Pelukan Pertama Ayah.

1116 Kata
Langkah perempuan itu menghilang di balik pintu. Tidak terdengar suara, tak ada salam atau permisi. Hanya keheningan yang kembali merebut ruangan seperti saat merebut segalanya dari Hannan sejak Kesha pergi. Tapi kali ini, ada yang tertinggal. Aroma lembut dari tubuh Andini, jejak hangat tangannya di ujung selimut Lingga, dan—kalimat terakhir yang menggema seperti tamparan di d**a Hannan. "Setidaknya pernah ada satu pelukan di dunia ini yang ingin menjaganya." Bukan ratapan. Bukan tuduhan. Ucapan yang begitu sederhana, begitu dalam, dan terlalu jujur untuk dilupakan. Hannan menatap Lingga. Anak itu tertidur dengan wajah damai dalam dekapannya. Begitu kecil. Begitu rapuh. Dan entah bagaimana, begitu—berharga. Tidak ada lagi bayangan Kesha yang rebah tak bernyawa, tidak ada lagi kebencian yang dulu menutupi pandangannya. Yang tersisa hanyalah suara napas lembut seorang bayi—dan satu kesadaran menyakitkan: bahwa dia hampir saja kehilangan anak ini untuk kedua kalinya. Hannan bukanlah laki-laki yang gampang goyah. Dia tidak pernah menangis, bahkan ketika peti Kesha diturunkan ke tanah. Dia bisa membangun perusahaan dari nol, menghancurkan kompetitor dalam semalam, mengendalikan ratusan orang hanya dengan satu kalimat dingin. Tapi hari ini, satu perempuan asing dengan tubuh kurus dan mata sembab—mampu mengacak seluruh bentengnya hanya dengan kalimat sederhana. Hannan memeluk Lingga lebih erat. Bayi itu menggeliat pelan, meringkuk dalam kehangatan ayah yang baru ia kenali. "Kamu punya keberuntungan besar, Nak," bisik Hannan. "Seseorang mencintaimu bahkan saat ayahmu sendiri menolakmu." Nada suaranya nyaris tak terdengar. Perlahan–lahan, Hannan sadar—tak ada kata yang lebih tepat selain—maaf. "Dia lebih pantas disebut manusia daripada saya." Perlahan, lelaki berkemeja putih itu keluarkan ponsel dari jas, menekan cepat nomor asistennya. "Ira." "Ya, Pak Hannan?" "Segera siapkan perlengkapan bayi. Lengkap. Barang terbaik. Dan pastikan ruangan Lingga dipindah ke ruang perawatan VIP malam ini juga." "Baik, Pak." "Satu hal lagi, Ra." "Silakan?" "Cari tahu semuanya tentang perempuan bernama Andini. Dia perawat atau pasien di sini, saya ingin tahu di mana dia tinggal." "Untuk keperluan apa, Pak, jika boleh saya tahu?" Hannan terdiam. Wajahnya menunduk, memperhatikan bayinya yang tertidur lelap, begitu lekat dalam pelukannya. "Saya ingin membalas satu bentuk kasih yang bahkan tidak saya pinta, tapi tak akan pernah saya lupakan." Telepon ditutup. Tangan berotot itu gemetar ketika mencium pelan dahi Lingga, canggung, gugup, namun hangat dan nyata. Malam itu, tak ada suara yang lebih nyaring dari degup jantung seorang ayah—yang akhirnya mengakui bahwa dirinya telah kalah—oleh cinta yang tak dia kenal, dari perempuan yang tak dia pahami. *** Ruang perawatan VVIP sore itu terasa hangat oleh cahaya matahari yang menembus jendela besar. Di dalamnya, seorang bayi mungil terbaring tenang di inkubator khusus, dikelilingi oleh alat-alat pemantau medis yang berbunyi pelan. Tapi sorot matanya tajam, seolah mengenali sosok asing yang kini berdiri gugup di sisinya. Hannan, pria dingin yang lebih lihai memimpin ratusan karyawan daripada memegang botol s**u, berdiri kaku dengan kemeja digulung hingga siku. Di sisinya, Lena—ibunya—tersenyum kecil, menyaksikan putranya yang selama ini jauh dari sentuhan kelembutan, perlahan luluh oleh tatapan anak darah dagingnya sendiri. "Kalau diginikan, sakit atau tidak?" gumam Hannan lirih, mengerutkan dahi saat menyeka perut Lingga dengan kapas basah. "Enggak, Nak. Bayi itu kuat, asal kamu lembut," sahut Lena pelan, seperti tak ingin mengganggu momen itu. Suster yang berjaga ikut mendekat. Hannan, tanpa ragu, menoleh padanya. "Apa langkah berikutnya setelah ganti popok? Pasang selimut atau diangkat? Atau—" "Bisa digendong dulu, Pak. Biar nyaman. Nah, pegang kepalanya dengan lebih lembut, Pak," bisik perawat. "Saya tahu," sahut Hannan cepat, tetapi suaranya terdengar gugup, jauh dari ketegasan seorang CEO yang biasa bicara di ruang rapat. Lena tersenyum tipis. "Kamu tidak harus tahu semuanya, Han. Belajarlah." Hannan tidak menjawab. Dia hanya memandangi wajah kecil di pelukannya—terlalu kecil untuk menanggung kehilangan, terlalu sunyi untuk mengerti penolakan. "Saya tidak sadar kalau dia—sekecil ini. Apa saya bisa menggendongnya?" "Tentu, Pak." Hannan mengangguk dan perlahan, dengan gerakan agak kaku, mengangkat Lingga ke dadanya. Anak itu mengerang sedikit, menggeliat dalam pelukannya. Tapi ketika kepala mungilnya bersandar di d**a Hannan, suara tangisnya mereda. Jantung Hannan berdebar keras—ada rasa hangat menjalari tubuhnya, perasaan yang tak pernah dia izinkan masuk selama ini. "Bagaimana cara tahu dia lapar?" tanya Hannan pelan, nyaris berbisik. Lena mendekat. "Kalau dia mulai rewel, biasanya pertanda lapar." Dan benar saja. Tangis Lingga menggema dari balik boks inkubator, menyayat keheningan malam di ruang VVIP. Hannan berdiri kaku, tubuhnya tegang seolah mencoba menahan gelombang panik yang datang bertubi-tubi. Jemarinya mengepal, rahangnya mengeras, matanya tertuju pada anak yang baru saja mulai dikenalnya—tapi sudah mencengkeram hatinya begitu dalam. "Di mana susunya?" tanya Hannan lirih, nadanya nyaris tak terdengar. Ada tekanan dalam suara bariton itu yang membuat para suster saling melirik waspada. "ASI–nya belum tersedia lagi, Pak. Kami sedang berupaya mencari donor tambahan," jawab salah seorang Suster. Hannan memalingkan wajah, menghela napas panjang. Lama–kelamaan, napas itu berubah menjadi desahan marah. "Kenapa kalian tidak mempersiapkannya lebih cepat?" bentaknya. "Apa kalian pikir saya akan duduk diam melihat dia menangis seperti ini setiap malam?" "Maaf, Pak. Kami sudah berusaha, tapi tidak mudah mendapatkan ibu susuan yang cocok. Terlebih lagi, sejak lahir, bayi Lingga hanya cocok dengan ASI langsung. Mungkin karena dari awal, dia sudah terbiasa menyusu pada ibunya." "Ibunya?" ulang Hannan cepat, tajam. "Ibu siapa yang kalian makdud? Ibunya sudah meninggal!" Sebelum Hannan bertambah murka, Lena yang mendengar kekacauan itu ikut mendekat. Rautnya berubah panik melihat cucu semata wayangnya itu menangis seperti sedang kehilangan dunia. Dia menoleh ke perawat yang tergesa menyiapkan botol s**u dan menepuk-nepuk punggung Lingga. "Dia kelaparan, apa kalian membiarkannya seperti ini sepanjang malam?" suara Lena bergetar. "Bayi ini tidak menerima s**u formula, Bu. Maaf, dia hanya tenang kalau disusui langsung," jawab perawat lembut. "Selama ini, sudah ada ibu yang membantu menyusui Lingga." Lena terdiam sejenak. Tatapannya menyapu seluruh ruangan yang terasa menyesakkan. Suara tangis Lingga makin menjadi. "Siapa?" tanyanya pelan. "Siapa yang selama ini menyusui cucuku?" Perawat menatap Lena sejenak sebelum menjawab dengan pelan, hati-hati seolah takut jawaban itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh, "Namanya Bu Andini, Bu. Beliau kehilangan anaknya saat melahirkan lewat operasi sesar. Dialah yang menyusui dan merawat Lingga, setiap hari." Sementara itu, Hannan berdiri mematung. Dia menatap Lingga yang menggeliat di gendongan perawat, tubuh mungil itu tampak begitu tak berdaya. Lalu, entah apa yang menyentuh benaknya, Hannan melangkah cepat dan mengambil Lingga dalam pelukannya. Tangis bayi itu belum juga mereda. Tubuhnya gemetar, dan Hannan bisa merasakan betapa rapuhnya makhluk mungil ini. Anaknya. "Tenanglah. Tenang, jagoan," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri daripada bayi itu. Namun Lingga terus menangis. Paniknya tumbuh menjadi frustrasi. Hannan mendekap anaknya, tapi pelukan itu tak bisa menggantikan kebutuhan mendasar yang tak bisa ia beri: s**u dari ibu. Sesuatu yang tak bisa dibeli, tak bisa dipaksakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN