Bab.3

1098 Kata
“Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya, aku bisa mengatasinya.” Steve tahu persis arah tatapan Han pada Cassandra. Cassandra berdiri anggun tak jauh dari sana, senyum tipis terulas di bibirnya. Ia sengaja menatap Han dengan tatapan penuh tantangan. “Asisten Han… apa perlu kamu menatapku dengan curiga seperti itu? Apa aku terlihat sejahat itu di matamu?” ucap Cassandra dengan nada menggoda, sebelum menoleh pada Steve. “Steve, apa aku tidak boleh menyesali kesalahanku? Tidak bisakah aku memperbaikinya? Lihatlah sikap asisten kesayanganmu ini padaku, begitu dingin…” suaranya dibuat semanja mungkin, jelas sedang mencari perhatian. “Han, pergilah. Mungkin ada alasan penting mengapa Mama memanggilmu,” perintah Steve tegas. “Baik, Tuan Steve,” jawab Han. Ia menunduk hormat, lalu sebelum beranjak, sempat melayangkan tatapan elang yang tajam menusuk ke arah Cassandra. Tatapan itu cukup untuk membuat wanita manapun bergidik. Namun Cassandra justru tersenyum puas melihatnya pergi. Heh, lihatlah, asisten sialan! Kali ini keadaan berpihak padaku. Bahkan Tuhan pun seakan mempermudah semua rencanaku. Steve melirik Cassandra sekilas sebelum kembali menghampiri para pengusaha yang berkumpul. Meski hatinya muak, ia tetap bertahan. Demi menjaga nama baik mendiang ayahnya, Steve tak bisa seenaknya meninggalkan acara sahabat-sahabat ayahnya itu. Cassandra menjentikkan jarinya. Seorang pelayan segera datang, membawakan beberapa gelas berisi wine mahal. “Steve, minumlah wine spesial ini. Setidaknya ini jamuan yang paman siapkan khusus untukmu,” ucap Cassandra, mengulurkan gelas dengan senyum yang tampak tulus tapi sarat ambisi. Dengan enggan, Steve menerima gelas itu. Mereka bersulang bersama. Para pengusaha tampak bersemangat, sementara Steve hanya menenggak minumannya dengan malas. Tak bisa dipungkiri, rasa wine itu memang berkelas. Bahkan Steve merasakan sesuatu yang berbeda, seolah dirinya memang diperlakukan spesial malam itu. “Bagaimana rasanya? Bukankah ini wine yang luar biasa?” Cassandra tersenyum, menatap Steve dengan penuh harap. Namun yang ia dapatkan hanyalah tatapan dingin dan datar. Meski begitu, bibir Cassandra tetap mengulas senyum puas. ‘Tunggu sebentar lagi, Steve. Setelah malam ini, kau akan menjadi milikku. Selamanya,’ batin Cassandra. Beberapa menit kemudian, Steve mulai merasakan sesuatu yang aneh. Kepalanya berdenyut, pandangannya berkunang-kunang, dan darahnya terasa semakin panas. ‘Apa ini…? Kenapa kepalaku terasa begitu berat?’ gumamnya dalam hati, tangannya refleks menekan pelipis. “Tuan Steve, apakah Anda baik-baik saja?” tanya salah satu pengusaha dengan nada khawatir. “Wajah Anda pucat sekali… mungkin Anda kelelahan dan butuh istirahat,” sahut yang lain. Steve hanya menggeleng pelan, menahan pusing yang kian menjadi. “Steve, biarkan aku mengantarmu ke kamar untuk beristirahat,” Cassandra segera menawarkan diri, matanya berbinar penuh kepura-puraan. “Benar, Cassandra. Antarlah dia. Mungkin Steve sudah terlalu banyak minum,” Hendarto ikut menimpali, seolah penuh kepedulian. Namun Steve menepisnya kasar. “Tidak perlu! Aku tahu jalan menuju kamar hotelku sendiri.” Dengan langkah sedikit terhuyung tapi penuh gengsi, Steve bangkit dan meninggalkan meja tanpa pamit. “Cassandra, pastikan dia sampai ke kamarnya dengan baik. Aku tidak ingin hal buruk terjadi pada Steve,” ucap Hendarto lantang, membuat para pengusaha lain semakin kagum akan kepeduliannya. Padahal semua tahu, ucapan itu hanya taktik. Semakin terlihat dekat dengan Steve, semakin tinggi pula rasa hormat yang akan ia dapatkan dari para pebisnis lainnya. Hendarto tidak akan menyia-nyiakan kesempatan sedikitpun. “Baik, Paman. Dengan senang hati aku akan memastikan Steve sampai di kamarnya dengan keadaan baik-baik saja,” jawab Cassandra dengan senyum penuh kemenangan. Tentu saja Cassandra sangat senang dengan perintah pamannya. Itu bukan sekadar tugas, melainkan bagian dari rencana liciknya. Ia pun segera menyusul langkah Steve. Sementara Steve berjalan dengan langkah sempoyongan. Kepalanya berat, tubuhnya panas, dan perasaannya kacau. Ada sesuatu yang ia inginkan, sesuatu yang membuat dirinya gelisah, tapi ia tidak mampu memahami apa. ‘Kenapa… tubuhku terasa semakin panas? Apa yang terjadi padaku?’ gumamnya, keringat mulai membasahi pelipis. Dengan sisa tenaga, Steve berusaha mencapai pintu lift menuju kamar hotel. Cassandra, yang sejak tadi membuntutinya, tersenyum penuh kemenangan. Ia segera meraih tangan Steve. “Sayang, biarkan aku yang mengantarmu ke kamar,” bisiknya penuh rayuan. Namun Steve mendorong kasar lengannya. Tatapannya dingin, suaranya ketus. “Menjauh dariku, Cassandra!” Cassandra tak menyerah. Ia melangkah mendekat lagi, matanya berbinar penuh ambisi. “Steve… kamu tidak akan bisa melewati malam ini tanpaku.” Sekejap kemudian, Steve mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat hingga Cassandra meringis kesakitan. Tatapannya tajam, penuh murka. “Aku tahu semua ini rencana busukmu, Cassandra. Segeralah menjauh, atau aku akan menyakitimu. Dan ingat… aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Dengan tenaga penuh, ia mendorong Cassandra hingga tubuh wanita itu terhempas ke lantai. Cassandra terperanjat, wajahnya merah padam antara sakit dan amarah. Namun Steve tak lagi menoleh. Dengan tatapan mematikan, ia menekan tombol lift dan menghilang, meninggalkan Cassandra yang terduduk dengan kebencian mendidih di dadanya. >>>>>>>>>>>>>>>> PRAANG!!!! Steve melempar asbak yang ada di meja hingga mengenai lemari kaca. Ia meluapkan amarahnya yang membakar d**a. Kemarahannya bukan tanpa sebab, tapi karena ia mengingat jelas malam itu. Malam penuh kepalsuan yang berujung pada kehancuran. Semua yang terjadi tak lagi bisa ia kendalikan. Kini amarahnya membara, tertuju pada Cassandra dan pamannya. Ia yakin, semua hanyalah skenario kotor mereka untuk menjatuhkannya. “Mereka harus membayar semuanya…” gumam Steve dengan suara rendah, nyaris seperti desisan ular. Pintu apartemen tiba-tiba terbuka. “Tuan Steve.” Han muncul, kembali dari tugas yang ia emban. Ia masuk tanpa mengetuk, memanfaatkan kunci duplikat khusus yang memang hanya dimiliki dirinya. Ia melirik sekilas ke arah lemari kaca yang pecah. “Kamu sudah menemukannya?” tanya Steve dingin. Han menyerahkan beberapa lembar foto. “Saya sudah memeriksa semua CCTV hotel. Dan hanya ini yang saya dapatkan. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena dia selalu menunduk.” Steve menatap tajam foto-foto itu. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengenali kemeja putih yang dikenakan gadis dalam foto itu. Kemeja miliknya. Kemeja yang ia kenakan semalam. Namun wajah gadis itu selalu tersembunyi, menunduk dalam setiap rekaman. “Lalu… siapa yang menjebakku?” suaranya berat, penuh tekanan. Han menghela napas. “Nona Cassandra, Tuan. Dia yang merencanakan semua ini.” Senyum sinis terlukis di wajah Steve. “Hentikan semua kerja sama dengan perusahaan Hendarto. Dan segera cari Cassandra. Kirim dia ke pedalaman Sumatera dan serahkan pada ketua suku di sana. Aku tidak peduli bagaimana caranya.” “Tuan… Nona Cassandra menghilang sejak tadi malam.” Dahi Steve berkerut tajam. “Menghilang?” Han mengangguk. “Dari rekaman CCTV, terlihat Cassandra mengejar Anda dan masuk ke lift berikutnya. Tapi… saat itu seorang pria juga masuk bersamanya. Saya sudah mengecek kamar yang dipesan pria tersebut. Pagi ini kamar itu kosong. Tidak ada yang melihat mereka keluar. Bahkan di rekaman CCTV pun… mereka seakan lenyap begitu saja.” Hening mencekam memenuhi ruangan. Mata Steve menyipit penuh kecurigaan. ‘Cassandra… Apa kamu baru merasa takut denganku sekarang?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN