Langit mendung, awan menggantung rendah seperti menahan hujan yang enggan jatuh. Jalanan perumahan elit itu sunyi, terlalu bersih, terlalu sepi untuk perempuan yang baru saja diusir dari rumah yang dulunya dia anggap sebagai tempat pulang. Andini berjalan tertatih, menyeret koper di sampingnya. Pundaknya lunglai, tubuhnya masih lemah, dan matanya sembab. Sesekali perempuan itu menarik napas, mencoba menahan isak yang nyaris pecah di tenggorokan. Dunia yang dulu terasa megah, kini menguncinya di luar pagar, tanpa tempat berlabuh. Dia tahu—tempat itu bukan miliknya. Tapi tetap saja, diusir dalam keadaan seperti ini rasanya begitu menyakitkan. "Mas Dirga bahkan tidak bertanya tentang bayi kami. Dia sama sekali tidak peduli padaku atau pada darah dagingnya sendiri." Andini menarik napas pa