Chapter 9 : Seducer

1442 Kata
Biru. Aura dari bola mata Caroline tampak beredar. Mendalami sisi celah ruangan. Ia menyatukan tangan. Tampak bodoh dengan pertanyaan yang jelas sarkas. Demi Tuhan, semua manusia di sini diam. Menatap tanpa suara. Terutama Milla, wanita itu bangkit dari tempatnya, menggaruk kepala. Berdecak kesal. "Luiz. Apa benar yang di katakan Caroline?" tanya Milla. "No. I'm Straight, Mom," sela Luiz. Terdengar tegas. Menatap dengan tangan terkepal. Memicingkan matanya tajam. Tepat ke arah Caroline. Gadis itu tersenyum tipis. Melipat tangan di d**a. "Kau membuatku syok," cetus Milla sarkas. Menelan saliva nya kasar. Menaruh tubuh di sisi kursi, bertepatan dengan Billy. Sejenak mereka saling menatap. Lalu mengangguk pelan. "Kalau begitu, kau memang harus ku kenalkan dengan seseorang." "Alexander," tegur Lorna. Menahan pria itu bicara. "Kenapa? Jika Luiz benar-benar straight. Aku pikir, dia harus membuktikan." "Oke!" dengus Luiz. Membuat Caroline mengangkat pandangan. "Kau tidak perlu melakukan itu. Aku hanya...." "Kau bisa atur semuanya, dad Alexander." Luiz menyela. Kembali menghentikan Caroline, seakan enggan menerima penuturan gadis itu. "Of course," ujar Alexander. Mengangkat gelas coffee miliknya. Tersenyum lebar ke tiap arah. "Kau setuju denganku kan, Billy?" tanya Alexander. Mengalihkan pandangan. Menatap tepat ke arah mantan bodyguard nya itu. "Yes, Sir," tutur Billy, singkat. "Semua anak-anak ku bebas melakukan apapun. Mereka berhak memilih," sindir Milla. Melempar senyum ke arah Caroline. Mengedipkan sebelah mata. "Kau juga harus mengatakan itu pada Megan," sela Billy. Mengangkat salah satu alis. "Berbeda dengan putriku. Dia akan lebih baik bersama pria itu," jelas Milla. Membuat Billy mendengus. "Kenapa Megan?" tanya Caroline. Penasaran. "Akan kami ceritakan jika semua siap, honey. Kau fokus saja dengan Luiz, jangan biarkan gadis lain merebutnya. Mereka tidak akan sebanding." "Keluarga Lafayet cukup kuat untuk menjadi lawan Caroline," kekeh Alexander. "Apa kau baru saja meremehkan ku, dad?" tanya Caroline. "Tidak. Aku sama sekali tidak meremehkan putriku," tutur Alexander. "So, jika kau tidak meremehkan ku. Apa maksudmu dengan mengatakan kalau keluarga bodoh itu bisa menjadi lawan untukku?" balas Caroline. Mulai mencecar kembali. Lorna diam, memijat kepala dengan kedua tangan. Ia pusing. "Aku dengar kau bertemu teman lama mu kemarin. Wait, aku lupa namanya. Dia model papan atas," Alexander mengingat. Mengangkat salah satu tangannya. Menaruh pada kening. "Elton Grover?" tanya Caroline. "Ya. Seingatku." Caroline tertawa. Menggelengkan kepalanya keras. Ia menghela napas, terlihat mengejek tepat di hadapan Alexander. "Dia hanya teman. Tidak lebih. Aku tidak berminat untuk berpacaran dengan model kontroversial." "Aku harus pergi," celetuk Luiz. Mulai tidak tahan untuk berada di tengah keluarga. Sungguh, saat ini semua pembahasan terdengar gila. Membosankan untuk di dengar. "Kenapa cepat sekali?" gemas Caroline. Membuat Luiz menoleh. Menghela napasnya kasar. Ia menutup mulut. Enggan menjawab. Lantas, pria itu berputar. Bergerak menjauh tanpa permisi. "Hah! Aku heran, kenapa ada manusia yang begitu sulit hanya untuk bicara. Padahal ia bisa." "Kau tidak perlu marah, itu hak nya," ujar Alexander. "Ya. Sama dengan hidupku. Daddy tidak perlu mengaturnya." Caroline mendelik. Menepis rambut ke belakang. Ia berpaling. Mendongak angkuh mengikuti langkah Luiz. "Anak-anak zaman sekarang sepertinya terlalu takut untuk di atur," ucap Alexander. "Sama sepertimu. Kau juga tidak ingin di atur. Please, jangan jadi orang tua Toxic," nasehat Milla. Sekilas mengalihkan pandangan pada Lorna. Wanita itu mengangguk, tampak setuju dengan saran sahabatnya tersebut. *** "Kau marah karena aku mengataimu Gay?" tanya Caroline. Melangkah tepat di belakang Luiz. Pria itu menentang helm, berjalan mendekati motor. "Luiz. Jawab aku!" pinta Caroline. Luiz diam. Enggan memberi jawaban. Ia fokus, menaiki motor, menaruh helm di lengan. "Luiz!" kali ini, suara Caroline terdengar keras. Menarik jaket denim pria itu. Mencengkeram kuat. "Aku tidak marah!" balas Luiz datar. "Lalu kenapa kau tidak menjawab ku?" "Aku sibuk." "Kau malu karena aku sudah pernah melihat dan menyentuh ular itu?" tunjuk Caroline ke arah celana Luiz. Tepat. Pria itu membuang langsung muka. Mendadak merah. Ia menekan starter, ingin segera tancap gas untuk pergi. "Mau kemana? Kau malu, iya 'kan?" lagi, Caroline menarik lengan pakaian Luiz. Meremas kuat. Hingga pria itu tidak mungkin bergerak. "Lepas atau ku biarkan kau jatuh!" titah Luiz. Menatap tajam. "Kita impas. Aku sudah melihat ular mu itu, dan kau juga sudah melihat seluruh tubuhku. Tinggal menunggu kau tergoda, lalu kita...." "Awas!" dengus Luiz. Sedikit menarik lengannya. "Kau bisa menarik ini. Tapi, kau juga tidak rela jika jauh dariku, 'kan? Akui saja. Kau juga menyukaiku!" Luiz menelan ludah. Menekan rem, sekaligus mengegas motor. Hingga menimbulkan suara bising. Caroline mengulum senyum, bergeser semakin dekat untuk menaruh kepalanya di lengan Luiz. Manja. "Astaga. Caroline." "Aku naik, ya. Ajak ke penthouse atau ke hotel!" pinta Caroline. "Aku gas jika kau masih mengganggu ku," Luiz pusing. Terlihat panik. Ia melirik ke arah mansion. Tepat ke arah pintu. Takut, jika Alexander melihat tingkah Caroline padanya. Gadis itu menempel, dekat. "Caroline!" tegas Luiz. Melirik wanita itu mulai bergerak, tanpa melepas cengkeraman. Bergeser sedikit kebelakang dan naik ke atas motor. "Apa yang kau lakukan?" "Ikut..." serak. Terdengar begitu dalam. Caroline tersenyum lebar. Menaruh dagu di bahu Luiz. Memeluk pria itu dari belakang. "Kau tidak akan suka naik motor," jelas Luiz. "Tidak masalah, jika orang yang membonceng ku adalah kau," ucap Caroline. Menyisipkan jari di dalam saku jaket Luiz. Pria itu menunduk, sekali lagi melirik ke arah mansion. Sial. Rasanya begitu kurang pantas. Alexander akan salah paham. Ia mengeluh. Sedikit menoleh ke arah belakang. "Kenapa?" tanya Caroline. "Kau harus pakai helm!" Luiz mengeluh kasar. Memberikan satu-satunya pelindung kapala pada Caroline. "Kau ternyata sangat peduli padaku," celetuk Caroline. Meraih pemberian Luiz. Memasang benda itu di kepala. Luiz menunggu, lantas kembali menoleh. Menurunkan pandangan ke leher Caroline. "Ah. f**k. Kancing ini!" marah Luiz menyentuh pengikat helm. "Tolong..." manja Caroline. Membuka kaca helm. Hingga sejenak pandangan mata mereka saling menemukan. Luiz mereka rambut, membuatnya sedikit berantakan. Namun, tetap saja. Ia semakin terlihat tampan. Seperti 'badboy'. Caroline suka. "Dasar anak manja!" cetus Luiz. "Aku hanya manja padamu," balas Caroline. Mengulum senyum. Merasakan salah satu tangan pria itu berusaha memasang pengikat helm. Caroline mendongak, membiarkan tanpa protes saat Luiz tanpa sengaja, sesekali menyentuh lehernya. "Kau mau kemana? Aku antar," tegas Luiz. Kembali menghadap depan. "Ikut denganmu. Terserah!" Caroline berusaha menggoda. Membuat Luiz tidak ingin berpikir lama. Akan sangat gawat, jika Alexander tahu keadaan mereka saat ini. Sungguh, ia sangat sulit untuk berada di dekat Caroline sejak mendapatkan peringatan tegas dari pria tersebut. Alexander mempengaruhi hubungan mereka. Padahal, dulu, keduanya tumbuh bersama tanpa penghalang. *** "Apa yang terjadi di kelab kemarin?" tanya Caroline. Menaruh lemon juice kembali ke meja. "Kau lupa?" "Ya. Saat itu aku sangat mabuk. Tapi, aku ingat bagaimana kita berciuman," goda Caroline. Tanpa melepas pandangannya dari Luiz. "Kau mabuk. Kita tidak berciuman," sahut Luiz. Melirik ponsel, lalu mengedarkan mata ke tiap ruang restauran. Ia ada janji temu, dengan seorang penyewa yatch. "Jangan menipuku. Aku ingat bagian itu," lagi, Caroline menghisap pipet yang ada di gelas minuman. Menggigit nya sedikit, tampak memasang wajah sensual. Luiz menoleh, menatap jelas wajah Caroline. "Kita. Tidak. Melakukan. Apapun. Paham?" imbuh Luiz, begitu tertata dan jelas. Caroline tersenyum, lebih mendekatkan wajah ke arah Luiz. "Kau. Menikmati. Ciuman. Dariku." Caroline membalas. Menggerakkan kedua alis, naik turun. Sengaja menggoda. Kini, seluruh wajah Luiz kembali merah. Ia mundur, membuang muka. "Kau tidak makan kentang itu?" "Ambil saja jika kau mau!" balas Luiz. Dingin. "Okay. Thank you," Caroline menukar piring. Meletakkan sisa wadah nya di hadapan Caroline. Meraih kentang dan menyodorkan makanan itu pada Luiz. "What?" tanya Luiz. "Ular mu harus di kasih makan. Jangan biarkan dia sakit," pinta Caroline. Menyampaikan pesan tersirat. "Sick!" balas Luiz, singkat. "Aku ingin lihat, sampai berapa lama kau bisa menahan semuanya. Kau tidak akan bisa bersikap dingin padaku. Tidak akan!" batin Caroline. Menyentuh kentang di bibir Luiz. Terpaksa. Pria itu membuka mulut. Menerima pemberian Caroline. Ia tidak ingin menjadi objek di tengah restauran. "Selesai ini, kau bisa antar aku ke..." "Tidak!" "Aku belum selesai bicara, Luiz," tandas Caroline. "Telpon sopir mu, aku ada urusan." "Kau tidak takut, kejadian di bank kemarin? Ck. Kau akan ku salahkan jika terjadi sesuatu," bujuk Caroline. "Bukan urusanku!" "Tentu saja menjadi urusanmu. Daddy akan memarahi mu jika kau lalai," ancam Caroline. Mengangkat kedua jari, meletakkan di kepala. Menirukan pistol. "Aku hanya punya waktu tiga puluh menit," jelas Luiz. "Kita bawa mobil. Kita mungkin pulang lebih malam dari biasanya," tutur Caroline. Menolak bnatahan. Luiz mengangkat pandangan, menatap wanita itu. Demi Tuhan, Caroline sangat dominan. Ia biasa mendapatkan segalanya. Maka dari itu, Luiz yakin, Caroline tidak akan menyerah. "Kau setuju?" tanya Caroline. Kembali menyuapi kentang ke dalam mulut Luiz. Pria itu bungkam. Menerima suapan seakan tidak terjadi apapun. "Hmm," gumam Luiz. Datar. Lantas mengangkat tangan ke atas. Melihat klien langganan yang sering terlibat di dalam penyewaan. Caroline tersenyum, menekan layar ponsel. Ia ingin seseorang mengantarkan mobil. Sekaligus, memberi alasan pada keluarganya untuk pulang terlambat hari ini. Caroline, tidak ingin Lorna khawatir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN