Bukan Lagi Tempat Pulang.

1226 Kata
Tangis Lingga kembali pecah memenuhi ruang VIP sore itu. Hannan mondar–mandir dengan gelisah, mata tajamnya tak bisa lepas dari tubuh mungil bayinya yang menggeliat kelaparan. Suster sudah mencoba menenangkan, tapi air s**u formula yang diteteskan pelan ditolak mentah–mentah oleh bayi itu. "Jadi saya harus bagaimana? Apa tidak ada seseorang pun di sini yang bisa menggantikan Ibu s**u itu dan menenangkan anak saya?" Kesabaran Hannan mulai habis. "Beberapa yang kami hubungi belum bisa—" "Tidak perlu alasan!" potong Hannan tajam, tanpa sadar memberi gertakan. "Yang saya perlukan ASI untuk anak saya secepatnya. Datangkan sekarang juga atau saya buat direktur rumah sakit ini dipecat besok pagi!" "Hannan, tenanglah!" Lena menarik lengan sang putra, membisikkan kalimat agar Hannan tidak sampai mengekspresikan amarah secara salah. Tantangan pertama dari menjadi orang tua kini di depan mata. Hannan harus menemukan solusi agar Lingga tidak menderita dibawah asuhannya. "Saya yang akan carikan orangnya." Hannan kemudian mengeluarkan ponsel dan langsung menekan kontak asisten pribadinya—Ira. "Ayo, angkat!" gumamnya penuh tekanan. Seolah dikejar–kejar oleh sesuatu yang tak kasat mata. Sambungan terangkat dalam hitungan detik. "Ya, Pak Hannan?" ujar suara dari seberang gawai. Hannan menutup mata, menarik napas dalam sebelum bicara. "Mana data yang saya minta? Kerjamu mulai lamban, Ra." "Maaf, Pak. Sudah kami temukan, saya akan kirim secepatnya. Kalau perlu, kami yang akan temui dia—" "Saya jemput sendiri." Terjadi jeda. Hanya suara napas yang tertahan. "Segera kirimkan alamat lengkap dan nomor kontaknya ke ponsel saya. Jangan tanya macam-macam, Ira." "Baik, Pak." Hannan menutup sambungan, lalu menatap Lena yang duduk tak jauh dari boks bayi, matanya berkaca-kaca. "Tolong jaga dia, Bu. Pastikan tidak ada satu orang pun yang menyentuh anak ini tanpa seizin saya." Lena mengangguk, berusaha menahan senyum haru. "Kamu sudah berubah." "Saya bukan berubah," sahut Hannan, mengambil mantel jasnya, "Saya hanya mulai belajar—menjadi seorang ayah." *** Hujan turun pelan di luar jendela saat Andini menyalakan satu–persatu lampu di ruang tengah. Rumah besar itu sunyi, terlalu sunyi. Tidak ada langkah kaki, tidak ada suara panci berdenting di dapur, tidak ada sapaan hangat atau gelak tawa. Hanya gemuruh samar hujan dan gemetar napasnya sendiri yang terdengar di antara dinding-dinding yang dulu penuh harapan. Sejak keluar dari rumah sakit, Andini tidak tahu harus ke mana. Dunia di luar sana terlalu bising, terlalu ramai untuk perempuan sepi sepertinya. Maka dia memutuskan kembali ke tempat terakhir yang dia anggap rumah: kediaman Dirga. Dulu, rumah itu dibangun atas nama cinta—atau setidaknya begitu pikirnya. Kini, rumah itu hanya bangunan kosong yang tak mengerti arti pelukan atau tangis. Andini memutuskan tinggal di sana selama beberapa hari. Tidur di ruang tamu, duduk di sofa dengan mata kosong, kadang tertidur dengan pakaian yang masih basah oleh air mata. Tidak ada yang dia cari di sana selain diam dan ruang untuk bernapas. Lingga, bayi yang pernah menyusu padanya, kini berada jauh. Kehilangan demi kehilangan terus menggerogotinya seperti kesepian yang enggan pergi. Namun pagi itu, sunyi yang biasa menemani berubah menjadi kegaduhan tak terduga. Bunyi pintu utama dibuka dengan paksa. Suara sepatu kulit menghantam lantai marmer. Andini terlonjak, tubuhnya kaku mendengar suara yang sangat dia kenal tapi tak pernah dia rindukan. "Mas Dirga?" ucapnya pelan, mengeja sebuah nama yang kini tlah menjadi orang lain dalam hidupnya. Sosok tinggi itu muncul dari balik lorong. Jas mahal membungkus tubuhnya. Dasi masih rapi. Rahangnya mengeras. Mata elangnya menatap tajam ke arah Andini seperti panah yang siap dilepaskan. "Apa–apaan ini?" suara Dirga dingin dan tajam. "Kenapa kamu bisa ada di sini?" "Mas, aku bisa jelaskan." "Apa kamu tidak punya malu?!" Dirga kembali memekik. "Datang ke rumah mantan suami, tinggal seenaknya tanpa izin. Apa kamu tidak punya harga diri, Andin?!" Andini perlahan bangkit dari duduknya, berdiri kaku di hadapan Dirga. "Aku—cuma niat mampir, Mas." "Mampir? Ke rumahku? Kamu pikir bisa seenaknya masuk tanpa izin? Kamu kira kamu siapa?!" Andini mengecap bibirnya. Luka itu menganga lagi. "Tapi rumah ini pernah jadi rumah kita." "Dan sekarang tidak lagi!" hardik Dirga, nada bicaranya terus meninggi. "Jangan berlagak seolah kamu masih punya hak di sini, Andini. Kamu sudah aku ceraikan, kita sudah selesai!" Andini tersentak. Kata-kata itu lebih tajam daripada sembilu. "Aku nggak punya tempat tinggal lain, Mas. Aku bersumpah aku tidak punya niat macam–macam, hanya—" "Hanya apa?!" serobot Dirga. "Rumah ini bukan tempat 'mampir' asal kamu tau." "Aku tahu, tapi aku nggak tahu harus ke mana, Mas." "Bukan urusanku!" Dirga menghentakkan jasnya, melepasnya kasar lalu melemparkannya ke sofa. "Berapa hari kamu tinggal di sini? Kamu pikir cuma karena pernah jadi istriku, kamu berhak atas semua ini? Atas rumah ini?" Wanita yang dimarahi habis–habisan itu hanya mampu menunduk lebih dalam. "Aku nggak mengambil apa-apa—" "Kamu masuk ke wilayah yang bukan milikmu. Ini bukan rumahmu, Andini. Ini milikku. Semua yang kamu lihat di sini—dari gagang pintu sampai genteng atap—atas namaku!" Andini menelan perih di tenggorokannya. Rumah ini memang bukan miliknya. Tapi pernah, pernah sekali, dia bangun pagi dan menyeduh kopi untuk Dirga di dapur yang sama. Pernah, mereka menyusun boks bayi di kamar sebelah, sebelum kenyataan merampas semua itu. "Kalau kamu ingin mengemis, Andin," Dirga melanjutkan dengan suara penuh hinaan, "aku bisa sewa apartemen murah buatmu. Tapi jangan tinggal di sini. Jangan duduki tempat yang bukan milikmu seakan kamu masih punya bagian dalam hidupku." Ada jeda panjang. Lalu Andini mengangkat wajahnya. Matanya berkaca, tapi bukan karena takut. "Aku nggak ingin kembali ke hidupmu, Mas. Aku hanya butuh tempat sebentar. Untuk pulih." Dirga mencibir. "Kamu tinggal saja di jalanan kalau mau pulih. Jangan tinggal di rumahku, aku tidak sudi berada satu atap denganmu. Wanita pembawa sial!" Andini menunduk. Suaranya tercekat di tenggorokan. Tidak ada satu pun kata yang bisa menjelaskan mengapa dia kembali. Karena bahkan dia sendiri pun tak tahu pasti. Kalimat itu seperti cambuk yang menyayat hati—mencabik–cabiknya tanpa henti. Andini hampir tak bisa menahan air mata. Kata-kata Dirga menusuk lebih dalam daripada rasa kehilangan yang pernah dia rasakan di ruang operasi waktu itu. Seolah, semua kesedihannya tidak penting. Seolah dia tak lebih dari beban masa lalu yang layak dibuang kapan saja. "Kamu harus keluar sekarang juga," desis Dirga. "Sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran." Andini mengangguk pelan. Dia tidak punya tenaga untuk melawan. Meski tubuhnya masih belum pulih betul, tapi luka di hatinya jauh lebih parah dari sekadar jahitan operasi yang perlahan memudar. Saat perempuan yang baru kehilangan bayinya itu menapaki pintu keluar, Dirga berdiri di ambang tangga atas, diam. Tatapannya tajam, tapi entah mengapa sorot itu tak sepenuhnya dingin. "Ini memang rumahmu, Mas Dirga," ucap Andini sebelum pergi. "Tapi itu tak berarti kamu punya segalanya." Kemudian dia melangkah pergi. Meninggalkan rumah yang pernah disebutnya pulang. Membawa luka yang belum sembuh, juga membawa sesuatu yang baru: keberanian untuk melangkah tanpa siapa pun. Dan diantara riuh nan sibuknya hari itu, yang tidak mereka sadari, seseorang tengah berdiri di luar. Di balik dinding pagar pembatas taman kecil rumah megah tersebut. Hannan. Laki-laki itu baru saja tiba. Dia datang dengan niat sederhana—menemui Andini, perempuan yang telah menyusui anaknya dengan kasih sayang yang tidak dimilikinya sendiri. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara bentakan dari dalam. Dia tak bermaksud mencampuri, tapi dia tak bisa memalingkan wajah dari apa yang dia dengar. Dari kenyataan bahwa wanita yang hendak dimintai tolong kini sebatang kara—bernasib malang dan tidak punya siapapun di sisinya. Persis seperti dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN