Cinta yang Tersisa.

1053 Kata
Malam telah jatuh saat Hannan memutar kunci pintu apartemennya. Bunyi klik sederhana seperti gema yang menyayat kesunyian—yang sudah menetap di dalam. Bangunan megah itu tampak sunyi, terlalu sunyi untuk seorang laki-laki yang dulu pernah tertawa di bawah atap yang sama bersama perempuan yang dicintainya. Jam dinding berdetak lirih, suara yang justru membuat d**a Hannan terasa semakin sesak. Dia melangkah masuk tanpa benar-benar tahu ke mana tujuannya. Sejak kepergian Kesha, rumah kehilangan arah—seperti dirinya. Mata tajam Hannan bergerak mengikuti sesuatu tepat kala dia berdiri di ruang tamu. Bukan, bukan sesuatu—melainkan seseorang. Hannan bersumpah melihat sosok Kesha berjalan perlahan menuju ruangan kecil di samping kamar—ruangan yang dulu dengan penuh cinta disiapkan untuk buah hati mereka. Ruangan itu kini selalu terkunci, tak pernah dibuka sejak hari Kesha pergi. Namun malam ini, pintunya terbuka sedikit. Dengan langkah pelan, seperti takut membangunkan kenangan yang sudah terlalu rapuh, Hannan menghampiri. Cahaya lampu temaram dari langit-langit ruangan menyinari bayangan seorang perempuan berselendang putih yang tengah berdiri memunggunginya. Menggunakan gaun yang Hannan tau persis selalu dikenakan di hari-hari istimewa. Sosok samar itu menyentuh dinding, di mana ada stiker binatang-binatang kecil yang dulu mereka pasang bersama. "Kesha?" bisik Hannan, seperti gumaman yang patah. "Itu kamu, Sayang?" Perempuan yang dipanggil namanya itu perlahan menoleh. Wajahnya tenang, namun sorot matanya pilu. Terlukis senyuman tipis—namun bukan senyum bahagia. Itu senyum yang membawa tanya. "Mengapa kamu meninggalkannya, Hannan?" tanya sosok berparas malaikat tersebut. "Kamu bilang akan menjaganya. Meski aku tidak bisa, kamu janji padaku akan jadi segalanya—untuknya." "Aku tak bisa," jawab Hannan bersamaan dengan tangisnya hampir pecah. "Maaf, tapi aku—aku tidak tahu harus bagaimana, Kesha. Dia yang merenggutmu dariku." "Dia tidak bersalah." Kesha mendekat. Jemarinya terulur, nyaris menyentuh pipi Hannan. "Dia satu-satunya bagian dari kita yang tersisa, Mas. Dia adalah wujud cinta yang aku perjuangkan untuk kamu." Hannan menunduk, seperti bocah kecil yang ketahuan berbuat salah. Mulutnya ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. "Yang membunuhku bukan bayi kita, tapi kesedihanmu yang tidak pernah kamu sembuhkan. Penolakanmu untuk menerima, itu yang menghancurkan kita." Air mata Hannan jatuh. Meringkuk perlahan di kursi kecil di sudut ruangan—kursi yang dulu mereka beli bersama. Lelaki tangguh berhati baja itu menutup wajahnya. Hanya isakan tertahan yang mengisi keheningan. Saat Hannan membuka mata, ruangan kembali kosong. Tidak ada Kesha, tidak ada suara. Tersisa wangi sabun bayi dan selimut kecil yang belum pernah dipakai. Hannan menatap langit-langit kamar, san untuk pertama kali sejak pemakaman Kesha, dia mengucap satu nama. "Maafkan ayah, Lingga." *** Sejak malam itu ada sesuatu yang berubah dalam diri Hannan. Meski dia tidak menyebutnya dengan kata “penyesalan,” secara terang–terangan. Bukan berubah seketika, bukan melebur jadi air mata—dia terlalu keras untuk itu. Namun langkahnya yang biasanya tegas dan dingin kini menyimpan arah baru. Diam-diam Hannan jadi sering datang ke rumah sakit. Dia tidak masuk melalui pintu utama, dia tahu bagaimana menyembunyikan dirinya dari sorot mata. Hannan berdiri dari jauh—di balik kaca bening ruang perawatan bayi. Matanya mengikuti setiap gerak bayi mungil yang belum pernah sekalipun dia pangku—putra yang belum pernah dia akui. Lingga. Hannan tidak membawa peluk, tidak pula mengucap sapa. Tapi setiap kali dia datang, ada bingkisan yang ditinggalkannya. Botol s**u impor, selimut berbulu halus dari luar negeri, hingga mainan musik dengan denting yang menenangkan. Semuanya dibungkus rapi dengan label tanpa nama. Para perawat tahu, hanya ada satu orang yang selalu berdiri diam di lorong saat semua itu muncul—Hannan. Andini, yang hampir setiap hari berada di ruangan yang sama, mulai bertanya. Suatu pagi, saat salah satu perawat menyusun bingkisan baru ke rak steril, dia bertanya dengan nada pelan, nyaris seperti bergumam. "Dari siapa semua itu, Sus?" Perawat hanya tersenyum, seolah menyimpan rahasia kecil yang hangat. "Dari ayahnya Lingga," katanya pelan. "Pak Hannan. Dia yang selalu datang dan membawa ini semua, diam-diam." Andini tercekat. Hati kecilnya seperti digenggam erat dan dipeluk dalam diam. Bayi yang selama ini dia susui, dia dekap saat malam menggigil sendirian—ternyata tak benar-benar sendirian. Ada cinta yang malu-malu mengintip dari balik dinding-dinding diam. Cinta yang belum menemukan bentuknya, tapi tak pernah benar-benar pergi begitu saja. Di ruang sunyi itu, Andini memandang Lingga lebih lama dari biasanya. "Mungkin kamu lebih dicintai dari yang kamu kira, Nak," bisiknya pelan, sembari menyeka air s**u yang menetes perlahan dari dadanya, dan hati yang mulai merapuh—kembali ditenun harapan. Selesai menyusui Lingga, Andini kembali ke ruang rawatnya. Dia duduk di pinggir ranjang dengan pandangan kosong. Dalam dadanya, keraguan dan rasa sayang bersitegang hebat. "Kalau aku pergi, siapa yang akan menyusuinya nanti?" Pertanyaan itu keluar begitu lirih, nyaris tidak terdengar oleh siapa pun di ruangan itu—kecuali oleh dirinya sendiri. Tangan Andini perlahan mengusap perutnya, yang masih terasa kosong. Dulu di situ ada nyawa yang dia tunggu, meski takdir berkata lain. Kini, bayi yang dia susui dengan sisa kasihnya justru bukan miliknya. Ketukan pelan di pintu membuat Andini tersentak. Perawat masuk, tersenyum lembut padanya. "Ibu Andini, perlu kami bantu berkemas?" Andini diam. Wajahnya nyaris tak berekspresi, tapi matanya penuh tanda tanya yang tak bisa dia ucapkan. "Lingga hari ini tidur pulas sekali,” ujar sang perawat, mencoba mencairkan suasana. "Bayi kecil itu tidak pernah rewel dan menyulitkan siapapun. Semua orang menyukainya, dia menjadi idola dalam sekejap." Andini hanya mengangguk, lantas memberanikan diri bertanya. "Setelah saya pergi, siapa yang akan menyusui Lingga, Sus?" Perawat tampak tertegun. "Kami sedang mencoba mencari donor ASI lain. Tapi, kami tidak tahu, apakah Lingga bisa cocok. Dia sangat peka. Mungkin karena sejak awal sudah terbiasa dengan ibu Andini." Andini mengatupkan bibirnya rapat-rapat. d**a kirinya terasa berat—bukan karena luka pasca operasi, tapi karena perasaan yang menjerat. Perawat melanjutkan dengan berkata lirih, seperti rahasia kecil yang ingin dibagi, "Kadang, mungkin bayi memilih ibunya sendiri, Bu. Entah dari darah, atau dari hati." Andini menoleh perlahan, menatap sang perawat. Dia mengangguk pelan, lalu berdiri sambil merapikan bajunya. "Kalau begitu," ucapnya, menahan napas sejenak, "izinkan saya pamit dulu ke Lingga." Perawat terdiam sejenak, lalu tersenyum haru. "Silakan, Bu. Kami tahu dia akan sangat merindukan Ibu." Dengan langkah yang ringan tapi hati yang berat, Andini menuju ruang perawatan bayi. Dia tidak tahu apa yang akan dia katakan ketika sampai di sana. Lingga mungkin juga tidak akan mengerti maksud dari perpisahan mereka. Tetapi yang pasti, ada sepotong jiwa yang tak ingin dia tinggalkan sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN