Bersama Sehari Lagi.

1160 Kata
Mendung menempel di kaca jendela seperti duka yang tak mau pergi. Di dalam kantor lantai tiga puluh tujuh, cahaya putih lampu gantung memantul dari marmer hitam, dingin dan nyaris tak berjiwa—seperti si pemilik ruangan. Hannan duduk di belakang meja besar yang tertata rapi nyaris steril. Tidak ada foto, tidak ada tanaman, hanya tumpukan dokumen dengan stabilo merah dan laptop yang menyala dengan grafik bisnis yang terus menanjak. Seorang pria mengetuk pelan, lalu masuk dengan gugup. Menyapa Hannan yang masih sibuk membersamai pekerjaan. "Selamat malam, Pak. Saya membawa kabar soal konferensi dengan pihak investor Jepang." "Sampaikan." "Mereka bilang minta dijadwalkan ulang." "Lagi?" Hannan membanting pulpen yang sedari tadi digunakannya menulis. "Bukankah sudah saya jadwalkan dua kali, dan sekarang mereka minta ubah seenaknya begini?" Lelaki yang dua kancing kemejanya terbuka itu menaikkan alis, nada bicaranya pelan tapi penuh tekanan. "Jelaskan kenapa saya harus buang waktu untuk orang yang tidak bisa menghargai waktu saya?" sambung Hannan, terdengar kesal. Bawahan di seberangnya—Vian—menelan ludah, berdiri kaku, kedua tangannya mengepal gugup. "Berapa kali saya bilang, saya tidak suka berurusan dengan hal yang tidak esensial," ucap Hannan datar, tapi tajam seperti silet. "Saya tidak mau hal ini terulang." "Itu kereka mereka menunggu kepastian dari pihak kita, Pak." "Saya adalah pihak kita, Vino," potong Hannan tajam. "Dan saya tidak suka berurusan dengan pihak yang menjilat waktu seenaknya." Vino menunduk, menangkap semua maksud yang dilontarkan Hannan hanya dari hela napas. "Sekarang bicara soal target. Divisi kamu drop dua persen minggu lalu. Kasih saya satu alasan kenapa kamu masih duduk di jabatan itu." "Saya sedang benahi sistem baru, Pak. Ada transisi, dan—" "Alasan!" Hannan berdiri, matanya tajam menusuk. "Satu hal yang paling saya benci dari manusia adalah ketidakmampuan mereka menelan tanggung jawab tanpa bumbu drama." "Maaf, Pak." "Kalian pikir saya babysitter yang bertugas membereskan kekacauan yang kalian buat?" Malam itu, Hannan benar–benar tidak memberi ruang. Mencecar semua orang dengan kata–kata tajamnya. "Kalau saya harus terus turun tangan soal hal-hal remeh seperti ini, berarti kalian semua tidak layak duduk di posisi kalian yang sekarang!" Vian mengecil, nyaris tak bernyawa. Hannan memijat pelipisnya pelan seraya berbisik. "Terakhir, saya mau istirahat." "Mengenai pernyataan media soal keluarga Anda. Kami butuh keputusan apakah akan—" "Sekali lagi kalian sentuh ranah pribadi saya, saya pastikan ruangan ini kosong besok pagi." Hannan bersandar, matanya memicing. "Orang luar selalu tertarik mengorek hidup orang lain, padahal hidupnya sendiri tidak lebih baik." Hening sejenak. Jam dinding berdetak seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, tapi tidak ada yang berani bergerak. "Ada lagi?" tanya Hannan dingin. "Tidak, Pak," jawab Vian pelan. "Keluar." Pintu tertutup pelan di belakang Vian. Hannan menghela napas keras, lalu berdiri, membuka kancing kerah bajunya. Matanya melirik sekilas ke arah meja. Di sana, masih tergeletak kertas administrasi rumah sakit yang belum sempat dia sentuh. Nama anaknya tertulis jelas di atasnya. Tanpa ibu—tanpa ayah. Hanya sebuah nama kosong di dunia yang tak pernah diminta hadir olehnya. Ponsel di meja tiba-tiba berdering. Panggilan masuk dari Ibunya—Lena. Hannan menatap nama itu cukup lama. Mendadak napasnya terasa berat. Dia jawab, tapi tidak dengan suara hangat. "Saya sedang di kantor, Bu." Suara perempuan tua terdengar cemas di seberang, lembut tapi penuh tekanan emosi, "Nak, apa kamu sudah datang berkunjung ke rumah sakit? Anakmu, dia masih di sana." Hannan mengerang pelan, menahan kekesalan yang mulai mendidih. "Bukankah sudah saya bilang, saya tidak tertarik membahas anak itu, Bu?" "Dia anakmu, Hannan." "Dia bukan siapa-siapa, Bu. Hanya bayi yang mengambil Kesha dari saya, dan saya tidak punya ruang untuk dia!" Lena terdengar tercekat. "Kenapa bicara begitu? Dia butuh kamu, butuh ayahnya. Dokter bilang dia alergi s**u formula. Bayi itu butuh ASI—" "Saya CEO, Bu. Saya bukan distributor air susu." "Jangan bicara seperti itu, Hannan." "Saya juga lelah mengulang–ulang hal yang sama, Bu. Sudah saya sampaikan saya tidak akan mengubah keputusan saya. Kalau ibu terlalu ingin merawatnya, silakan. Tapi jangan tarik-tarik saya ke dalamnya." Hening. Lena tak menjawab. Lalu, suara napas berat terdengar sebelum telepon ditutup sepihak oleh Hannan. Pria mapan nan dewasa itu melempar ponsel ke meja, lalu berdiri dan menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota Jakarta berkerlap-kerlip, sibuk, ramai, dan hidup. Bertolak belakang dengan dadanya yang kosong. Lebih kosong dari gedung pencakar langit yang masih dalam pembangunan di seberang. Wajah perempuan tadi—yang ditemuinya di rumah sakit, dengan mata merah dan suara lirih—kembali muncul di kepalanya. Terlalu ikut campur. Terlalu berani menyentuh luka yang bukan miliknya. "Kenapa juga saya masih mengingatnya?" gumam Hannan seraya mengusap wajah. Mata tajamnya untuk sesaat kehilangan arah. Hanan bukan marah dan benci pada dunia, melainkan marah pada dirinya sendiri. Yang masih hidup dalam duka dan berpura-pura baik-baik saja. Yang bahkan tidak cukup berani untuk sekadar melihat mata anaknya—kenangan terakhir Kesha. *** Hari itu datang lebih cepat dari yang Andini harapkan. Dokter menyapanya dengan senyum hangat dan berkata bahwa hasil pemulihan pascaoperasinya sangat baik. Tidak ada lagi alasan medis untuk menahannya di rumah sakit. Namun bukan rasa lega yang mengalir di d**a, melainkan sebaliknya. Seolah ada sesuatu yang akan dia tinggalkan, tapi belum siap dia lepaskan. Setiap pagi, Andini bangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena nyeri bekas luka operasi, bukan pula karena suara langkah kaki perawat. Tetapi karena sebuah kegelisahan yang tumbuh diam-diam sejak hari pertama dia memeluk Lingga. "Kamu masih lapar, ya?" "Sudah Ibu susui semalaman, paginya bayi kecilku ini lapar lagi, ya?" Kalimat itu menjadi doa yang Andini bisikkan saban pagi, sembari memeriksa dadanya yang mulai terasa nyeri oleh ASI. Tubuhnya menyimpan jam biologis Lingga lebih baik dari siapa pun. Seolah tahu, ada bayi di luar sana yang sedang menunggu pelukan hangat dan setetes kasih darinya. ASI yang merembes di balik pakaian rumah sakit Andini adalah panggilan jiwa. Panggilan dari luka. Panggilan dari naluri seorang ibu yang kehilangan anak kandungnya, tapi tak bisa membiarkan bayi lain merasakan hal yang sama. Hari-hari yang dulu kosong, kini punya irama. Bangun, menyusui, menatap wajah mungil Lingga yang tenang dalam dekapannya. Seolah semesta memberi satu alasan sederhana: tetap hidup, untuk menyusui bayi itu—satu hari lagi. Andini berdiri di depan cermin kecil, menyisir rambutnya perlahan. Di pipinya masih tergurat sembab, tapi matanya lebih tenang. Dia tidak tahu untuk alasan apa, namun setiap kali menyusui Lingga seolah dia sedang menyembuhkan dirinya sendiri. Luka yang jauh lebih dalam. Luka karena kehilangan—luka karena diceraikan tanpa alasan—luka karena merasa tidak diinginkan. Kini, Andini merasa takut pada hari di mana dia harus pulang. Meninggalkan ranjang rumah sakit, meninggalkan ruangan menyusui, meninggalkan Lingga. "Besok, satu hari lagi," katanya lirih sambil menunduk, jari-jarinya meremas baju di bagian dadanya yang basah. "Setelah itu, aku ikhlaskan, Tuhan. Izinkan aku, satu hari lagi saja bersamanya." Perempuan yang kini sebatang kara itu sudah mulai menghitung hari bukan dengan kalender, tapi dengan berapa kali lagi dia bisa menyusui Lingga. Berapa kali lagi dia bisa mengelus rambut mungil itu, mencium wangi kulit bayi yang hangat, dan merapal doa-doa dalam hati untuk seseorang yang bahkan bukan miliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN