Bab 5

1101 Kata
Mata Kinara berbinar melihat kilau berlian yang terkena cahaya lampu di restoran ditambah dengan senyum penuh harap dari Narendra. Tangan lelaki itu menyodorkan kotak beledu yang terbuka. Menampakkan cincin cantik. "Ini dalam rangka apa, Ren?" tanya Kinara. "Dalam rangka membuat kamu bahagia." Senyum Narendra lagi-lagi begitu manis. Kinara yang pada dasarnya senang akan hal-hal mewah seperti itu langsung tersipu. Tangan kirinya diulurkan ke hadapan sang pria. Matanya kemudian menyuruh Narendra untuk menyematkan cincin itu ke jari lentik yang kini sudah menanti. Dengan bergegas, Narendra meraih jemari itu dan mulai memasangkan cincin yang dibawanya. "Permisi, Kak silakan pesananannya!" Seorang pelayan mengantar semangkuk selada pesanan Kinara lengkap dengan jus wortel yang terlihat begitu segar. Seorang lagi datang mengantar bistik sirloin yang harumnya menggoda selera. Kinara sempat menghirup aroma lezat sirloin berbalut saus warna cokelat. Kinara segera mengalihkan perhatian dengan menyedot jusnya. Kemudian, mulai menyantap satu per satu sayuran di mangkuknya. Akan tetapi aroma lezat sirloin berbumbu cokelat di piring Narendra begitu kuat. Berkali-kali Kinara mengarahkan pandangan ke piring di hadapan Narendra. Narendra yang menyadari arah pandangan Kinara segera memotong daging itu dan menyodorkan ke mulut Kinara. "Aku nggak makan daging, Ren." Kinara benar-benar berusaha keras agar tak tergoda. Padahal air liurnya hampir menetes akibat terus diserang aroma gurih daging itu. Tangan kanannya mendorong yang menusuk daging itu menjauh dari jangkauannya. Narendra terkikik geli, kemudian geleng-geleng. Laki-laki itu sengaja makan sembari menggoda Kinara. Cara memotongnya, memasukannya ke mulut, lalu mengunyahnya. Semua dilakukan Narendra dengan gerakan lambat. Matanya juga terpejam seolah-olah makanan tersebut benar-benar lezat. Kinara yang melihat itu segera mencubit lengan Narendra. Matanya melotot, berpura-pura marah yang malah semakin membuat Narendra senang. Sekali lagi didekatkan sepotong sirloin berbumbu harum itu ke hadapan mulut Kinara. Bibir ranum berwarna merah muda itu mencebik. "Sepotong daging nggak bikin perut membuncit." "Ren, kamu nggak paham, kalau udah ngerasain sepotong mana bisa berhenti?" Narendra tertawa, tetapi tetap tidak menjauhkan daging itu dari mulut Kinara. "Kalau gitu aku nggak keberatan pesenin." "Narendra, ini sirloin! Tolong jangan goda! Aku bisa-bisa harus olahraga mati-matian." Setelah mendengar kalimat itu akhirnya Narendra menyuapkan potongan sirloin ke mulut. Kembali memejam saat mengunyah, serta gelengan pelan sebagai ungkapan kelezatan yang tiada tara. Kali ini tepukan tangan Kinara mendarat di tangan Narendra. "Apa?" Kinara melotot jenaka ke arah Narendra. Melihat Kinara hanya bertingkah seperti itu, Narendra kembali memotong daging dan menyuapkannya ke mulut. Kinara pun akhirnya kembali fokus dengan makanan dan minumannya. Akan tetapi, hasratnya akan daging benar-benar memuncak. Jadi, sekali-kali ia masih melirik piring Narendra. "Ren, tapi aku pengen daging," bisik Kinara. "Pesanlah!" "Lemaknya?" "Apa perlu ke rumah sakit untum disedot?" Kinara geregetan mendengar banyolan Narendra yang menurutnya garing. "Rendraaa!" Narendra geleng-geleng. Merasa sedikit geli melihat kerepotan Kinara. Mau makan daging, tetapi takut lemak. Padahal lemak sebenarnya dibutuhkan tubuh. Asal tak berlebihan, lemak itu sehat. Namun, sebagai seorang laki-laki, Narendra paham dengan pikiran Kinara. Kinara dituntut profesional. Ia bekerja sebagai seorang pramugari yang memang sangat menomorsatukan penampilan. Sudah begitu, kebanyakan laki-laki memang suka akan tubuh langsing wanita. Bukan salah Kinara yang stres hanya karena ingin makan daging. Memang sudah jadi setreotip masyarakat akan standar kecantikan. Salah satunya tubuh langsing. Makanya tak heran, di sosial media begitu banyak para penjual yang menawarkan obat pelangsing. Padahal percuma mengonsumsi obat pelangsing, jika makan sembarangan. Yang benar itu makan sehat dan seimbang. "Aku pesenin yang tenderloin kalau gitu." "Besok temenin joging, tapi, ya?" rayu Kinara. Narendra mengangguk, lalu mengangkat tangan kanannya guna memanggil pelayan. Narendra kemudian memesankan daging yang Kinara mau. Bukan sirloin karena gadis itu takut lemaknya. "Padahal enakan sirloin, Nar, gurih gitu." "Diem!" Narendra menutup mulutnya. Ia tak ingin pujaan hatinya makin stres hanya gara-gara daging. Akan tetapi, dalam hatinya tertawa geli. Lima belas menit kemudian, makanan Kinara datang. Aroma saus yang melumuri daging begitu menggugah selera. Kemudian, dengan semangat Kinara memotong daging itu. Memakannya dengan lahap. "Nggak ada salahnya sesekali makan daging." Kinara yang sedang keenakan hanya mengangguk. "Enak." Narendra mengamati wajah ayu di depannya. Kinara tidak peduli dengan Narendra yang seperti tidak percaya melihatnya makan. "Kamu tetap cantik, meski makan daging." Kinara memutar matanya malas mendengar kalimat bernada rayuan itu. Tanpa banyak omong, Kinara melahap seporsi daging lengkap dengan kentangnya. Ia juga memesan es teh lemon seperti Narendra. Semua tandas. Dasar cewek, katanya diet, akhirnya kalap juga, batin Narendra mencemooh. Tanpa sadar bibir Narendra tertarik ke belakang sehingga menerbitkan senyum. Kinara merasa curiga dengan senyum itu. Akhirnya sebuah cubitan didaratkan ke lengan kiri Narendra. Terbitlah sebuah pekikan. Sebuah pekikan yang membuat beberapa pasang mata memandang ke arah meja Kinara dan Narendra. Kinara pura-pura tidak peduli. Malu, akhirnya Narendra mengajak Kinara lekas meninggalkan tempat itu. "Makanya jangan suka senyum-senyum!" Kinara mengultimatum Narendra di dalam mobil sambil memasang sabuk pengaman. Narendra hanya terkekeh mendengarnya. Mobil melaju ke arah sebuah rumah yang tidak begitu besar, tetapi terlihat asri. "Aku langsung, ya, Nar," pamit Narendra. "Nggak mampir dulu? Nggak ada siapa-siapa." Kinara mengusap paha kiri Narendra. Memberinya isyarat. "Boleh." Senyum manis Kinara terbit. Keduanya kemudian masuk ke rumah itu. "Minum apa, Ren?" tanya Kinara basa-basi. "Nggak mau minum, kan tadi abis minum." Benar juga. Sepertinya upaya Kinara untuk basa-basi tidak mempan. Lagi pula Kinara tidak bermaksud menjamu pria itu. Kinara akhirnya mengajak Narendra duduk berdua di sofa. Menyalakan televisi yang sedang menayangkan obrolan santai di saluran lokal. Lalu, menit berikutnya terjadi sedikit kekakuan. Hawa itu kemudian dinetralkan oleh Kinara dengan sebuah pertanyaan. "Kamu kayaknya tegang gitu, takut?" "Nggak." "Terus?" Wajah mereka kini saling menoleh, hingga berhadapan. Jarak keduanya hanya beberapa senti. Indra pencium mereka saling menghidu napas lawan bicaranya. Lalu, entah siapa yang mendahului bibir mereka sudah tertaut. Awalnya hanya saling menempel, kemudian mulai menghisap. Kian lama, keduanya makin tenggelam. Kecipak air liur sedikit meningkahi tingkah laku keduanya. Begitu panas, ganas, dan bergelora. Tangan mereka saling meraba. "Astaga!" Mendengar sebuah pekikan, Narendra dan Kinara langsung menoleh. "Kak Dian udah pulang?" Kinara sontak berdiri, membenahi rambut dan semua yang sempat berantakan. Ia juga sedikit gugup. "Maaf jadi ganggu kalian," ujar Diandra. "Aku yang minta maaf, Kak nggak ngabarin." "Aku juga minta maaf, Di." Narendra ikut menimpali. Laki-laki itu menangkap sinar ketidaksukaan di mata Diandra. "Kalian nggak usah minta maaf, aku yang salah. Aku ke kamar dulu, ya." Diandra bergegas masuk kamar yang letaknya di sisi kanan pintu depan. "Aku jadi nggak enak sama Diandra, Nar." Kinara hanya mengangguk. Ia juga baru sekali terpergok berciuman oleh kakaknya. Rasanya sungguh tak enak. "Mungkin lain kali kita perlu ke hotel." "Hah?" "Ih, akting kagetnya natural banget, Pak!" "Akting apaan? Buat apa ke hotel? Aku lebih suka di rumah atau tempat umum."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN