Setetes Harapan dalam Pelukan.

1100 Kata
Di tengah ruang rapat lantai tertinggi gedung perusahaan, Hannan duduk di kursi utama. Mengenakan setelan hitam sempurna, kontras dengan mata tajam yang sanggup membuat setiap detak jantung para bawahan terasa berdentam di kepala. Pusat perhatian sang CEO ada pada layar proyektor yang penuh dengan grafik, laporan, dan rencana strategis. Sementara di kedua sisi meja rapat, para direktur dan manajer senior tampak serius, beberapa berkeringat di bawah tekanan suasana yang tegang. Di tengah seriusnya suasana, getaran ponsel di saku jas Hannan memecahkan konsentrasi sejenak. Satu lirikan sekilas membuatnya mengerutkan dahi. "Ibu" terbaca jelas di layar. Tanpa banyak ekspresi, Hannan mengangkat telepon, menempelkan ke telinga dengan satu tangan sementara tangan lainnya masih mengetuk-ngetuk meja pelan. "Ya, Bu?" tanyanya dingin. Di ujung sana, suara Lena terdengar panik, nyaris berbisik, "Hannan, kamu di mana?" "Di kantor, kenapa?" "Cepat kemari. Gunakan kemampuanmu dan datang ke rumah sakit sekarang juga. Di kamar Lingga ada wanita asing, Nak. Dia masuk begitu saja dan langsung menggendong cucuku!" Hannan menghela napas, setengah bersandar di kursi kulit hitamnya. Suasana rapat seketika menjadi lebih tegang ketika melihat sang CEO berbicara dengan suara dingin. "Itu Andini," sahut Hannan, seakan kabar itu sudah diantisipasi. "Ibu s**u Lingga." "Andini—Andini yang itu? Kenapa kamu tidak kasih tahu Ibu sebelumnya?" tuntut Lena, hampir tak percaya. Hannan mengusap pelipis, suaranya tetap tenang namun berat. "Tidak sempat," katanya. "Ada rapat darurat." "Kamu yakin dia Andini yang menyusui Lingga? Ibu tau kamu sibuk, Hannan, tapi setidaknya—" "Ibu," potong Hannan menyela tajam, "Andini bisa dipercaya. Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Tidak semua hal harus Ibu khawatirkan." Sebelum Lena sempat membalas, Hannan sudah memutuskan sambungan dengan tenang. Pimpinan tertinggi perusahaan elit itu lantas menyimpan ponsel, memejamkan mata, kembali mengumpulkan fokusnya. Hannan tahu ini salahnya, lupa memberi kabar pada sang Ibu lebih dulu, namun situasi perusahaan yang mendesak membuatnya melewatkan banyak hal kecil belakangan ini. Dengan gerakan ringan, Hannan berdiri, kembali memimpin rapat. Sorot matanya tajam menyapu seisi ruangan—dingin, terkontrol, dan tak tersentuh. "Seperti yang saya katakan," ucap Hannan, suaranya berat dan penuh wibawa, "proyek ini harus direstrukturisasi. Fokus kita bukan lagi pada ekspansi cepat, melainkan stabilisasi." Seorang manajer keuangan mengangkat tangan dengan gugup, lalu berkata, "Pak Hannan, dengan perubahan mendadak seperti ini, investasi awal kita akan tergerus. Tim saya butuh kepastian sebelum bergerak." Semua menahan napas, tapi Hannan tidak berubah. Dia menatap si manajer dengan sorot dingin, seolah mempertanyakan keberanian orang itu. "Kalau yang kalian cari adalah kepastian," ucap Hannan pelan, "mungkin kalian lebih cocok membuka bisnis kecil, bukan bertarung di level ini." Manajer itu menunduk, wajahnya merah padam. "Di meja ini, kita bertarung untuk menang, bukan untuk merasa aman," lanjut Hannan. "Adaptasi atau hancur. Saya tidak akan mengulang." Salah satu direktur muda memberanikan diri membuka suara, meski napasnya terdengar berat. "Intrupsi, Pak. Lalu bagaimana dengan risiko defisit untuk dua kuartal mendatang? Mungkin kita perlu—" "Risiko adalah bagian dari harga menjadi pemenang," potong Hannan tajam, matanya menyala penuh tekanan. "Kalau Anda tidak sanggup berdiri di tengah badai, Anda seharusnya tidak pernah duduk di meja ini." Semua kembali bungkam. Di hadapan Hannan, setiap keraguan terasa seperti pelanggaran berat. Setelah rapat dinyatakan selesai, Hannan berdiri. Jasnya jatuh sempurna membingkai tubuh tegapnya. Dia berjalan menuju ruang pribadi dengan langkah terukur, sebelum memberi aba-aba pada asistennya yang sejak tadi menunggu di luar. "Ira, masuk," perintahnya tanpa memandang. Ira segera menghampiri, mencatat di tablet kecil yang digenggam. "Saya butuh semua informasi tentang Andini." Perintah Hannan, nada bicaranya masih sedingin dan sekaku biasa. "Riwayat hidup, keluarga, semua koneksi yang mungkin dia punya. Siapkan dan segera lapor pada saya." Ira terangkat alisnya, nyaris tak percaya mendengar permintaan itu, namun pengalaman mengajarinya untuk tidak pernah mempertanyakan keputusan sang atasan. "Segera saya siapkan, Pak," jawabnya sopan. Hannan tetap berdiri di tempatnya, memandang ke luar jendela, hujan tipis mulai turun. Dunia di luar sana terlihat kabur dan samar—persis seperti bagian dalam hatinya yang sudah lama dia abaikan. Andini. Perempuan itu kini bukan hanya ibu s**u bagi putranya. Entah bagaimana, dia mulai menjadi bagian dari urusan Hannan—lebih dari yang dia sadari. *** Sementara itu, di ruang rawat Lingga, suasana begitu sunyi. Andini berdiri di dekat ranjang, menatap bayi laki-laki mungil yang terlelap dengan napas naik turun yang begitu tenang. Jari–jemari menggenggam ujung selimut kecil, membenarkannya dengan gerakan hati-hati. Andini tidak menyadari ada sosok lain yang diam-diam mengamatinya dari ambang pintu. Lena melangkah masuk, sepatu haknya berderap pelan di lantai. Ada keraguan dalam langkahnya—sesuatu yang jarang sekali terlihat dari seorang wanita sekuat dirinya. Andini tersentak kecil saat melihat Lena, buru-buru berdiri tegak. Wajahnya kaku, mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan. Namun Lena hanya diam sejenak, menatap perempuan itu dengan ekspresi sulit terbaca. Hingga akhirnya, dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, dia berkata, "Jadi kamu yang namanya Andini?" Yang namanya disebut menoleh pelan, detik kemudian dia mengangguk ragu. "Iya, Bu. Saya Andini." Lena melangkah mendekat. Raut wajah keriputnya sempat menegang, lalu melembut dalam hitungan detik. "Maaf. Saya minta maaf. Saya benar–benar tidak tahu kalau kamu Andini. Saya pikir kamu—saya pikir kamu orang asing yang masuk sembarangan. Saya terlalu cepat menghakimi." Andini menggeleng cepat. "Tidak apa-apa, Bu. Ini bukan sepenuhnya salah Ibu. Saya juga datang tanpa menjelaskan apa-apa." "Tidak," potong Lena cepat, suaranya tegas meski lirih. Dia melangkah lebih dekat, pandangannya penuh rasa bersalah. "Saya berhutang banyak padamu. Kalau bukan karena kamu, Lingga mungkin—" Lena menghentikan kalimatnya, menahan napas yang bergetar. Dia menatap bayi kecil itu sejenak, sebelum kembali menoleh pada Andini. "Terima kasih sudah menyelamatkan cucuku," katanya pelan, tulus. "Terima kasih sudah ada di saat kami bahkan tidak tahu harus berbuat apa." Andini menggeleng kesekian kali. "Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan, Bu. Tidak lebih dari itu." Lena menghela napas berat, lalu menatap cucunya yang kini tertidur tenang. "Kau melakukan hal yang besar, Andini. Sangat besar. Kau menyelamatkan cucuku," bisiknya lirih. Pujian itu membuat Andini berdiri dengan kikuk. Dia tidak pernah diapresiasi sebelumnya—tidak pernah juga mendapat ucapan sehangat dan setulus itu. "Terima kasih, Andini," sambung Lena. "Saya sungguh minta maaf sudah menuduhmu macam-macam tadi." Andini hanya tersenyum tipis. "Saya mengerti, Bu. Saya juga akan melakukan hal yang sama kalau saya ada di posisi Ibu. Saya akan melindungi bayi saya apapun yang terjadi." Lena mengulurkan tangan, meraih telapak tangan Andini dengan hangat. Gerakan itu sederhana, tapi penuh makna. Andini membalas genggaman itu dengan gemetar. Dua generasi perempuan itu berdiri berhadapan, terhubung oleh sesuatu yang lebih kuat dari kata-kata: rasa syukur, kehilangan, dan secercah harapan baru. Untuk pertama kalinya sejak hari itu, ruang VIP terasa benar-benar tenang—seolah kedatangan Andini membawa sesuatu yang selama ini hilang: kehangatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN