Diandra sedang membersihkan wajah di depan cermin rias kamarnya saat terdengar ketukan. Sedikit menahan napas, Diandra menoleh seraya berteriak, "Masuk!" Ia tahu siapa yang datang. Tidak lain dan tidak bukan, Kinara.
"Kak, maaf, ya aku nggak bilang-bilang."
Kinara duduk di tepi ranjang Diandra, tetapi matanya tertuju ke arah sang kakak.
"Iya."
Diandra memang sering menjadi pribadi irit bicara. Akan tetapi, kali ini sungguh membuat Kinara tak enak hati. Ia sangat sadar akan kesalahannya.
Sudah tak mengabari ingin pulang, bawa laki-laki ke rumah, ditambah kepergok ciuman. Lengkap. Untuk itu, Kinara merasa sangat perlu minta maaf.
Sedangkan, Diandra masih terus melanjutkan aktivitasnya. Mengoles pelembab lidah buaya ke wajah, lalu menepuk-nepuknya perlahan. Memastikan produk itu terserap sempurna oleh kulit wajahnya.
"Kak, gimana toko rotinya?" Kembali Kinara mencoba mencari topik pembicaraan. Ia memang tak betah jika berlama-lama saling diam.
Kali ini Diandra sedang mengoles krim malam di area pipi. Matanya menatap Kinara sebentar dari cermin. Kemudian, ia menghela napas.
Diandra sedang tak ingin mengobrol sekarang.
"Seperti biasa, pesanan dari Narendra membludak."
"Oh, ya? Wah, aku ikut senang dengernya." Kinara memasang wajah ceria.
Diandra hanya mengangguk samar, tak ingin menimpali lebih jauh. Entah mengapa, kejadian yang baru saja dilihatnya begitu menghancurkan mood-nya. Bahkan, tanpa sadar gigi-geligi Diandra gemeletuk saking kuatnya ia menahan perasaan yang entah. Ia bahkan tak bisa menyimpulkan perasaan macam apa yang menghinggapinya.
Diandra tak sadar bahwa Kinara masih berbicara. Membicarakan toko roti sang kakak, tentang Narendra, dan terakhir mengenai cincin berlian. Ia tersadar saat tiba-tiba Kinara menggoyangkan tangan di depannya.
"Ah, maaf aku suka baper kalau dengar hal-hal romantis begitu, Nar," kilah Diandra seolah-olah mendengar apa yang Kinara katakan.
Kinara maklum, kemudian mengulas senyum.
"Lihat, Kak! Bagus nggak menurut Kakak?" Kinara memamerkan cincinnya.
"B-bagus."
Kinara tak tahu, ada gumpalan kekesalan di hati Diandra. Akan tetapi, ia berusaha menutupinya dengan cara melanjutkan aktivitasnya mengoles krim malam. Padahal, air matanya justru tak bisa dibendung.
"Kak, kenapa? Kakak sedih?" Kinara menemukan ada kaca-kaca di mata kakaknya.
Segera Diandra menggeleng, berusaha menarik bibirnya ke belakang.
"Kakak terharu, akhirnya kamu menemukan cowok yang baik dan romantis."
"Ini semua berkat Kakak juga, kan, Kak?"
"Kakak nggak melakukan apa pun, Nar."
"Tetap aja, Narendra, kan pelanggan Kakak."
Diandra akhirnya mengangguk, bermaksud ingin menyudahi topik itu.
"Kakak tidur duluan, ya, ngantuk banget."
"Oke deh. Aku juga besok berangkat sebelum subuh, Kak. Ada penerbangan pagi ke Manado," terang Kinara sembari bersiap pergi dari kamar sang kakak. Namun, sekali lagi Kinara mengamati cincinnya.
Didekatkannya jemari lentik itu tepat di depan cermin. Ia amati baik-baik kilau yang dipancarkan berlian itu di dalam sana. Sangat indah.
Kinara tak tahu, sang kakak mengawasinya.
"Oke, Kakak tidur dulu, Nar." Diandra naik ke ranjang dan menarik selimut. Menutup tubuhnya hingga leher.
"Kakak mau oleh-oleh apa dari Manado?"
Diandra enggan menjawab. Ia hanya ingin Kinara lekas pergi dari kamarnya. Rasanya Diandra ingin menangis sejadi-jadinya.
"Nggak usah, Nar. Kakak ngantuk bnaget." Diandra mengusir sang adik dengan sangat halus. "Kamu juga harus tidur."
Kinara mengangguk tanpa menoleh.
Diandra mencoba memejamkan mata. Akan tetapi, justru air matanya yang meleleh. Bayangan Kinara yang sedang berciuman dengan Narendra begitu mengganggu. Hingga, tanpa sadar Diandra mencengkeram selimutnya.
Kinara menoleh ke arah kakaknya sebelum pergi dari kamar itu. Ia tak tahu, sang kakak sedang menahan kesal. Yang Kinara tahu, ia bahagia.
"Good nite, sleep tight," ucap Kinara akhirnya.
"Nite."
Kinara pergi dari kamar Diandra menuju kamarnya. Senandung kecil terdengar dari bibir ranum gadis itu. Semua terasa begitu indah untuknya.
Sampai di kamar, ponsel Kinara terlihat menyala. Wajah Narendra terpampang di sana. Sebuah panggilan video.
"Halo," sapa Kinara sembari duduk di tepi ranjang. "Kok belum tidur, Ren? Kangen?"
Narendra tertawa di seberang.
"Nggak bisa tidur, inget yang tadi, Nar."
"Apa?"
Kinara tersipu. Ia tahu, Narendra sedang membahas tentang ciuman mereka. Akan tetapi, tentu saja Kinara berlagak polos.
"Ciuman kita tadi, apa lagi menurut kamu?"
Kinara benar-benar tersipu.
Mata keduanya saling menatap mesra.
"Udah, ah! Nanti kalau aku nggak bisa tidur gimana? Besok aku terbang pagi."
Narendra memasang wajah cemberut.
"Besok biar aku yang antar ke bandara."
"Serius?"
Narendra mengangguk yakin seraya tersenyum.
***
"Selamat pagi, Tuan Putri Kinara yang cantik!"
Sapaan ceria Narendra sungguh-sungguh membuat semangat Kinara menggebu.
"Apaan, sih, Bapak? Aku terbangnya nanti pakai pesawat, bukan pakai rayuan. Kalau terbang pakai rayuan, ngeri jatuh."
Narendra tertawa. Ia memandangi sang gadis pujaan dengan begitu mesra. Dan, sebuah kecupan didaratkannya tepat di bibir ranum itu.
"Kalau kayak gini rasanya kamu nggak boleh pergi. Di sini aja sama aku," bisik Narendra. " Aku bakal kangen banget."
Kinara berusaha menjauhkan wajah Narendra.
"Pak, nanti kalau saya telat tanggung jawab!"
Kinara menarik kopernya menuju mobil.
Narendra mengejarnya dan membantu gadis itu. Dibukanya bagasi mobil, kemudian memasukkan koper Kinara ke sana. Dengan cekatan, ia menutup bagasi dan kembali ke depan.
"Silakan Tuan Putri Kinara yang cantik!"
Narendra sudah membukakan pintu penumpang.
Kinara tersenyum dan masuk ke mobil.
"Kamu tiba-tiba romantis banget, Ren?"
Narendra sudah bersiap melajukan mobil.
"Mungkin karena ciuman semalam, Nar."
Kinara terbatuk. Ia tak menyangka Narendra akan kembali membahasnya. Hal itu membuat Kinara sedikit salah tingkah.
Tangan Narendra yang tadinya sudah ingin memutar kemudi, akhirnya kembali turun. Ia malah melepas sabuk pengaman yang baru saja dipasangnya. Kemudian, mendekatkan wajah ke arah Kinara.
Kinara hanya pasrah saat bibir hangat Narendra menempel lagi di bibirnya. Awalnya hangat, lalu memanas. Bahkan, tangan mereka kini ikut beraktivitas.
Belaian, remasan, dan sedikit gigitan menjadi begitu menggairahkan. Bahkan, beberapa kali terdengar lenguhan Kinara. Napas keduanya pun terengah. Benar-benar pagi yang penuh gelora.
"Maaf bikin kamu berantakan begini."
Kalimat itu tak berarti apa-apa karena Kinara justru kembali memagut Narendra.
"Aku bakal kangen bibir kamu ini, Ren."
"Aku juga. Bisa-bisa aku nggak bisa tidur," bisik Narendra parau. Hasratnya seperti tidak bisa padam.
"Tapi sekarang aku harus berangkat, Ren."
Menyadari mereka sedang diburu waktu, akhirnya mau tak mau mereka berhenti. Kinara mengeluarkan alat riasnya, lengkap dengan cermin. Berusaha kembali merapikan penampilannya.
"Oke, kita berangkat sekarang, ya, Nar."
"Iya."
Kinara memulaskan bedak, perona pipi, dan lipstik. Ia tak mau penampilannya tak sempurna. Sanggulnya pun dirapikan.
Mobil melaju kencang membelah jalanan.
Di dalamnya terdengar alunan lembut lagu milik Maudy Ayunda yang terdengat dari salah satu saluran radio lokal. Perahu Kertas. Sebuah lagu yang mengisahkan pertemuan dua insan nan begitu ajaib.
Sesekali Kinara ikut bersenandung.
Sedangkan Narendra fokus melajukan mobilnya. Ia takut membuat gadisnya terlambat. Jika itu terjadi, ia tak akan memaafkan dirinya sendiri. Bisa-bisa reputasi Kinara rusak hanya karenanya.
Langit masih gelap, kabut pun masih tebal.
"Kamu pernah nggak sih takut terbang?"
"Pernah."
Menarik.
"Terus kalau udah gitu kamu ngapain, Nar?"
"Aku hanya mencoba pasrah dan berdoa."
Narendra mengangguk-angguk. Ia bangga mendengar jawaban Kinara. Benar-benar gadis impian. Bahkan, saat ketakutan melanda, ia hanya percaya pada Tuhan. Narendra sendiri belum tentu bisa berbuat demikian.
Dipandanginya sekali lagi gadia di sampingnya.
"I love you, Nar! Hati-hati, ya," ucap Narendra. Ada getar tak menentu di kalimatnya.