Malam sebelumnya.
Steve, CEO muda yang dikenal dingin dan arogan itu, melangkah masuk ke aula pesta dan seketika menyita perhatian semua orang. Wajah tampannya berpadu dengan tubuh tegap yang terbalut jas hitam mahal, membuat aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Setiap wanita yang melihatnya hanya bisa terpesona, bahkan tergila-gila.
Di sampingnya, berdiri Han—sang asisten pribadi. Dengan ketampanan yang tak kalah mencolok, Han bukan sekadar bayangan Steve. Semua orang tahu, di balik kesetiaannya, dia adalah tangan kanan yang kejam dan disiplin, namanya saja sudah cukup untuk membuat orang lain ciut nyali.
"Oh Tuhan... siapa yang tidak tergila-gila pada pria seperti Steve? CEO muda terkaya di Asia itu, benar-benar pria sempurna idaman setiap wanita," bisik seorang wanita pada temannya, matanya tak lepas dari sosok yang mengagumkan itu.
"Ya, kamu benar, tapi sayangnya dia dingin seperti es batu. Dan pengawalnya itu... jangan sebut lagi. Membayangkannya saja sudah langsung membuatku merinding," sahut temannya pelan.
“Steve, akhirnya kamu datang juga.”
Seorang wanita bergaun merah mini yang begitu seksi menghampiri, ia langsung bergelayut manja di lengan Steve dengan berani. Dialah Cassandra, satu-satunya wanita yang pernah berhasil menjalin hubungan dengan pria sekeras batu itu.
Namun tatapan Steve hanya penuh kebencian padanya. “Ternyata kamu masih punya nyali untuk berdiri di hadapanku?”
“Ayolah, Steve... itu semua hanya kesalahpahaman. Aku menyesal, sungguh. Aku bersumpah, jika aku hanya menginginkanmu seorang,” rayu Cassandra, suaranya memelas.
Steve menatapnya dingin, lalu mengangkat dagu Cassandra dengan kasar hingga bibirnya mengerucut kesakitan. “Benarkah? Tapi sayang sekali. Aku tidak akan pernah memungut kembali sampah yang sudah kubuang.”
Dengan brutal ia mendorong wanita itu hingga hampir terjatuh. Cassandra hanya bisa mengelus pipinya yang perih, matanya menyala penuh dendam.
“Kamu akan menyesali kata-katamu, Steve. Aku bersumpah, suatu saat kau akan bertekuk lutut memohon untuk kembali padaku,” gerutunya lirih, menatap punggung Steve yang semakin menjauh.
Semua orang tahu, Cassandra hanya mendekati Steve karena harta dan kekuasaannya. Namun Steve tetap dibutakan oleh rasa sukanya pada wanita itu. Hingga akhirnya rahasia perselingkuhan Cassandra dengan mantan kekasihnya terbongkar, dan membuat Steve muak. Ia pun mengakhiri segalanya.
Han yang sejak tadi memperhatikan mendekat, suaranya datar tapi penuh sindiran. “Anda benar-benar tidak tahu malu, Nona Cassandra. Anda tahu seperti apa tuan Steve, anda melakukan kesalahan fatal, tapi anda dengan berani menghampiri tanpa rasa bersalah sedikitpun.”
Cassandra menoleh, menatap Han dengan tajam. “Diamlah, Han! Aku yakin Steve masih menaruh hati padaku. Cepat atau lambat, dia pasti akan memaafkanku,” ucapnya angkuh.
Han menyeringai tipis. “Apa anda tahu sesuatu, Nona? Jika bukan karena paman anda adalah sahabat lama mendiang ayah Tuan Steve, w************n seperti Anda sudah lama dikirim ke ujung dunia.”
“Jaga bicaramu, Steve! Tunggu saja, sebentar lagi Steve akan kembali padaku. Dan saat itu juga aku sendiri yang akan merobek mulut kotormu!” ucap Cassandra, wajahnya merah padam karena ucapan Han.
Han melangkah semakin dekat hingga berdiri tepat di hadapannya. Tatapannya tajam, begitu mengintimidasi. “Mimpi Anda terlalu tinggi, Nona. Ular berbisa seperti Anda tidak pantas berada di sisi Tuan Steve. Bersyukurlah dia masih membiarkanmu bernafas, meski kenyataannya... wanita tidak tahu malu seperti Anda, tetap berani menampakkan wajah busuk ini di hadapannya.”
Tatapan mata elang itu berhasil membuat Cassandra terdiam, ia menggigit bibirnya menahan rasa takut. Han sadar akan itu, ia pun menyeringai sinis, lalu berbalik meninggalkannya.
Benar kata orang, asisten pribadi Steve jauh lebih menakutkan daripada bosnya sendiri. Bahkan seorang Cassandra pun tak berani jika terus berhadapan dengannya.
‘Sial! Asisten b******k itu selalu bisa menggertakku, membuatku ciut hanya dengan kata-katanya. Terbuat dari apa sebenarnya dia? Bicaranya dingin, seperti makhluk asing yang menebar rasa ngeri pada siapapun yang mendengarnya,’ geram Cassandra dalam hati, jemarinya mengepal erat menahan amarah yang membuncah.
“Selamat datang, Steve. Sungguh sebuah kehormatan bagiku, karena kamu bersedia hadir di acara paman yang kecil ini,” sambut pria paruh baya yang segera menghampiri dengan wajah ramah. Dialah Hendarto, paman Cassandra.
Tatapan Steve begitu datar, suaranya dingin menusuk. “Jika aku tidak mengingat bahwa Paman adalah sahabat ayahku, mungkin aku tidak akan pernah menyempatkan diri hadir di sini.”
Senyum Hendarto mengembang, tapi jelas terlihat dipaksakan. “Paman mengerti, Steve. Kamu anak muda yang sukses dan sibuk, mana mungkin sempat menghadiri acara sederhana seperti ini. Pasti banyak hal penting lain menantimu, bukan?”
Steve hanya menyunggingkan senyum tipis. Senyum yang lebih terlihat seperti ejekan dibanding keramahan.
‘Heh! Kalau saja bukan karena investasinya yang besar, aku tak sudi berbasa-basi dengan anak ingusan sombong ini,’ batin Hendarto, namun wajahnya tetap tersenyum manis.
Meski hatinya muak, Hendarto harus berpura-pura peduli. Level kekuasaan Steve jauh di atasnya. Menunjukkan sikap bermuka dua adalah satu-satunya cara agar bisnisnya tetap berjalan mulus. Dia tidak punya pilihan, selain menjadi orang munafik.
Tak lama, Cassandra muncul membawa sebotol wine. Gaun merahnya memeluk lekuk tubuh sempurna, membuat setiap pasang mata menoleh.
Cassandra pun berdiri tepat di samping Hendarto, saat pria paruh baya itu memberikan kode untuk mendekat.
“Steve, ini adalah wine langka berusia lebih dari lima puluh tahun. Tidak mudah mendapatkannya. Aku sengaja menyimpannya hanya untuk menjamu kedatanganmu,” ucap Hendarto bangga, menunjuk botol yang digenggam Cassandra.
“Wah! Pak Hendarto memang luar biasa. Bisa memiliki wine istimewa seperti itu,” komentar seorang pengusaha yang mengetahui kelangkaannya.
“Tentu, Tuan Sam,” Cassandra menimpali cepat dengan senyum manis yang jelas ditujukan pada Steve. “Pamanku selalu menomorsatukan orang yang spesial.”
Steve hanya menatap datar, tak bergeming sedikit pun dengan usaha Cassandra.
Han, yang berdiri tak jauh dari sana, hanya bisa mendengus pelan. ‘Cihhh! Dasar penjilat murahan.’ Tatapan sinisnya nyaris menelanjangi kepalsuan mereka.
Ponsel Han tiba-tiba bergetar. Ia mengangkatnya dengan wajah serius. “Halo, Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?”
Steve menyadari raut kecemasan Han. Ia yang selalu peka membaca situasi, segera menghampiri. “Ada masalah?” tanyanya singkat.
Han menunduk hormat. “Nyonya besar tidak bisa datang ke sini, Tuan. Beliau memanggil saya untuk segera menjemputnya di mansion, lalu mengantarnya ke rumah sakit. Seorang temannya tiba-tiba masuk rumah sakit karena penyakitnya kambuh.”
“Teman…?” alis Steve terangkat sedikit.
“Beliau hanya berpesan agar saya segera berangkat,” jawab Han singkat.
Steve mengangguk dingin. “Pergilah.”
Han baru saja hendak melangkah, namun langkahnya tertahan ketika Cassandra kembali mendekat.
"Tapi...," ucapan Han terhenti melihat Casandra menghampiri mereka. Tentu saja Han membaca gerak-gerik Cassandra yang entah mengapa, sejak ia melihat wanita itu ada sesuatu yang membuat ia merasa janggal