Chapter 8 : I don't want to know

1657 Kata
Ciuman pemberian Luiz dalam. Turut mendebarkan. Caroline sibuk, bergerak liar. Menahan Luiz tetap di dalam pelukannya. Ia rela, mengorbankan diri. Tatapan dari mata nya cekung. Pasrah. Akan tetapi, Luiz mendadak berhenti. Menarik diri. "Why?" tanya Caroline serak. Pria itu menelan ludah, memalingkan pandangan. Menatap punggung Caroline lewat pantulan cermin. "Luiz." seraknya. "Ini terlalu sulit, Caroline," bisik Luiz pelan. Caroline terdiam. Kaku. Tatapannya memanas, mulai basah. Luiz mengulum bibir, mengusap wajah gadis itu dengan ibu jarinya. Menatap dalam. "Jika kau bersamaku. Kau akan hancur!" "I don't want to know," isak Caroline. "Takdir tidak berjalan sesuai keinginan mu!" jelas Luiz. "Ini tidak adil. Kita bahkan belum mencobanya!" "Semua yang kita lakukan barusan bukan permainan yang bisa aku coba, Caroline. Aku peduli padamu. Aku menghormatimu!" sahut Luiz, meninggikan suara. "Bullshit!" sanggah Caroline. Tanpa mengalihkan pandangan. Luiz menghela napas, kasar. Memalingkan pandangan. Lantas, bergerak mundur, menjauhi gadis itu. "Dasar pengecut!" teriak Carol, melempar pakaian ke arah Luiz. Pria itu diam mengabaikan tanpa meninggalkan sepatah katapun. *** Beberapa jam kemudian, Luiz beranjak keluar dari kamarnya. Meneliti ruang tengah. Kedua mata hijau miliknya beredar. Mempelajari tiap sudut. Ia tidak bisa tidur. Luiz menghela napas. Menangkap sosok yang ia cari. Caroline tertidur, meringkuk di atas sofa. Terlihat kedinginan. "Anak ini benar-benar menyusahkan!" keluh Luiz. Melangkah gontai, mendekati Caroline. Menatap dari jarak dekat. Ia menggaruk kepala, melirik lorong menuju kamar. Memperhitungkan langkah. Gadis itu pasti berat. Luiz membungkuk. Memerangkap kedua tangan pada sisi tubuh Caroline. Aroma alkohol masih tercium. Lekat. Luiz mual, tidak terlalu biasa dengan alkohol. Namun, sebisa mungkin Luiz sigap. Membawa Caroline ke kamarnya. Ia tidak ingin disalahkan, jika gadis itu sakit. Setelah menaruh Caroline di atas ranjang. Luiz melirik ke arah nakas. Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Dengan segera, pria itu meraihnya, mengeja nama di layar. "Ya. Mom?" sambut Luiz serak. Melirik Caroline. Gadis itu bergerak, menarik selimut, menutupi tubuh. "Luiz kau tahu dimana Caroline? Alexander mengkhawatirkannya," jelas Milla. Gugup. Sial, Luiz memijat keningnya. "Ya. Dia bersamaku!" aku Luiz serak. "Oh my god. Kenapa tidak memberi kabar?" "Sorry, mom. Aku lupa," sesal Luiz. "Okay. Alexander bersama daddy mu akan jemput Caroline. Kalian dimana?" tanya Milla. Lagi. Luiz terdiam membisu. Sulit berbohong. Ia menunduk, menatap Caroline tegas. "Dia..." "Luiz kalian tidak apa-apa, 'kan?" sela Milla. Terdengar curiga. "Ya. Tidak ada yang terjadi antara kami. Dia di Penthouse ku. Tidur," jelas Luiz spontan. Cukup gugup. "Ow. Tidak ada yang terjadi. Terdengar kurang bagus untuk mommy. Tapi baiklah. Kau bisa coba lagi. Jika kesulitan, tanya mommy. Aku pakarnya." "Mom." "Okay. Okay. Dad mu sudah pergi! Tunggu saja mereka." "Ya!" tutup Luiz. Menarik napas sekuat mungkin. Menahan lima detik, lalu membuangnya kasar. "f**k!" *** Alexander memerhatikan Luiz. Menaruh kedua tangan di dalam saku celana. Ia mendongak. Memasang wajah datar. Serius. Caroline sudah masuk, tetap menikmati mimpi indah di dalam mobil. Luar biasa. Sementara Luiz, terpaksa menerima tatapan penuh intimidasi. Billy diam, berdiri tanpa suara. Menatap Luiz, tanpa kata. "Maaf, aku lupa mengabari kalian," ucap Luiz. "Tidak masalah. Yang penting, kau sudah menjaga Caroline. Thanks," tutur Alexander. Melirik ke arah Billy. "Ya." "Aku pulang!" ujar Billy, tidak sabar. "Tenang. Kenapa kau ingin buru-buru pulang?" tanya Alexander. Tersenyum pulas. "Sorry, sir." Alexander bergerak maju. Menekan pundak tegap yang Luiz miliki. Sedikit menekan dan menggoyangkannya kuat. "Lorna punya kenalan. Dia memiliki putri yang cocok untukmu. Jika kau mau aku bisa mengenal kan nya padamu." "Aku masih ingin fokus dengan bisnis," balas Luiz dingin. Menolak mentah. Alexander tersenyum tipis, melirik kembali pada Billy. "Setidaknya kau memiliki teman wanita yang bisa kau ajak kencan. Penthouse mu besar, kau bisa membawa siapapun ke sini," sindir Alexander. Melepas pautan dari Luiz. "Aku tidak meniduri gadis mabuk alkohol dan perangsang, itu pemerkosaan," jelas Luiz, menyindir kasar. Alexander mendengus, mengangkat salah satu alisnya. "Tanpa perangsang dari Milla. Caroline tidak akan ada." "Ya. Aku hanya menjelaskan apa yang menjadi pertanyaan mu, dad." Luiz menelan saliva. Berusaha berani. Seakan tahu isi kepala Alexander. Sungguh, Luiz tidak ingin di anggap pria berengsek yang memanfaatkan Caroline. Gadis itu mabuk. Luiz tidak mendapatkan apapun dari itu semua. Baginya, seks bukan kebutuhan. Melainkan tanggungjawab. "Sir, kita harus pulang!" ajak Billy. Menengahi. "Ya. Lorna menungguku," Alexander melebarkan bibir. Tersenyum ke arah Luiz. "Datanglah besok ke mansion!" "Ya, dad," angguk Luiz singkat. Merasakan Billy menepuk lengan kanannya pelan. "Istirahatlah!" perintah Billy, hanya di balas kedipan mata, sayu. Luiz mengulum bibir. Segera berbalik arah. Menjauh lebih dulu. *** Morgan Mansion | 9.30 AM "Sudah nona," jelas Elizabeth. Baru saja selesai merapikan rambut Caroline. Indah, bergelombang. "Thanks. Bagaimana wajahku?" tanya Caroline. "Cantik. Seperti biasa," balas Elizabeth. "Kau berbohong. Kantung mataku terlihat hitam," Caroline mengeluh. Mengedarkan mata, menatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin. "Tidak terlalu terlihat. Mungkin kau bisa menggunakan lipstik merah. Agar terlihat segar," saran Elizabeth. "Ya. Kau benar. Oh ya, apa tadi daddy ke sini?" tanya Caroline. "Belum. Hanya mommy mu, dan ada Luiz di bawah." "What? Luiz? Kau serius?" teriak Caroline. Elizabeth mengangguk, tersenyum simpul. "Oh ya Tuhan. Tolong carikan aku pakaian lain, yang lebih sexy. Aku tidak ingin terlihat bodoh!" titah Caroline. "Baik. Kau sepertinya sangat menyukai Luiz," sindir Elizabeth. Paham. Mengulum senyuman di bibir mungilnya. "Ya. Kemarin. Tapi sekarang kadarnya berkurang satu persen," jelas Caroline. Mengeluh kasar. Meraih lipstik berwarna merah maroon, dan menggunakannya. Elizabeth hanya mengangguk, lalu bergerak memutar. Ingin mencari pakaian lain. "Wait. Ada yang ingin aku tanyakan padamu!" tahan Caroline. "Apa itu, nona?" "Kau punya pacar?" tanya Caroline. Memutar tubuh ke arah Elizabeth. Wanita itu menunduk, mengangguk malu. "Menurutmu. Kenapa pria tidak bernafsu jika melihat seorang gadis telanjang di depannya?" Elizabeth menelan ludah. Menggosok ujung kukunya pelan. "Jarang sekali, seorang pria tidak tertarik jika melihat gadis naked di hadapannya." "Ya. I know. Bukan itu yang ku tanyakan. Menurutmu, kenapa pria itu menolak gadis yang harusnya bisa ia miliki?" ulang Caroline. "Mungkin salah satu alasan yang tepat, adalah karena pria ini homoseksual. Mereka tidak tertarik pada wanita. Jadi..." "Jadi maksudmu Luiz..." Ceklek... Caroline terdiam. Mengalihkan mata ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka. s**t. Ia ingin mengumpat. Namun tertahan. Oleh tatapan dari sosok pria dengan postur tubuh besar, tinggi, dengan tatto di kedua lengannya. Alexander dalle Morgan. "Dad..." tegur Caroline. Lekas berdiri dari tempatnya. "Aku permisi dulu." Elizabeth menunduk, melangkah mendekati pintu, sempat menegur Alexander sebelum pergi dari kamar Caroline yang besar. "Boleh aku masuk?" tanya Alexander. "Yah, dad." Caroline menahan napas. Sedikit gugup. Demi apapun, wajah daddy nya tegang. Pria itu melangkah, perlahan masuk lalu mendekat. "Bagaimana keadaanmu?" "Baik. Hanya sedikit pusing," jelas Caroline. Singkat. "Hmm.. Dad harap kau tidak mengonsumsi alkohol." "Ya. Biasanya tidak. Semalam aku hanya minum beberapa gelas. Tapi..." Caroline mengulum bibir. Menghentikan penjelasan. Alexander mengangkat salah satu alis, terlihat meneliti. "Aku tidak melarang mu. Hanya saja jangan berlebihan!" "Yah, dad. I'm sorry." Alexander mengangguk. Menghela napasnya kasar. Meneliti Caroline. Benar, tidak ada tanda apapun yang bisa membuktikan bahwa Luiz melakukan sesuatu hal pada putrinya semalam. Caroline tampak santai. "Kalau begitu turunlah!" titah Alexander. Membuat Caroline mengangguk pelan. Melempar senyuman khas yang cantik dari wajah bulatnya. Lucu. *** Riuh. Suara tawa di ruang keluarga Alexander ramai. Seperti biasa, tokoh pembicara utama dari berbagai topik, di isi Lorna dan Milla. Para pria bungkam, mendengarkan. Billy sesekali tersenyum, tidak melepaskan pandangan dari Milla. "Suami mu datang! Kita harus alihkan pembicaraan!" tegur Milla. Melihat Alexander keluar dari elevator. "Ya. Kalau tidak dia akan sangat marah," ucap Lorna. Tertawa kecil. "Apa yang kalian bicarakan?" tanya Alexander. Meraih Lorna. Mengecup sudut pipi wanita itu lembut dan duduk, tepat di sampingnya. "Kau yang memiliki pikiran kolot!" tegas Milla. Alexander mengeluh, melirik Luiz. Pria itu tampak bosan. Diam tanpa kata, sambil menekan ponselnya. "Dimana Caroline?" tanya Lorna. "Dia akan turun!" jelas Alexander. Lantas, mendengar pintu elevator kembali terbuka. Caroline keluar. Melangkah pelan, memerhatikan Luiz dari kejauhan. Ia menelan ludah. Mengingat kejadian semalam. Ciuman dari Luiz memabukkan. Luiz melirik, lalu cepat menurunkan pandangan kembali. Datar. "Morning," ucap Caroline. Ceria. "Morning honey. Duduklah!" tunjuk Lorna. Menepuk sofa di sampingnya. "Maxent masih tidur?" tanya Caroline. Mengedarkan mata, melirik tiap orang. Mengintip Luiz. "Dia tidak pulang!" balas Lorna. "Jadi bagaimana? Kau sudah pikirkan tawaran dariku?" tanya Alexander. Membuat semua orang menoleh. Mengerutkan kening, penasaran. "Apa yang kau tawarkan pada putraku?" tanya Milla, membuat Luiz mengangkat pandangan. "Aku menawarinya gadis yang bisa ia ajak berkencan," ucap Alexander. "Ow. Aku tidak tahu kalau kau sekarang mengambil profesi sebagai biro jodoh!" sindir Milla. Mengusap punggung Luiz pelan. "Hmm. Aku pikir, saran dariku bisa membantu. Gadis itu salah satu putri dari teman kalian," jelas Alexander. "Siapa?" tanya Lorna. Melirik tajam. Tampak menaruh curiga. "Keluarga Lafyeth. Mereka memiliki putri, 'kan? Cantik dan pintar." "Cantik dan pintar, belum tentu sempurna!" sanggah Caroline tegas. Mengangkat salah satu alisnya. "Ya. Tapi dad yakin, Luiz akan suka dengan gadis itu." "Kau selalu yakin dengan keinginan mu. Tanpa memikirkan orang lain!" sela Caroline, melipat kedua tangannya di d**a. "Kau juga seharusnya segera menikah!" saran Alexander. "Menikah atau tidak, itu pilihanku. Bukan pilihanmu, dad." "Aku masih punya saran yang banyak untuk mu. Terima saja salah satunya. Kau akan bahagia." "Ow. Apa dad terbiasa mengukur kebahagiaan seseorang lewat harta? Kasihan. Wajar saja mom dulu pernah kabur darimu!" "Caroline..." tegur Lorna pelan. "Aku muak dengan aturan yang di berikan dad padaku, mom. Aku bebas memilih pria manapun untuk hidupku. Sekarang, setelah tidak berhasil mengaturku, dia ingin mengatur hidup Luiz. Apa itu benar? Oh. Aku lupa kalau Alexander dalle Morgan, tidak pernah gagal!" "Kenapa kau begitu marah?" tanya Alexander. "Karena aku menyukai Luiz! Ya. Aku menyukainya, sampai-sampai begitu sesak." teriak Caroline tegas. Berani mengakui. Milla tersenyum. Mencubit pinggul Luiz. Pria itu diam, menoleh sekilas. Lalu beranjak bangun dari tempatnya. Bergerak menjauh. "Luiz!" teriak Caroline. Menghentikan langkah pria itu. Luiz menoleh, mengedarkan matanya sayup. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu." "Aku tidak memiliki perasaan apapun padamu!" sela Luiz serak. Menolak Caroline. Gadis itu mendengus, memiringkan sudut bibir merahnya. "Apa benar, bahwa kau Gay?" tanya Caroline. Membuat semua orang menoleh. Membulatkan mata, tegang. Milla mendelik, bangkit dari tempat. Menatap penasaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN