taman membaca yang terlihat keren yang cukup luas dan cocok dijadikan tempat mengobrol dan membaca sampel buku yang akan dibeli.
Via hanya menurut. Tak berniat menanggapi laki-laki di depannya. Yang dia pikirkan bagaimana waktu berlalu dengan cepat dan dia segera pulang ke asramanya di pondok pesantren.
Raihan tersenyum sekilas.
"Ada yang ingin kau tanyakan padaku?"
"Tidak." Via menunjukkan kebosanannya." Langsung saja, apa maunya, Mas? saya tak punya banyak waktu." Via melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.
"Menikahlah denganku, Via. Aku serius mengucapkannya."
"Mas," tegur Via dengan wajah jenuhnya." Carilah wanita lain yang akan Mas ajak menikah, bukan saya. Kita ini tidak saling mengenal secara khusus, tak ada hubungan apa pun yang bisa kita jadikan landasan untuk menikah. Saya punya pilihan sendiri, Mas."
"Aku melihatmu tak memiliki kekasih. Aku akan bertanggung jawab penuh pada dirimu, kau tak perlu lagi bersusah payah mengajar di pondok pesantren. Cukup di rumah saja menjadi istriku." Raihan tak menyerah.
"Mas," tegur Via mulai emosi. " Saya tidak bisa. Mas tau pasti bahwa saya sudah menolak dari awal. Fahami saya, Mas! Pernikahan itu bukan drama atau sinetron."
"Laki-laki seperti apa yang kau inginkan, Via? Kalau kau ingin mulai saat ini aku belajar agama, memakai baju koko dan peci, maka aku akan menurutimu, yang penting kita menikah." Suara Raihan memelas.
"Mas, ini bukan permasalahan apa maunya saya, masalah hijrah, hijrah-lah karena keinginan hati Mas, jangan sangkut pautkan dengan saya, Mas!"
"Apa aku tak menarik di matamu, Via?" Raihan mulai putus asa.
Via terdiam, menilai laki-laki itu. Dia sangat tampan, kelewatan tampan malahan. Wajah blesteran yang tak biasa, mata tajam dengan pandangan tegas menandakan bahwa dia adalah orang yang keras. Hidung mancung ditunjang dengan bibir merah muda gelap dan rahang yang tegas. Belum lagi tubuh tinggi berotot yang tak menyimpan lemak sedikitpun. Secara lahiriah, laki-laki ini lebih cocok bersaing dengan aktor Hollywood dari pada laki-laki Indonesia.
Namun, tak ada rasa apa pun di hati Via melihat laki-laki itu. Malah dia sangat bosan dan jengkel.
"Mas, banyak di luar sana wanita yang akan menerima lamaran Mas."
"Aku bukannya tidak laku, Via. Aku ingin menikah, tapi denganmu, bukan dengan wanita lain. Apa sejauh ini kau tak mengerti juga, ha?" Raihan mengusap wajahnya kasar. Suaranya mulai meninggi.
"Mas," Via terpancing emosi. " Mas terlalu memaksakan kehendak Mas kepada saya, saya sudah tegaskan tidak bisa menerima lamaran Mas, siapa yang lebih cocok dibilang tak mengerti? Saya atau Mas?"
"Katakan Via, apa yang harus aku lakukan agar kita menikah?" Raihan menarik jemari Via dan di lepaskan wanita itu dengan kasar.
"Jangan menyentuh saya sembarangan, itu adalah sifat yang paling tidak saya sukai dari Mas." Mata Via berapi-api karena marah.
"Saya rasa semuanya sudah jelas, sekarang saya permisi. Assalamualaikum." Via beranjak meninggalkan Raihan yang mengacak rambutnya frustasi.
"Aku akan mengantarmu." Raihan menyusul wanita itu.
"Tidak usah, Mas, saya bisa pulang sendiri." Via mengeluarkan ponsel pintarnya mencari aplikasi ojek online. Sungguh malang tak pandai membawa kendaraan.
"Via, aku akan mengantarmu, suka atau tidak suka. Tunggu di sini!"
Via hanya bisa meremas sapu tangan di tangannya. Dia sangat benci laki-laki itu yang selalu menekannya.
Tak lama, Raihan sudah muncul dengan mobil SUV yang membuat Via melongo. Bukan kagum, tapi cenderung lebih bertanya-tanya, siapa laki-laki ini sebenarnya. Dia tahu betul, mobil ini adalah sejenis mobil mewah yang harganya bahkan mencapai 4 milyar.
"Masuk!" Raihan membuka pintu mobil untuk Via dan di balas wanita itu dengan wajah masam.
Tanpa diketahui Via, laki-laki di sampingnya menerbitkan senyum smirk. Dia sudah merencanakan ini, menculik Via dan memiliki wanita itu untuk dirinya sendiri. Sekali lagi, secara paksa atau suka rela. Wanita itu harus menjadi miliknya.
***
Via merasa ada yang janggal saat ini, laki-laki itu sama sekali tidak menempuh jalan menuju pondok pesantren. Dia tau betul, jalan ini menuju jalan tol ke Jakarta. Gadis itu berubah resah, hatinya mendadak berfirasat tak enak. Pasti ada sesuatu yang akan direncanakan laki-laki itu.
"Ini salah jalan, Mas." Via terdengar panik, matanya melebar melihat keluar melalui kaca mobil. Bahkan mereka sudah masuk ke jalan tol.
"Jalan ini benar,"
"Apa maksud, Mas?" Via merasakan jantungnya berdentum ketakutan. Dia mulai mencari cara untuk kabur. Tapi demi tuhan, semua pintu terkunci dan wajah laki-laki itu tampak menegang misterius.
"Sudah kubilang kita akan menikah."
" Berhenti, berhenti sekarang juga!" Via menjerit sambil mendorong pintu mobil yang tak bisa dibukanya.
"Kita akan menikah."
"Anda gila, hentikan mobil ini. Saya akan berteriak." Via sangat panik. Kenapa dia mempercayai orang gila di sampingnya. Padahal dia tau laki-laki ini adalah teror yang berbahaya.
"Takkan ada yang mendengarmu, calon istriku." Senyum menang terbit di wajah Raihan. Dia tak peduli dengan Via yang mencoba membuka pintu mobil.
"Berhenti, Mas! " Via menghiba dengan air mata bercucuran, Raihan sengaja tak melihat ke arah gadis itu, dia takkan bertahan dengan air mata Via. Dia sudah memperhitungkan semua ini, jika dia luluh, maka misi takkan berhasil.
"Istirahatlah! Kau pasti lelah."
Via mengamuk, sambil menangis dia memukuli Raihan secara brutal dengan tas kecilnya.
"Hentikan mobil ini! Hentikan mobil ini...hiks." Via menangis putus asa, dia terus memukuli kepala Raihan.
Awalnya Raihan mencoba tak peduli, tapi perbuatan Via mengganggu konsentrasinya. Raihan membanting setirnya dan menepi secara mendadak.
Dia menangkap tangan Via sehingga gadis itu berhenti memukulinya.
"Diam!" bentak Raihan. Via menangis histeris. Dengan sisa tenaganya dia berusaha bernegosiasi dengan Raihan.
"Apa salah saya, Mas? Kenapa Mas memperlakukan saya begini? Saya tidak memiliki utang dengan Mas."
"Aku sudah tegaskan, kita akan menikah. Tapi kau tak juga mengerti, apa salahnya kau tinggal mengangguk sehingga semua menjadi mudah. Tapi kau tetap dengan kekerasan kepalaanmu menolak cintaku," desis Raihan.
"Mas sudah gila, Mas butuh psikiater." Via menjerit di sela tangisnya. Dia tak berhenti mendorong pintu untuk melarikan diri. " Buka pintunya! Saya mohon." Via menangis menghiba.
"Kita akan menikah, kau akan bahagia bersamaku, Via. Aku berjanji akan menjadi suami yang bertanggung jawab."
"Lebih baik saya mati, nikahi saja mayat saya." Via menjerit sambil merenggut tangannya yang berada di genggaman Raihan.
"Kau keras kepala, Via."
"Buka pintunya! Manusia gila."
"Kita akan menikah, kau akan bahagia denganku, aku berjanji." Raihan berusaha menggapai lengan Via namun ditepisnya dengan kasar.
"Saya tak mau menikah dengan Anda. Apa Anda tak punya telinga Untuk mendengar, ha?" Via memuntahkan kemarahannya. Demi Allah, dia sangat membenci laki-laki jahat ini.
"Jangan membuatku kehabisan kesabaran, Via!" Ancam Raihan.
"Buka pintunya, buka pintunya! Ya Allah selamatkan hamba...!" Via menangis sesenggukan. Namun tangis itu tak berlangsung lama, saat tangan Raihan membekap mulutnya dengan sapu tangan.
"Maafkan aku! Teriakanmu membuatku gila." Raihan menatap penuh sesal pada wanita itu yang sudah roboh ke pangkuannya. Via pingsan karena obat bius yang sudah disediakannya. Sejenak Raihan menghela nafas, mengusap kepala Via dengan permohonan maaf.
"Aku memang sudah gila, seperti katamu. Tapi kegilaan ini hanya kamu yang akan mengobatinya."
Raihan kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
*****
Via mengerjapkan matanya menyesuaikan penglihatannya dengan ruangan asing yang belum pernah dilihatnya sama sekali. Via tersentak dan bangun dari pembaringannya. Seorang wanita berusia lima puluhan menyambutnya penuh senyum.
"Syukurlah! Anda bangun Nona. Saya akan memberitahukan kepada Tuan." Wanita tua itu bersiap berbalik membuka pintu.
"Tunggu, di mana saya? Siapa Anda?'
"Anda berada di mansion tuan Farras Raihan Abraham. Saya adalah kepala pelayan di rumah ini." Wanita itu tersenyum tulus sambil membungkuk.
Via turun dari tempat tidurnya, berjalan tergesa-gesa menuju pintu keluar. Namun dihalangi oleh wanita itu.
"Maaf, Nona. Anda tak boleh keluar dari kamar ini."
"Saya mau pulang, menyingkirlah! " Via berusaha mendorong pelan wanita itu namun wanita itu tak bergeming dari tempatnya berdiri.
"Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah."
"Saya mau pulang, saya mohon, saya mau pulang, Tuan Anda sudah menculik saya, saya harus pulang. Mengertilah!" Via bersimpuh sambil menutup wajahnya yang sudah sembab.
Wanita itu tampak menelpon seseorang dengan panik. Beberapa menit kemudian, Raihan masuk ke dalam dan menyuruh pelayannya untuk meninggalkan mereka.
Via bangkit memandang Raihan dengan benci.
"Buka pintunya!" Via mendesis menahan sumpah serapah dari mulutnya.
"Kau takkan kemana-mana, Tempatmu adalah di sini," tegas Raihan.
"Saya akan melaporkan Anda ke pada polisi."
Raihan mengacak rambutnya kasar.
"Via, jangan membuat semua menjadi sulit."
"Saya mau pulang." Via kembali menangis, dia merosot bersandar ke dinding yang di cat putih itu.
"Aku akan mengantarkanmu kemana pun kau mau, setelah kita menikah."
"Saya tak mau menikah dengan Anda. Apa Anda tak punya hati? Apa anda tak punya belas kasih?"
"Aku mencintaimu, Via."
"Saya tak mencintai Anda." Suara Via meninggi.
"Kau juga akan mencintaiku, aku berjanji aku akan membuat kau jatuh cinta padaku."
"Anda gila. Keluarkan saya dari sini." Via melemparkan vas bunga ke arah Raihan, pecahan kaca itu memantul melukai pipinya dan mengeluarkan darah. Raihan mengusap darah itu dengan senyum miris.
"Kau sangat angkuh Via." Raihan mendekat. Via mundur dan membelalak saat dia terdesak ke dinding, sementara laki-laki itu semakin mendekat