Hannan menyetir tanpa banyak bicara. Mata elang itu tertuju lurus ke jalanan, dingin, nyaris beku. Dia sama sekali enggan melirik, enggan bertanya, enggan menjelaskan apa pun. Keheningan di antara mereka terasa seperti jarak ribuan kilometer yang tak terjembatani. Andini meliriknya sekilas. Ada sesuatu yang ingin dia tanyakan sejak tadi, tapi nyalinya menciut. Hannan bukan orang yang mudah didekati. Aura dinginnya begitu nyata, membuat lidah Andini kelu. "Kenapa sejak tadi Anda diam?" tanyanya pelan, memberanikan diri. "Apa Anda tidak penasaran mengapa saya membawa koper di pinggir jalan seperti tadi?" Hannan tidak menjawab. Matanya tetap menatap lurus ke depan, seolah tak mendengar. Tapi Andini tahu dia mendengarnya—pria ini hanya sedang memilih untuk diam. "Saya benar–benar heran,"