Sejak Nisa tinggal di villa milik keluarganya di Bogor, Adit sudah beberapa kali datang ke sana untuk memastikan keadaannya. Dia tak ingin Nisa lepas dari pengawasannya dan tiba-tiba kabur dari villa itu. Namun sepertinya hal itu tak perlu dikhawatirkan Adit karena Nisa tampak betah berada di sana.
Nisa mulai melakukan pekerjaannya setelah kondisi kesehatannya pulih dan bisa beraktifitas lagi. Setiap hari dia selalu membersihkan seluruh ruangan di villa dan memasak untuk dirinya dan mang Ujang. Terkadang dia juga membantu mang Ujang merawat tanaman dan bunga di halaman belakang. Nisa merasa nyaman tinggal di villa ini karena mang Ujang dan Adit memperlakukannya dengan cukup baik.
Malam ini Adit kembali datang ke villa. Hanya ada Nisa yang berada di sini karena mang Ujang sudah pulang ke rumahnya yang terletak tak jauh dari villa milik keluarga Adit selepas maghrib tadi. Mang Ujang akan kembali datang keesokan harinya atau ketika Adit dan keluarganya membutuhkan dirinya di villa.
Nisa membuatkan secangkir kopi untuk Adit yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Dia meletakan secangkir kopi itu dengan beberapa cemilan yang dibuatnya tadi sore di meja di hadapan Adit. Merasa tak ada yang dibutuhkan lagi oleh Adit, Nisa berniat kembali ke dapur. Namun baru beberapa langkah berjalan, Adit tiba-tiba menarik tangannya hingga membuat Nisa jatuh terduduk di sofa di sebelah Adit.
Nisa sangat terkejut dengan sikap Adit, apalagi kini jarak keduanya sangatlah dekat. Dia menjauhkan tubuhnya untuk memberi jarak pada mereka namun tangan Adit menahan lengannya.
“Tuan.”
Adit memandang wajah Nisa dengan intens. Setelah beberapa kali bertemu dengannya, Adit menyadari bahwa Nisa bukanlah wanita yang suka menggoda laki-laki seperti wanita penghibur yang sering ia temui di klub malam langganannya. Penampilan Nisa cukup sederhana tanpa sapuan make-up tebal seperti saat mereka bertemu di klub malam. Nisa juga selalu menjaga sikap dan menghormatinya selayaknya majikan dan pembantu. Entah sejak kapan rasa ketertarikan itu muncul, tapi setiap kali melihat Nisa di dekatnya, Adit selalu ingin merengkuh tubuh mungil itu dan mencium bibir manisnya. Dan malam ini keinginan itu kembali hadir dalam dirinya. Adit mendekatkan wajahnya pada wajah Nisa untuk mengikis jarak di antara mereka.
Nisa yang masih terkejut dengan sikap Adit tak sempat menghindar ketika bibir mereka bersentuhan. Satu tangan Adit berada di bahunya sementara tangan yang lain menahan tengkuk Nisa untuk memperdalam ciuman mereka. Nisa berusaha melepaskan diri dengan mendorong d**a Adit. Dia mulai gelagapan saat Adit menggigit bibir bawahnya dan memasukan lidah ke dalam mulutnya. Bahkan tangan Adit kini mulai bergerak menelusuri tubuhnya. Nisa semakin meronta ketika merasakan tangan Adit akan melepaskan pakaiannya. Dia mendorong tubuh Adit kuat-kuat hingga ciuman mereka terlepas dan tubuh Adit menyingkir dari atas tubuhnya yang telah terbaring di sofa.
Nisa segera membenarkan posisi duduknya dan merapikan kembali pakaiannya. Nafasnya masih terengah-engah karena ciuman Adit barusan.
“Apa yang kamu lakukan, hah?” bentak Adit marah. Dia berdiri di hadapan Nisa dengan tatapan murka.
“Ma-maaf, Tuan. Tolong jangan lakukan ini,” kata Nisa menundukkan kepala, ketakutan. Baru kali ini Adit marah kepadanya sampai membentak dirinya.
“Kenapa? Aku sudah membelimu! Jadi kamu sudah menjadi milikku sekarang dan aku berhak melakukan apapun padamu,” kata Adit dengan intonasi suara yang semakin meninggi. Dia marah karena Nisa berani menolaknya.
Nisa menggelengkan kepalanya. “Tidak, Tuan. Saya baru menjadi milik Anda jika Tuan telah menghalalkan saya di hadapan Allah,” jelas Nisa dengan linangan air matanya.
“Jadi kamu memintaku menikahimu, hah? Jangan mimpi!” bentak Adit dengan suara keras.
“Sa-saya tidak ber-maksud mengatakan hal itu, Tuan. Sa-ya hanya tak ingin melakukan kesalahan yang sama. Cukup se-kali saya melakukan do-sa besar itu. Jangan suruh saya untuk mengulanginya la-gi,” ujar Nisa dengan terbata. Dia menangis mengingat kejadian di klub malam itu bersama Adit.
“Tuan memang telah membeli saya. Tapi Tuan tidak bisa membeli kehormatan dan harga diri saya,” lanjut Nisa dengan suara pelan. “Jika Tuan benar-benar menginginkan saya, maka Tuan harus menikahi saya terlebih dahulu.”
Adit tertawa. “Kamu tahu apa tentang harga diri dan kehormatan, hah? Kamu cuma seorang wanita penghibur yang nggak ada harganya di mataku,” kata Adit, menunjuk muka Nisa geram.
Nisa memejamkan mata mendengar perkataan Adit yang sangat menyakitkan hati. Dia bukanlah wanita serendah itu. Jika bukan karena perbuatan Paman Ahmad, Nisa juga tak akan berada di klub malam itu dan menjadi wanita penghibur disana.
“Terserah Tuan mau berkata apa. Tapi saya nggak mau dicap sebagai w************n jika nanti saya hamil tanpa suami,” kata Nisa memberanikan diri menatap Adit. “Apa Tuan mau bertanggung jawab jika hal itu sampai terjadi?”
Adit melotot mendengar perkataan Nisa. Kedua tangannya terkepal hingga...
PLAAAAAAK.
Tangan kanan Adit melayang kearah pipi kiri Nisa dengan sangat keras. Nisa yang tak menduga akan mendapat tamparan dari Adit hanya mampu terisak sambil memegang pipinya yang berdenyut sakit.
Adit terpaku di tempatnya berdiri. Dia memandang tangan kanannya yang telah digunakan untuk menampar Nisa. Ada rasa sesal yang kini hinggap di hatinya akibat tindakan spontannya karena dikuasai emosi.
oOo
Semalaman Nisa menangis di kamarnya. Perbuatan Adit bukan hanya menyakiti fisiknya saja tapi juga hatinya. Nisa tak menyangka laki-laki yang selama ini dihormatinya bisa berbuat sekasar itu kepadanya. Setelah menamparnya, Adit pergi meninggalkan villa tanpa sepatah katapun.
‘Ya Allah... tolong beri aku kesabaran dan ketabahan dalam menjalani kehidupan yang fana ini,’ batin Nisa dengan linangan air matanya.
Pipi kiri Nisa kini membengkak dengan sudut bibir yang terluka akibat tamparan Adit. Kedua matanya juga ikut membengkak karena tak berhenti menangis sejak semalam.
Nisa tak bermaksud meminta Adit menikahinya. Dia hanya ingin menghentikan perbuatan Adit yang sudah melewati batas. Cukup sekali mereka melakukan dosa besar itu. Nisa tak mau mengambil resiko jika sampai mengulangi perbuatan itu lagi. Dia sudah cukup bersyukur karena kejadian di klub malam itu tidak membuatnya hamil.
Sebenarnya Nisa sangat nyaman tinggal di villa ini. Walaupun Nisa bekerja tanpa di gaji, tapi ini jauh lebih baik daripada dia harus bekerja di klub malam sebagai wanita penghibur. Tapi mengingat perbuatan Adit semalam, Nisa mulai takut tinggal di villa ini sendirian. Adit bisa datang ke sini kapan saja dan tak menutup kemungkinan dia akan mengulangi perbuatannya lagi. Nisa tak yakin bisa melawan Adit jika kejadian semalam sampai terulang kembali. Kekuatannya jelas tak sebanding dengan kekuatan Adit.
oOo
Mang Ujang yang sudah datang ke villa sejak pagi menatap khawatir kearah pintu kamar Nisa. Jarum jam yang pendek telah bergerak ke angka sepuluh, tapi sampai saat ini Nisa belum menampakkan batang hidungnya. Mang Ujang sangat khawatir jika terjadi sesuatu dengan Nisa di dalam sana.
Tok tok tok.
“Neng Nisa,” panggil mang Ujang dari luar kamar.
Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, mang Ujang akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Nisa. Dia ingin memastikan keadaan Nisa saat ini.
“Neng Nisa nggak kenapa-napa, kan? Ini sudah pukul sepuluh pagi tapi neng Nisa belum keluar kamar juga,” kata mang Ujang mengeraskan volume suaranya.
Mang Ujang terus mengetuk pintu kamar Nisa karena tak mendengar sahutan dari dalam. Dia baru menghentikan aksinya saat mendengar suara kunci yang diputar dan pintu kamar Nisa terbuka setelahnya.
“Astaghfirullah... Neng Nisa kenapa? Kok pipi dan matanya bengkak begitu?” tanya mang Ujang ketika Nisa menampakkan dirinya dari balik pintu kamar. Penampilan Nisa tampak berantakan dengan mata sembab dan pipi yang bengkak. Mang Ujang juga melihat ujung bibir Nisa sedikit sobek.
“Saya nggak apa-apa, mang,” jawab Nisa tersenyum tipis. Dia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya agar mang Ujang tidak khawatir.
Tapi mang Ujang tak percaya dengan jawaban itu. Dia yakin telah terjadi sesuatu dengan Nisa hingga membuatnya tampak kacau seperti ini.
“Maaf ya, mang, saya nggak membuat sarapan untuk mang Ujang,” kata Nisa, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya, neng, nggak apa-apa kok. Tadi mang Ujang sudah membeli sarapan di warung depan,” kata mang Ujang mengerti. “Ayo mang Ujang obati luka neng Nisa dulu. Kalau dibiarkan saja nanti bisa infeksi,” lanjutnya menarik tangan Nisa ke ruang tengah dan mendudukkannya di sana. Mang Ujang kemudian mengambil kotak P3K dan duduk di hadapan Nisa.
Nisa hanya diam saja membiarkan mang Ujang mengobati lukanya. Sesekali dia meringis menahan perih di sudut bibirnya.
“Apa den Adit yang melakukannya, neng?” tanya mang Ujang disela mengobati pipi Nisa. Mang Ujang menduga bengkak di pipi Nisa akibat tamparan seseorang.
Nisa bungkam. Tanpa perlu ia jawab, mang Ujang sudah bisa menebaknya dengan benar. Karena selain mang Ujang hanya Adit yang sering datang ke villa ini.
Dari cerita yang Nisa dengar dari mang Ujang, keluarga Bagaskara memiliki dua villa yang berada di Bogor. Mereka lebih suka datang ke villa yang satunya karena villa di sana jauh lebih indah dan lebih luas daripada villa ini.
“Apa neng Nisa melakukan kesalahan yang fatal hingga den Adit berbuat seperti ini?” tanya mang Ujang setelah selesai mengobati pipi dan bibir Nisa. Dia merasa prihatin melihat keadaan Nisa saat ini.
Menurut mang Ujang, Nisa merupakan gadis yang baik dan cenderung pendiam. Dia selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Mang Ujang juga tak pernah mendengarnya mengeluh. Selama beberapa minggu ini mengenal Nisa, mang Ujang tak pernah mendengar Nisa menceritakan kehidupan pribadinya. Mang Ujang hanya tahu Nisa sudah tidak memiliki orangtua dan sebelumnya tinggal di Bandung bersama keluarga Pamannya.
“Tuan Adit marah karena saya tidak mau menuruti kemauannya, mang,” jelas Nisa singkat. Dia tak mungkin menjelaskan kronologi kejadian yang sesungguhnya pada mang Ujang. Nisa tak mau mang Ujang berpikiran negatif terhadapnya.
“Lalu den Adit menampar pipi neng Nisa?” tanya mang Ujang memastikan.
Nisa mengangguk mengiyakan.
“Astaghfirullah... mamang nggak menyangka den Adit bisa berbuat sekasar itu,” kata mang Ujang tak percaya. Selama ini mang Ujang mengenal Adit sebagai majikan yang baik dan ramah. Dia tak pernah melihat Adit berbuat kasar, apalagi sampai memukul seorang wanita.
Nisa hanya diam tak menanggapi ucapan mang Ujang.
oOo
“Gue kira lo nggak akan datang kesini lagi setelah membeli salah satu wanita penghibur di sini,” kata Rama ketika Adit menghampirinya di meja bar klub malam ‘STAR NIGHT’.
Ya, Rama sudah tahu Adit membeli Nisa, wanita penghibur yang pernah menemaninya, dari klub malam ini. Adit langsung bercerita kepadanya setelah dia membawa Nisa ke villa milik keluarganya yang berada di Bogor. Rama sangat penasaran dengan sosok Nisa yang bisa menarik perhatian Adit hingga rela mengeluarkan uang ratusan juta untuk membawanya pergi dari tempat ini. Tapi Adit melarang dirinya untuk menemui Nisa.
Adit tak menghiraukan ucapan Rama. Dia duduk di kursi sebelah Rama dan memesan minuman pada bartender.
Sebenarnya Adit juga malas datang ke klub malam ini lagi. Tangannya gatal ingin menghajar Ronald yang telah menyiksa Nisa dengan kejam. Tapi Adit butuh minum untuk mengalihkan pikirannya dari kejadian semalam. Dia menyesal telah menampar Nisa tapi merasa gengsi untuk meminta maaf kepadanya. Adit masih marah dengan penolakan dan perkataan Nisa semalam.
“Kenapa muka lo kusut banget, Dit? Nggak dapat jatah?” tanya Rama terkekeh dengan ucapannya sendiri.
Adit melirik Rama dengan sinis tanpa menjawab pertanyaannya.
“Lo kenapa sih? Kalau ada masalah cerita sama gue. Siapa tahu gue bisa bantu,” kata Rama menatap Adit serius.
Adit menghela nafas kasar. Dia menyesap minuman pesanannya yang telah diantarkan oleh bartender sebelum memutar tubuhnya menghadap Rama. “Semalam gue nampar wanita itu,” cerita Adit.
“APA?? Lo gila yah...” komentar Rama dengan mata melotot, kaget. Baginya laki-laki yang berani memukul wanita adalah laki-laki pecundang. Dan kini sahabatnya sendiri malah melakukan hal itu.
“Wanita itu yang sudah gila. Dia nggak mau gue sentuh dan malah menyuruh gue menikahinya,” jawab Adit kesal.
“APA??” Rama semakin terkejut mendengar perkataan Adit. “Lo bercanda, kan?” tanyanya memastikan. Sepertinya suara ingar bingar di klub malam ini membuat pendengarannya sedikit terganggu.
Adit menggeleng. “Dia bilang dia nggak mau hamil di luar nikah jika gue kembali melakukannya,” jelas Adit mengingat perkataan Nisa semalam.
“Memangnya elo nggak pakai pengaman saat melakukan hal itu dengannya?” tanya Rama heran. Jika alasannya hanya karena itu, mereka bisa mencegahnya dengan memakai pengaman atau meminum pil pencegah kehamilan.
Adit kembali menggeleng. Dia lupa memakai pengaman saat pertama kali melakukannya dengan Nisa. Dan semalam dia juga tidak membawa pengaman karena memang tak ada niat untuk menyentuh Nisa sebelumnya. Dia spontan melakukannya setelah melihat Nisa yang tampak menggoda di matanya.
“Dia nggak mau mengulangi dosa besar itu lagi,” ujar Adit dengan suara pelan.
Rama membuka mulut lalu menutupnya kembali, merasa bingung harus menanggapi ucapan Adit bagaimana.
Adit dan Rama sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Suara musik dan teriakan pengunjung klub malam ini bahkan tak mampu memecah keheningan diantara kedua. Hingga suara Rama kembali terdengar dan membuat Adit melotot kearahnya.
“Ya udah lo nikahin dia aja, Dit.”
oOo