Perempuan yang Terusir.

1100 Kata
Langit mendung, awan menggantung rendah seperti menahan hujan yang enggan jatuh. Jalanan perumahan elit itu sunyi, terlalu bersih, terlalu sepi untuk perempuan yang baru saja diusir dari rumah yang dulunya dia anggap sebagai tempat pulang. Andini berjalan tertatih, menyeret koper di sampingnya. Pundaknya lunglai, tubuhnya masih lemah, dan matanya sembab. Sesekali perempuan itu menarik napas, mencoba menahan isak yang nyaris pecah di tenggorokan. Dunia yang dulu terasa megah, kini menguncinya di luar pagar, tanpa tempat berlabuh. Dia tahu—tempat itu bukan miliknya. Tapi tetap saja, diusir dalam keadaan seperti ini rasanya begitu menyakitkan. "Mas Dirga bahkan tidak bertanya tentang bayi kami. Dia sama sekali tidak peduli padaku atau pada darah dagingnya sendiri." Andini menarik napas panjang. d**a sesak bukan karena kelelahan, melainkan karena luka baru yang baru saja ditorehkan. Suara Dirga yang mengusirnya masih bergema di kepala. "Sekarang aku harus pergi kemana? Benar kata Mas Dirga, aku sudah tidak punya harga diri lagi." Di ujung jalan, sebuah mobil hitam terparkir. Siluet bayang seorang pria berdiri di samping pintunya. Tegap, rapi, nyaris tak terusik oleh angin sore yang mulai menusuk. Andini mengenalinya. Hannan. Ayahnya Lingga—bayi yang disusuinya. Refleks, Andini menunduk. Kakinya melambat, lalu mencoba memutar arah, menghindar. Dia tidak ingin dilihat. Tidak oleh pria itu. Tidak dalam keadaan menyedihkan seperti ini—menyeret koper, mata sembab, dan napas pendek-pendek karena menahan tangis. Sayang suara itu lebih memanggil namanya. "Tunggu, berhenti di sana!" Suara itu dingin. Datar. Tidak meninggi, tidak penuh amarah. Cukup untuk membuat siapa saja yang mendengarnya mematuhi perintah. "Andini? Kamu Andini, 'kan?" Andini tersentak kecil. Pelan-pelan dia menoleh. Matanya tak berani menatap langsung, tapi dia tahu tatapan itu ada. Menelanjangi keadaannya, menelusuri sisa-sisa harga diri yang kini tersisa tipis di tubuhnya. Hannan berdiri beberapa meter dari tempat Andini berpijak. Dua tangan di saku, tatapannya tajam seperti biasa. Pria itu tidak bergerak, hanya menatap lurus. Menilai. Andini menggenggam erat gagang kopernya. "Anda manggil saya?" "Apa ada orang lain dengan nama itu di sini?" "Saya buru–buru, maaf. Saya punya urusan dan harus segera pergi." "Dengan koper besar seperti itu?" sela Hannan, memotong cepat. Matanya menelusuri gerak gelisah dari lawan bicaranya. "Siapa yang akan percaya?" Lelaki berbadan atletis itu berjalan mendekat ke Andini, mencondongkan tubuh sedikit, menatap wanita yang dikenalinya di rumah sakit dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kamu kelihatan seperti orang yang baru saja diusir," sambung Hannan, tidak bermaksud menghina. Andini menunduk, wajahnya merah sebab malu. "Saya memang diusir," bisiknya pelan, sengaja agar tidak terlalu didengar. Hannan tidak terkejut. Tidak menunjukkan simpati juga. Dia hanya diam. Memandangi Andini sejenak. Lalu, dengan langkah santai tapi mantap, dia berjalan mendekat—lebih dekat. "Seharusnya kamu hubungi seseorang." Hannan berkomentar pedas, seperti biasa. "Atau tunggu sampai pulih. Apa kamu pikir tubuhmu bisa tahan berjalan jauh dengan bekas operasi seperti itu?" Tanpa sadar Hannan menceramahi Andini terlalu jauh. Dia tahu luka yang dialami perempuan itu, tetapi semakin Hannan berempati, hatinya semakin kesal—tidak terkendali. Entah untuk alasan apa. "Kenapa Anda marah–marah? Anda pikir semua orang di dunia ini punya tempat bergantung?" Andini membalas kritikan Hannan dengan napas naik—turun. Terbawa amarah yang sama seperti halnya Hannan padanya. Lelaki berjas mahal itu mendengus pelan. "Saya tidak bermaksud bilang begitu." Andini diam. Tidak membalas. Hannan melirik koper lalu mengangkatnya tanpa permisi. Gerakannya cepat, seolah beban itu tidak ada artinya. "Kalau kamu berniat pergi entah ke mana dalam keadaan seperti ini, itu tindakan yang bodoh," katanya dingin. "Dan saya tidak punya waktu menghadapi kebodohan orang lain hari ini." Andini menarik napas pendek. "Saya tidak minta dikasihani oleh siapapun." "Bagus," balas Hannan sambil membuka pintu mobil. "Karena saya juga tidak berniat mengasihani siapa pun." Andini menatapnya. Bingung. Hannan meraih koper di tangan perempuan itu tanpa permisi. Satu angkat, dan benda tersebut seperti tak berarti di tangan pria dengan jabatan sebesar dirinya. Usai memastikan koper masuk, Hannan berbalik, menatap Andini sekali lagi. "Kamu menyusui anak saya di rumah sakit. Saya berutang untuk itu." Andini menggeleng cepat. "Saya tidak butuh balasan. Anda tidak perlu membantu saya." "Saya juga tidak sedang menawarkan bantuan," ucap Hannan mengoreksi kalimat yang baru Andini lontarkan. "Saya hanya tidak suka melihat orang yang berjasa untuk anak saya berjalan sendirian seperti pengemis di jalan." Pernyataan Hannan sedikit menyentak ego Andini. Dia tak tahu harus menjawab atau lari. Tapi mulutnya mendahului pikirannya. "Saya tidak ingin merepotkan siapa pun. Anda bisa pergi." "Dan itulah yang membuatmu merepotkan." Hannan berjalan perlahan mendekat. Setiap langkahnya seperti dentuman palu. Tegas. Tak bisa dibantah. "Kamu lemah. Sakit. Baru operasi. Dan sekarang menyeret koper, di jalan, tanpa tujuan. Itu bukan ketegaran, itu kebodohan." Andini menunduk makin dalam, merasa kecil. Kalah. Terlalu telanjang di depan pria yang bahkan bukan siapa-siapanya. Hannan membuka pintu mobil—sekali lagi—lalu menoleh, hanya sedikit. Wajahnya tetap datar, matanya seperti samudra beku yang tak pernah memantulkan hangat matahari. "Kalau kamu masih punya sedikit akal sehat, masuklah. Sebelum harga dirimu benar-benar hancur, bukan karena bantuan dari saya—tapi karena dunia memang kejam pada perempuan sepertimu." Ada jeda panjang. Beberapa detik Andini hanya menatap aspal. "Naik. Sebelum saya berubah pikiran." Satu tarikan napas pelan dari Andini sebelum kakinya melangkah pelan. Masuk ke dalam mobil milik Hannan seperti melangkah ke jurang yang belum tahu dasarnya. Aneh, di dalam mobil itu, dia merasa hangat untuk pertama kali sejak dunia runtuh di sekelilingnya. Hannan tidak berkata apa pun lagi. Mobil mulai melaju, meninggalkan rumah yang tadi mengusir Andini, meninggalkan luka yang masih hangat—dan menuju arah yang entah akan lebih baik, atau hanya luka yang berbeda. *** Suara mobil yang melaju pelan di jalanan kota seakan menjadi satu–satunya pengisi keheningan di dalam kabin. Tidak ada suara dari radio, tidak pula dari mulut dua orang yang duduk berdampingan—saling diam, saling enggan menatap. Andini duduk di kursi penumpang, memeluk tas kecilnya erat-erat. Sesekali perempuan berambut panjang itu mencuri pandang ke samping, menatap pria yang menyetir dengan tatapan kosong ke depan, ekspresi dingin yang sejak tadi tak berubah sedikit pun. Hannan. Bahkan saat tadi menarik kopernya dari tangan Andini, pria itu tak menampakkan emosi apa pun. Seolah semua yang dia lakukan hanyalah rutinitas, bukan pertolongan. Bukan simpati. Andini menggigit bibir. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan. Ke mana mereka akan pergi? Apa maksud Hannan membawanya? Tapi udara di dalam mobil ini terlalu kaku untuk dipecah oleh suara ragu. Jadi dia memilih diam. Jari–jarinya memainkan resleting tas yang bahkan sudah tertutup. Matanya menatap kaca jendela, mengamati gedung-gedung tinggi yang meluncur mundur bersama waktu. Meski begitu, pikirannya tak benar–benar ada di sana. Pikirannya ada di Hannan, di anak yang dia susui—dan di rasa bingung yang menyesakkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN