Hannan menyetir tanpa banyak bicara. Mata elang itu tertuju lurus ke jalanan, dingin, nyaris beku. Dia sama sekali enggan melirik, enggan bertanya, enggan menjelaskan apa pun.
Keheningan di antara mereka terasa seperti jarak ribuan kilometer yang tak terjembatani.
Andini meliriknya sekilas. Ada sesuatu yang ingin dia tanyakan sejak tadi, tapi nyalinya menciut. Hannan bukan orang yang mudah didekati. Aura dinginnya begitu nyata, membuat lidah Andini kelu.
"Kenapa sejak tadi Anda diam?" tanyanya pelan, memberanikan diri. "Apa Anda tidak penasaran mengapa saya membawa koper di pinggir jalan seperti tadi?"
Hannan tidak menjawab. Matanya tetap menatap lurus ke depan, seolah tak mendengar. Tapi Andini tahu dia mendengarnya—pria ini hanya sedang memilih untuk diam.
"Saya benar–benar heran," lanjut Andini gugup. "Orang lain mungkin akan langsung bertanya, kamu kenapa? Diusir? Ada masalah apa? Dan pertanyaan lainnya. Tapi Anda tidak."
Setelah sekian detik, Hannan akhirnya angkat bicara. "Kalau kamu mau cerita, kamu akan cerita," ucapnya datar, tanpa menoleh. "Kalau tidak, buat apa saya tanya?"
Andini menunduk, merasa kata-kata itu menusuk. Namun anehnya, tidak sepenuhnya menyakitkan.
"Saya tidak perlu tahu alasan kamu pergi dengan koper besar itu," lanjut Hannan, terdengar begitu tenang. "Yang jelas, saya tahu satu hal. Siapa pun yang membuat kamu keluar dari tempat itu dalam keadaan seperti ini, dia tidak layak kamu tangisi."
Andini menoleh cepat. Napasnya tertahan. "Maaf?" gumamnya tak percaya.
Hannan mengerem perlahan saat lampu merah menyala. Laki–laki beriris mata kelabu itu akhirnya menoleh, sekilas menatap mata Andini. Sorot matanya tak berubah—tetap dingin, tapi tak jahat. Lebih tepatnya—tajam karena terlalu jujur.
"Lupakan dia," ucap Hannan, bukan layaknya saran melainkan perintah. "Siapa pun dia. Kamu terlalu berharga untuk membiarkan dirimu hancur karenanya."
Andini tercekat. Kata-kata itu terdengar asing—terlalu tenang, terlalu logis. Ada sesuatu di dalamnya yang membuat hatinya panas. Entah karena dia merasa tersentuh—atau merasa semakin kecil karena akhirnya menangis di depan orang yang bahkan tak bertanya kenapa.
"Apa Anda selalu bicara sepedas itu?" tanyanya lirih, mencoba menyembunyikan suara yang mulai bergetar.
Hannan mengangkat alis tipis. "Kamu ingin saya berbohong dan bilang semua akan baik-baik saja?"
Andini mendengus kecil. "Terkadang manusia cuma butuh kalimat penenang, bukan realita dingin."
Lampu berubah hijau, dan mobil kembali melaju.
"Kalau ingin disuapi harapan kosong, kamu bisa duduk di mobil orang lain," ucap Hannan pelan, nyaris seperti gumaman. "Tapi kalau masih mau hidup, belajar berdiri sendiri. Termasuk untuk melupakan sumber luka yang kamu peluk itu."
Sunyi.
Andini tidak menjawab. Tapi matanya menatap ke luar jendela. Dalam diam, dia tahu—apa pun maksudnya, Hannan tidak benar-benar membencinya. Mungkin justru sebaliknya, hanya saja pria ini tidak tahu bagaimana caranya bicara dengan lembut.
Dan entah kenapa, itu jauh lebih menenangkan daripada seribu kebohongan manis.
Mobil akhirnya berhenti di parkiran sebuah rumah sakit. Andini menoleh cepat, matanya membulat. Dia semakin tak mengerti. Hannan turun tanpa menunggu, masih tanpa bicara sepatah kata pun.
Dengan ragu, Andini pun membuka pintu dan menyusul. Suara langkah kakinya terdengar malu-malu di lantai lobi rumah sakit yang bersih berkilau. Dia mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Hannan.
Saat mereka sampai di lorong utama rumah sakit, Andini tak bisa menahan diri lagi.
"Maaf," ucapnya lirih. "Boleh saya tahu kenapa saya dibawa ke sini?"
Langkah Hannan berhenti mendadak. Andini hampir menabrak punggungnya. Perempuan yang keberatan menggandeng tas itu menelan ludah, menyesal karena mungkin telah lancang bertanya.
Namun, perlahan Hannan berbalik. Menatap lawan bicaranya dengan tajam seperti biasa, tapi—ada yang berbeda. Sorot matanya tidak marah, lebih kepada—bingung.
"Bukankah sampai di sini saya harus tahu sesuatu?" Andini berbisik, memanfaatkan sisa–sisa keberanian yang dia punya.
"Ada," kata Hannan pelan, lantas suaranya menggantung di udara. Lelaki berbahu lebar tersebut menghela napas, menundukkan wajah sejenak seakan mencari kata-kata.
"Ada?"
"Saya tidak terbiasa menjelaskan hal semacam ini."
Cara bicara pria itu terdengar janggal. Masih dingin, masih berjarak, serta ada kegugupan samar yang menyelinap di baliknya. Seolah Hannan sedang berada di luar zona nyamannya.
Andini menatap Hannan lekat-lekat. Dia mencoba membaca maksud di balik semua ini. Hannan bukan pria biasa—dia tipe yang dingin—seluruh ruangan bisa membeku hanya karena satu tatapannya. Tapi saat ini, ada celah kecil yang terbuka. Celah yang menunjukkan bahwa lelaki itu tengah bergelut dengan sesuatu yang asing baginya: menjadi seorang ayah.
"Lingga?" tanya Andini dengan suara nyaris berbisik. "Apa ini tentang Lingga?"
Tidak ada jawaban.
Namun, tak dibutuhkan. Hening Hannan cukup sebagai pengakuan.
Andini mengembuskan napas perlahan. Perasaan asing mengalir dalam dadanya—campuran cemas, lega, dan iba. Dia tahu, betapapun Hannan mencoba menyembunyikannya, pria itu mulai peduli.
"Tolong tunjukkan di mana ruangannya," ucap Andini tenang, meski sebenarnya dia nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri.
Untuk sesaat, Hannan menatapnya Ibu s**u anaknya tanpa ekspresi. Kemudian di membalikkan badan dan mulai melangkah.
Tanpa kata.
Tanpa penjelasan.
Langkah sang Pemimpin yang dingin itu kali ini lebih lambat, seakan memberi ruang agar Andini bisa menyusul. Andini pun mengikuti di belakang, tanpa banyak bertanya, tanpa ragu.
Sebab terkadang, yang tak diucapkan bisa lebih nyaring daripada suara. Dan tak semua pertolongan harus diminta untuk diberikan.
Hari itu, tanpa mereka sadari, ada sesuatu yang bergerak pelan dalam hati keduanya. Tidak besar, tapi cukup untuk menjadi awal.
***
Tangis bayi memecah kesunyian ruang VIP rumah sakit. Ruang yang sebelumnya nyaman dan steril kini dipenuhi raungan pilu yang memekakkan telinga. Lena, yang tengah duduk di sudut ruangan, berdiri dengan cepat dan panik. Wanita paruh baya itu baru saja kembali dari membeli perlengkapan tambahan untuk cucunya, Lingga, dan kini wajahnya menegang saat melihat seorang perempuan asing masuk ke dalam ruangan.
Langkah perempuan yang membuat shock Lena itu pelan, ragu, namun pasti. Rambut diikat seadanya, kontras dengan wajah yang pucat namun tenang. Dengan mata sendu begitu khas, dia menatap Lingga yang menangis di ranjang bayi—tangis yang memekik, menusuk ulu hati siapa pun yang mendengarnya.
"Kamu siapa?!" bentak Lena, curiga, tangannya refleks menahan di depan ranjang.
Perempuan itu—Andini—terdiam. Sontak menunduk, tak tahu harus menjelaskan dari mana. Detik berikutnya, tubuh mungil itu kembali menangis, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Wajah malaikat tanpa dosa tersebut memerah, kakinya menendang-nendang udara seperti tak tahan lagi.
Tanpa menjawab sepatah kata, Andini maju dan dengan hati-hati mengangkat tubuh bayi itu ke dalam pelukan. Seketika, suara tangis mereda. Nafas kecil itu mulai teratur, dan tangan mungil Lingga menggenggam jari Andini seperti menemukan sesuatu yang akrab—dan dirindukan.
Kehangatan seorang Ibu.
Lena membatu. Matanya menyusuri wajah wanita itu, lalu wajah cucunya yang tertidur damai.
"Bagaimana bisa?" gumamnya pelan. "Tangisan cucuku berhenti?"
Lena buru-buru meraih ponsel dan menelepon anak kesayangannya—memberi kabar mengenai apa yang terjadi.
"Hannan, kamu di mana sekarang?"
"Di kantor, kenapa?"
"Cepat kemari, sekarang juga. Gunakan kemampuanmu dan datang ke rumah sakit sekarang. Di kamar Lingga ada wanita asing, Nak. Dia masuk begitu saja dan langsung menggendong cucuku!"