Sudah beberapa hari ini Adit memilih pulang ke rumah orangtuanya karena tak ingin sendirian di apartemen dan berakhir memikirkan Nisa sepanjang malam. Walau itu berarti dia harus siap menerima omelan dan ceramah dari kedua orangtuanya karena selalu pulang larut malam dalam keadaan mabuk.
Seperti malam ini, Adit berjalan sempoyongan memasuki rumah orangtuanya. Penerangan yang minim di dalam rumah tak membuatnya kesulitan berjalan kearah tangga menuju kamarnya di lantai dua. Tapi belum sempat langkahnya menginjak anak tangga pertama, suara Papa-nya menggelegar memenuhi indra pendengarannya.
“Mau sampai kapan kamu seperti ini terus, Dit? Pulang larut malam dan mabuk-mabukan!” kata Papa Adit, Irfan Bagaskara, dengan nada suara tinggi.
Adit tidak menghiraukan perkataan Papa-nya. Dia terus melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Papa Adit semakin marah melihat tingkah putranya. Dia sudah akan menyusul Adit ke lantai dua tapi dicegah oleh istrinya.
“Sudah, Pah, sabar. Biarkan Adit istirahat dulu malam ini,” kata mama Adit, Melinda Bagaskara, menenangkan suaminya.
“Mama selalu saja membela anak itu. Lihat kelakuannya sekarang, suka mabuk-mabukan dan susah diatur,” kata Papa Adit, kesal.
“Mama bukan bermaksud membelanya, Pa. Tapi percuma Papa marah-marah sekarang sama Adit, dia nggak akan mendengarkan ucapan Papa,” kata Mama Adit memberi alasan.
“Ah sudahlah... Papa capek, mau istirahat,” ujar Papa Adit berjalan meninggalkan istrinya.
Mama Adit yang ditinggalkan sendirian di ruang keluarga, bergegas menyusul suaminya menuju kamar mereka.
oOo
Adit merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Pandangan matanya menatap langit-langit kamar tapi pikirannya melayang memikirkan perkataan Nisa beberapa hari yang lalu.
“Aaaargh!!”, Adit berteriak, kesal.
Adit memandang tangan kanannya yang telah digunakan untuk menampar Nisa. Itu kali pertama dia menampar seorang wanita. Saat itu Adit sangat marah dan tidak bisa mengontrol emosinya hingga tanpa sadar melayangkan tamparannya pada Nisa. Ada rasa sesal yang hinggap di hatinya mengingat tamparan itu membekas merah di pipi Nisa.
‘Kenapa kamu harus membuatku marah?’ keluh Adit dalam hati.
Adit sadar itu bukan sepenuhnya kesalahan Nisa. Malam itu Adit tak bisa mengendalikan hawa nafsunya saat melihat Nisa. Padahal biasanya dia selalu berhasil menahan diri ketika berdekatan dengan Nisa.
Adit tak bisa melupakan kegiatan panas yang pernah mereka lakukan di klub malam. Itu merupakan pengalaman pertama baginya dan dia sangat menikmati penyatuan tubuhnya dengan Nisa. Adit selalu terbayang hal itu ketika berada di dekat Nisa. Padahal Nisa tidak pernah mengenakan pakaian seksi dan terbuka saat Adit datang ke villa. Nisa juga tidak pernah menggoda dirinya atau berusaha mendekatinya.
Selama beberapa hari ini Adit selalu memikirkan perkataan Nisa dan saran dari Rama. Mendengar perkataan Nisa malam itu membuat Adit sadar bahwa Nisa bukanlah w************n yang selalu menggoda dan menjajakan tubuhnya pada laki-laki. Dia sangat berbeda dengan wanita-wanita penghibur yang biasa Adit temui di klub malam.
Keputusan Adit untuk membeli Nisa dari klub malam ‘STAR NIGHT’ merupakan keputusan tergila yang pernah dibuatnya sepanjang hidup, tapi apa ia harus mengambil keputusan yang lebih gila lagi dengan menikahi Nisa?
oOo
Satu minggu telah berlalu semenjak kejadian Adit menampar Nisa di villa malam itu. Hari ini dia kembali datang ke villa untuk menemui Nisa. Walau masih ada ketakutan dalam diri Nisa ketika bertemu dengan Adit, tapi dia mencoba tetap tenang di hadapannya. Nisa berusaha menjamu Adit dengan baik seperti sebelum kejadian malam itu terjadi.
“Duduklah, aku ingin bicara denganmu,” kata Adit ketika Nisa mengantarkan minuman untuknya.
Nisa mengangguk lalu duduk di ujung sofa. Pandangan matanya menunduk, tak berani menatap Adit.
Adit mengamati wajah Nisa. Sudah tidak ada bekas tamparan lagi di pipi Nisa, namun dia bisa melihat ketakutan dari sikap yang ditunjukkan Nisa kepadanya. Adit hanya bisa menghembuskan nafas panjang melihat akibat dari tindakannya malam itu.
“Aku minta maaf karena telah menamparmu malam itu,” kata Adit membuka percakapan.
“Iya, Tuan,” sahut Nisa dengan suara pelan.
“Tapi aku nggak bisa menjamin kejadian malam itu tidak akan terulang lagi,” ujar Adit. “Karena itu aku akan menikahimu tapi hanya secara agama,” lanjutnya membuat Nisa mendongak seketika.
Nisa menatap Adit dengan pandangan tak percaya. Dia tak menyangka Adit akan membuat ucapannya menjadi kenyataan. Padahal malam itu Nisa hanya menggertak Adit agar menghentikan tindakannya yang telah melewati batas.
“Tu-tuan serius?” tanya Nisa memastikan.
“Iya,” sahut Adit dengan mantap. Dia sudah memikirkan keputusannya ini dengan matang. Adit juga sudah membicarakannya dengan Rama. Sahabatnya itu mendukung keputusannya dan siap menjadi saksi pernikahan dirinya dan Nisa.
“Kenapa Tuan mau menikahi saya?” tanya Nisa, penasaran. Malam itu Adit dengan jelas mengatakan bahwa dia tidak mau menikahinya. Tidak mungkin dia berubah pikiran hanya karena tak bisa menjamin kejadian malam itu tidak akan terulang lagi, kan?
“Anggap saja sebagai rasa tanggung jawabku karena telah merenggut kesucianmu,” jawab Adit membuat Nisa tercengang.
Adit memang telah merenggut kesuciannya, tapi Nisa tak pernah membayangkan Adit akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena saat kejadian itu terjadi, posisi Nisa sebagai wanita penghibur dan Adit adalah pelanggan di klub malam itu. Jadi sudah menjadi tugas Nisa untuk melayani Adit. Lagipula dia juga tidak hamil akibat kejadian itu.
“Tapi kamu harus merahasiakan pernikahan kita nanti, terutama dari keluargaku. Hanya mang Ujang, sahabatku dan warga sekitar sini yang akan menjadi saksi pernikahan kita,” jelas Adit menatap Nisa. “Setelah menikah, kamu akan tetap tinggal di sini dan melakukan tugasmu seperti biasa. Aku akan sering mengunjungimu dan tetap memberimu nafkah.”
Nisa terdiam mencerna semua perkataan Adit. Dia bisa menyimpulkan bahwa pernikahan itu terjadi hanya untuk merubah status mereka. Setelah menikah, Adit dan Nisa akan tetap menjalani kehidupan mereka masing-masing seperti biasanya.
“Baiklah... Saya mau menikah dengan Anda,” ujar Nisa setelah lama bergelut dengan pikirannya sendiri.
Nisa memutuskan menerima pernikahan ini daripada harus mengambil resiko mengulang perbuatan zina yang pernah dilakukannya dengan Adit. Seperti Adit yang tidak bisa menjamin kejadian malam itu tak akan terulang kembali, Nisa juga tak bisa menjamin bisa terus menerus menolak Adit. Dia juga tak mau dihinggapi rasa ketakutan setiap kali bertemu dengan Adit. Jika kejadian malam itu kembali terulang, setidaknya mereka sudah memiliki status yang jelas sebagai suami istri walau hanya sah secara agama.
“Oke. Kalau begitu bersiaplah. Pernikahan kita akan dilaksanakan besok pagi,” ujar Adit setelah mendengar persetujuan dari Nisa. Tak bisa dipungkiri bahwa dia merasa senang karena Nisa mau menikah dengannya.
Nisa melongo mendengarnya. “Be-besok, Tuan? Secepat itu?” tanyanya tak percaya.
“Kenapa? Kamu keberatan?” Adit memicingkan mata menatap Nisa.
“Ah... oh... ti-tidak. Sa-saya hanya terkejut,” jawab Nisa, gugup. “I-iya baiklah... sa-ya akan mempersiapkan diri untuk besok.”
“Bagus. Aku akan menjemputmu jam sepuluh pagi,” kata Adit, menutup percakapan di antara mereka.
oOo
Adit sudah pulang ke Jakarta setengah jam yang lalu. Kini Nisa berada di kamarnya memandang figura foto dirinya bersama kedua orangtuanya yang ia bawa dari Bandung.
“Keputusan Nisa kali ini sudah benar, kan, Yah, Bu? Nisa tak mau melakukan perbuatan zina lagi dengan Tuan Adit. Dan menikah dengannya merupakan solusi yang tepat menurut Nisa. Walau kami hanya menikah secara agama, tapi Nisa berharap pernikahan kami bisa berjalan selayaknya pernikahan pada umumnya,” kata Nisa mengungkapkan isi hatinya. Dia tak ingin mengambil keputusan yang salah lagi.
Nisa memejamkan mata merasakan tetes air mata yang membasahi pipinya. Saat ini dia sangat merindukan kedua orangtuanya. Sudah lama Nisa tidak mengunjungi makam keduanya, tapi dia takut jika harus kembali ke Bandung. Setelah perbuatan yang dilakukan Paman Ahmad terhadapnya, Nisa tidak ingin bertemu kembali dengan Pamannya. Walau sebenarnya ia merindukan keluarga sang Paman, terutama Selfi. Semenjak tiba di Jakarta, Nisa belum memberi kabar kepadanya.
Setelah meninggalkan klub malam 'STAR NIGHT' bersama Adit, Nisa belum pernah mengaktifkan handphone-nya kembali. Dia tidak ingin keberadaannya diketahui oleh Paman Ahmad karena ia yakin cepat atau lambat kepergiannya dari klub malam itu akan segera diketahui oleh Pamannya.
oOo
Keesokan harinya Adit datang ke villa bersama Rama. Dia sudah siap dengan mengenakan setelan jas resmi berwarna hitam dan peci hitam di kepalanya.
“Semua orang sudah datang ke masjid, den. Pak penghulu juga dalam perjalanan menuju ke sana,” beritahu mang Ujang pada Adit yang sedang menunggu Nisa di ruang tengah bersama Rama.
“Oke. Kita tunggu Nisa sebentar lagi,” sahut Adit yang diangguki mang Ujang.
Nisa sedang dirias oleh seorang makeup artist yang sengaja dibawa Rama dari Jakarta. Walau Adit dan Nisa hanya akan melaksanakan akad nikah di masjid dekat villa saja, tapi Rama ingin Nisa tampil spesial di hari pernikahannya.
“Ingat ya, mang. Jangan sampai mama dan papa tahu tentang hal ini,” kata Adit mengingatkan mang Ujang.
“Iya, den. Mamang janji nggak akan memberitahu mereka,” sahut mang Ujang patuh.
Semalam mang Ujang sangat terkejut ketika Adit menemuinya dan mengatakan akan menikahi Nisa secara agama. Adit meminta bantuan mang Ujang untuk memberitahu warga di sekitar villa dan mencarikan penghulu untuk menikahkan mereka berdua. Adit juga meminta mang Ujang untuk merahasiakan pernikahan ini dari kedua orangtuanya. Mang Ujang hanya mengiyakan permintaan Adit tanpa banyak berkomentar. Walau sebenarnya dia sangat penasaran dengan alasan Adit yang tiba-tiba akan menikahi Nisa. Mang Ujang menduga ini ada hubungannya dengan kejadian beberapa hari yang lalu.
Beberapa menit kemudian Nisa keluar dari kamarnya dan menghampiri mereka bertiga di ruang tengah. Adit terpana melihatnya. Bahkan Rama yang duduk di sebelah Adit tak berkedip menatapnya. Nisa tampak cantik dan anggun mengenakan kebaya putih yang melekat pas di tubuhnya dan sapuan make-up natural di wajahnya.
Kini Rama mengerti mengapa Adit sangat galau ketika Nisa menolaknya. Nisa memiliki tubuh yang mungil tapi tampak berisi di beberapa bagian yang seharusnya hingga membuatnya tampak seksi. Dan jangan lupakan wajahnya yang cantik khas orang Indonesia.
“Saya sudah siap, Tuan,” kata Nisa, memecahkan keheningan yang terjadi.
“Ah... I-iya. Ayo kita berangkat sekarang,” kata Adit, tersadar dari keterpakuannya. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan keluar villa terlebih dahulu.
Rama, Nisa dan mang Ujang bergegas menyusul di belakangnya. Mereka berangkat menuju masjid dekat villa yang akan digunakan untuk melangsungkan acara akad nikah pernikahan Adit dan Nisa.
oOo
Sah?
Sah
Sah...
Alhamdulillah...
Ucapan hamdalah terucap dari mulut semua orang yang hadir dalam acara akad nikah pernikahan Adit dan Nisa sesaat setelah kata sah terdengar dari saksi pernikahan keduanya.
Adit berhasil mengucapkan kalimat ijab kabul dalam satu kali tarikan nafas. Dia menghela nafas lega karena berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Nisa meneteskan air mata haru mendengarnya. Kini statusnya telah berubah menjadi seorang istri Adit Bagaskara. Walau mereka hanya menikah secara agama, tapi pernikahan mereka tetap sah di mata Allah.
Selesai memanjatkan doa, Adit memasangkan cincin emas yang menjadi mahar pernikahan mereka di jari manis Nisa. Nisa kemudian meraih tangan Adit dan mencium punggung tangannya yang dibalas Adit dengan mencium kening Nisa.
oOo
Adit dan Nisa kembali ke villa setelah menyantap makan siang di pelataran masjid yang sengaja disiapkan Adit untuk menjamu warga yang hadir pada acara akad nikah pernikahan mereka.
Nisa bergegas ke kamar untuk mengganti kebaya yang dikenakannya dengan pakaian yang lebih santai. Dia juga menghapus make-up di wajahnya sebelum berjalan kearah dapur untuk membuat minuman dan cemilan bagi Adit dan Rama yang sedang mengobrol di ruang tengah.
“Gimana rasanya mengucapkan ijab kabul, Dit?” tanya Rama penasaran. Pasalnya selama menunggu prosesi ijab kabul dilaksanakan tadi Adit nampak sangat tegang. Hal yang jarang dilihat Rama selama bertahun-tahun menjadi sahabat Adit.
“Rasanya campur aduk deh. Lo harus rasain sendiri gimana sensasinya, Ram. Tangan gue sampai dingin dan gemetar waktu menjabat tangan pak penghulu tadi,” aku Adit, membayangkan prosesi ijab kabul yang telah dilaksanakannya beberapa jam yang lalu. Dia tak menyangka sensasinya akan sedahsyat itu. Padahal pernikahannya dan Nisa terjadi bukan atas dasar suka saling suka, tapi Adit tetap merasa takut dan gugup bila salah mengucapkan lafal ijab kabul. Dia merasakan kelegaan yang luar biasa setelah kalimat sah terucap dari saksi pernikahan mereka.
“Ini minumannya, Tuan,” suara Nisa, menginterupsi obrolan kedua sahabat itu.
Adit dan Rama sama-sama menoleh kearah Nisa yang sedang menata minuman dan makanan di meja di hadapan mereka.
“Tuan? Kamu memanggil Adit dengan sebutan Tuan?” tanya Rama heran sekaligus kaget. Mereka berdua sudah menikah, tapi panggilan Nisa masih seperti panggilan pembantu kepada majikannya.
“Eh? I-iya. Saya biasa memanggil Tuan Adit dengan panggilan itu, Tuan...” Nisa menggantung kalimatnya karena dia belum mengetahui nama sahabat Adit yang baru ditemuinya hari ini.
“Rama. Panggil gue Rama tanpa embel-embel Tuan,” kata Rama yang mengerti kebingungan Nisa. “Kita belum kenalan, kan?” Rama kemudian mengulurkan tangannya pada Nisa. “Nama gue Rama.”
Dengan ragu Nisa menjabat tangan itu, “Nisa,” ucap Nisa menyebutkan namanya sendiri.
“Ternyata kalau nggak pakai make-up begini lo cantik juga. Pantas saja Adit tergila-gila sama lo,” kata Rama yang membuat Adit melotot kepadanya sementara Nisa menunduk malu.
Sudah lama Rama ingin bertemu dengan Nisa. Dia sangat penasaran dengan sosok wanita yang telah membuat Adit melanggar prinsipnya hingga rela mengeluarkan uang ratusan juta untuk membeli Nisa dan bahkan sekarang menikahinya. Rama yakin Adit sudah tergila-gila pada Nisa sejak pandangan pertama walau dia tak pernah mau mengakuinya.
“Kalian akan menginap di sini?” tanya Nisa setelah berhasil menguasai diri. Dia belum menyiapkan kamar untuk Adit dan Rama jika mereka akan menginap di villa ini.
“Tentu saja. Ini malam pertama kita,” sahut Adit cepat. Dia tak akan melewatkan malam ini begitu saja setelah menahan diri selama berminggu-minggu untuk tidak menyentuh Nisa.
Pipi Nisa bersemu merah mendengar jawaban Adit. Dia bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Adit padanya nanti malam. Nisa yakin Adit tak akan melepaskan dirinya setelah penolakannya malam itu.
“Ck. Nggak usah diperjelas juga kali, Dit,” timpal Rama kesal. “Gue tahu diri kok. Gue nggak akan ganggu malam pertama kalian.”
“Baguslah kalau begitu,” sahut Adit dengan nada menyebalkan yang membuat Rama semakin kesal.
“Kalau begitu saya akan menyiapkan kamar untuk Tuan Adit dulu,” kata Nisa, memotong perdebatan yang akan terjadi di antara Adit dan Rama. Nisa ingin segera pergi dari hadapan mereka sebelum bertambah malu mendengar percakapan keduanya.
oOo