Aku menyiapkan buku, tas dan juga seragam sekolahku agar nanti setelah mandi gampang memakainya, tidak perlu mencari lagi, tinggal berangkat, Aku siap-siap pergi ke sekolah dan ingin menimba ilmu di sana.
Setelah mandi dengan cepat, segera kupakai seragam dan peralatan lainnya karna takut terlambat.
Tak berapa lama kemudian, kudengar suara ribut-ribut di meja makan, karna penasaran, aku fokus mendengar.
Rupanya suara kak Rama yang sedang memarahi kak Ani. "Ada apa lagi ini?!" ucapku dalam hati.
"Sudah kubilang, Ani!! Jangan memasakkan sesuatu untukku!! Apa kau tidak dengar?! Hah?! Biarkan Amel saja. Kau cukup urusi Alice! Mengerti?!" bentak kak Rama, pada kak Ani, suara kak Rama sangat keras.
Karna tidak tahan, Aku segera keluar dari kamar sambil membawa tas sekolahku, tubuhku gemetar.
"Maafkan aku, Rama. Aku tidak bermaksud membuatmu marah, Aku hanya ingin jadi istri yang berguna, itu saja," jawab kak Ani, sangat sabar dan pelan.
"Kau sudah sangat berguna, Ani. percayalah!" sahut kak Rama, tidak suka.
Setelah aku sampai di meja makan, tampak kak Ani terluka, matanya berkaca-kaca, sementara kak Amel puas melihat kak Ani dimarahi oleh kak Rama.
"Lagipula sudah kubilang berkali-kali kan, Kakakku yang can-tik. Rama tidak suka masakanmu! Tapi lebih suka masakanku, jadi stop buat merayu! Tidak mempan! Apalagi pakai masakan, heh!" ucap kak Amel, sinis menatap Kak Ani. "Lagipula sudah tahu suaminya tidak suka! Masih saja memaksa. Cari perhatian ya?!" imbuh Kak Amel membuatku emosi mendengarnya.
"Jaga bicaramu, Kak Amel!! Apa kau tidak malu menghina, Kak Ani?! Bagaimanapun juga, dia istrinya, Kak Rama! Bukan, Kau!! Mau jadi pelakor, ya?!" sahutku jengkel.
"Anna!!" Kak Ani memperingati, dia tidak suka aku memaki, memang jika aku kasar sama kak Amel, Kak Ani selalu marah.
"Anna, apa kau sudah siap?" tanya kak Rama, tidak memperdulikan Kak Ani dan kak Amel. Sikap dinginnya berubah seratus delapan puluh derajat persen, kak Rama berubah baik dan lembut.
Tanpa memperdulikan ucapan kak Rama, Aku langsung menyambar piring dan memakan masakan kak Ani, dengan sangat rakus.
"Wah ... masakanmu enak sekali, Kak Ani. Aku menyukainya, besok masakin Anna lagi, ya! Um, enaknya ... Aku heran mengapa kak Rama sangat membenci masakanmu?! Padahal sangat enak! Dan anehnya, kak Rama malah suka makanan pelakor," ucapku sambil menatap kak Rama dan kak Amel bergantian, sinis.
"Kalau tidak tahu apa-apa sebaiknya diam saja, Anna. Anak kecil tetaplah jadi anak kecil," ucap kak Rama, datar.
"Aku bukan anak kecil, Kak Rama!! Aku sudah dewasa! Aku juga bisa membedakan mana orang yang sayang sama istri dan mana orang yang sayang sama pelakor!!" sahutku emosi.
"Oh, jadi kau sudah dewasa, ya? Baru tahu. Mana ada dewasa tapi suka marah-marah? Lihatlah! Kakakmu Ani sangat tenang. Beda dengan Kau yang gampang emosian," ucap Kak Rama membuat Kak Ani tertawa pelan. "Kalau aku tidak sayang kakakmu, Ani. Mana mungkin Aku menikahinya, Anna," ucap kak Rama, membuatku bingung.
"Dasar anak kecil yang manja!! Kalau suka habiskan saja! Toh Rama tidak suka! Dan ingat!! Kalau aku pelakor, bagaimana dengan ibumu?! Dia menikahi ayahku, bukan?!" Kak Amel, tajam menatapku.
"Itu beda, Kak Amel. Ibumu sudah tiada saat ibuku menikahi ayahmu! Kalau ibumu masih ada saat ibuku menikahi ayahmu, baru itu yang dinamakan pelakor, sama seperti kau saat ini!" ejekku jengkel sendiri.
"Dasar tidak tahu sopan santun!! Apa begini cara kakak kandungmu mengajarimu?! Hah?! Tidak tahu sopan--"
"Apa kau tidak bisa diam, Amel?! Jangan membentak, Anna!" ucap kak Rama, berdiri dan langsung menatap tajam ke arah kak Amel. Kak Amel langsung diam dan wajahnya memucat.
Kak Ani maju dan berusaha menenangkan kemarahan kak Rama, dia selalu membela kak Amel bagaimanapun jahatnya dia.
"Sudahlah, Rama. Mereka tidak tahu apa-apa, kalau kau tidak suka masakanku ... tidak apa apa, aku tidak akan memasak lagi, ok?!" ucap kak Ani, menatap mata kak Rama, lembut.
"Kau tahu sendiri kan, Ani?! Aku sangat perduli padamu," ucap kak Rama, kelelahan. Dia dan kak Ani seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Aku tahu, Rama. Maafkan, Aku," ucap kak Ani, tak lama kemudian mengusap bahu kak Rama, pelan. Aku jadi heran.
"Baiklah, karna kau sudah memasak, maka aku akan sarapan yang banyak pagi ini. Benar kan, Anna?" tanya kak Rama, mencairkan suasana.
"Benar sekali, dan jangan sekali-kali memarahi, kak Ani. Atau kalau tidak, kak Rama akan berurusan denganku!" ancamku sambil melotot tajam ke arah kak Rama, dia hanya tertawa.
"Astaga! Adikmu ini membuatku takut, Ani," ucap kak Rama, membuat kak Ani tersenyum geli.
"Kau benar, Rama. Dia sangat menakutkan ... tapi juga sangat menggemaskan, Aku mencintainya, dan terima kasih karna kau juga sudah sangat mencintainya," ucap kak Ani membuatku tersedak.
Uhuk!! Uhuk!!
"Anna, pelan-pelan," ucap kak Ani, penuh perhatian.
"Tidak ada yang mengejarmu, Anna. Pelan-pelan saja minumnya," ucap Kak Rama, menambahi ucapan kak Ani.
"Kak Ani bicara apa, sih?! Aku tidak suka kalau kak Rama mencintaiku! Lihatlah! Wajahnya saja selalu dingin, dan umurnya juga sudah sepuluh tahun di atasku! Dia sangat tua," ucapku membuat kak Ani tertawa. Bukan hanya kak Ani tapi kak Rama juga tertawa, mereka tertawa keras secara bersamaan, setelahnya, menatapku dengan tatapan geli.
Hanya satu yang tidak tertawa, yaitu kak Amel. Dia mendengus kesal dan masuk ke kamar sambil membanting pintunya dengan keras.
"Apa dia kehabisan obat?" tanyaku tidak suka melihat tingkah laku kak Amel.
"Anna! Jaga bicaramu! Dia juga adik, Kakak. Kau tidak boleh mengejeknya," ucap kak Ani, tidak suka.
"Tapi, Kak-- dia sudah menghina, Kakak."
"Kalau kakak tidak apa-apa kenapa kau memarahinya?!" Kak Ani mempertajam ucapannya.
"Terserah!! Siapa suruh dia menghina, Kakak."
"Anna! Kau masih remaja, tidak pantas bicara kasar pada orang yang lebih tua, apa kau paham?!" tanya Kak Ani, memberi wejangan.
"Entahlah!" sungutku mengabaikannya.
"Anna!!" bentak Kak Ani, semakin murka.
"Kak Ani kenapa selalu membela kak Amel, sih?! Dia sudah sering jahat sama, Kakak. Dia juga sudah sering menggoda suami, Kakak. Kalau boleh jujur, aku malas punya saudara seperti kak Amel!!"
"Anna!!" marah Kak Ani kali ini disertai cengkeraman tangan di pundakku.
Aku menunduk sedih, kak Ani memang orang yang sangat lembut, makanya setiap kali dia berkata keras sekali saja, membuatku terluka.
Kak Rama mengelus-elus kepalaku dan menyuruhku buat minum. "Jangan berkata kasar pada Anna, Ani. Aku tidak suka," ucap kak Rama tegas saat membela.
"Kau terlalu memanjakannya, Rama! Anna juga harus bisa menjaga mulutnya, aku tidak suka adikku kasar seperti--" Kak Ani menghentikan ucapannya.
"Kau bisa menasehatinya secara halus, bukan?" ucap kak Rama berusaha memberi pengertian.
"Aku--" Kak Ani terlihat sedih, matanya tampak berkaca-kaca. "Anna harus belajar, Rama. Dia akan hidup sendiri suatu saat nanti, dia harus belajar mulai dari sekarang! Kalau aku mati! Siapa yang akan mendidiknya?! Dia akan tumbuh jadi gadis yang bar-bar. Aku tidak suka!" ucap kak Ani, tak lama kemudian menangis.
Aku yang melihatnya langsung berdiri dan memeluknya. Aku sangat menyesal.
"Maafkan Anna, Kak Ani. Anna berjanji tidak akan kasar lagi, jangan menangis dan bicara soal kematian! Aku tidak ingin kakak pergi, Anna ingin kakak selalu panjang umur, Kakak keluarga Anna satu-satunya," ucapku ikutan menangis.
Kak Ani balas memelukku dengan sangat erat. Dia mencium pipiku berkali-berkali seolah akan segera pergi, entah kenapa perasaanku tidak enak, seolah musibah yang besar akan kembali datang, rasanya seperti saat aku kehilangan orangtuaku.
"Kakak sangat mencintaimu, Anna-ku sayang, melebihi nyawa Kakak sendiri, jangan menangis, Kakak akan selalu ada untukmu," ucapnya tanpa ekspresi, matanya terlihat sendu, entah kenapa hatiku tiba-tiba saja merasa gelisah, sangat hampa dan takut kehilangan Kak Ani.
"Kenapa hamba merasa takut seperti ini, Tuhan? Apa Kak Ani akan pergi?! Semoga saja tidak, aamiin," doaku dalam hati.
"Kak Ani," lirihku khawatir.
"Iya, Sayang."
"Maafkan, Anna," ucapku meminta maaf padanya.
"Sudahlah, Sayang. Kakak tidak apa-apa. Hanya saja ... jagalah dirimu baik-baik, dan maukah kau berjanji satu hal pada, Kakak?" ucapnya sambil memghapus air mataku.
"Tentu saja, Kak. Anna akan menepati janji apa saja asal kak Ani bahagia," jawabku meyakinkannya.
"Benarkah?! Tidak akan menolak, Anna?! Janji apa saja?" ulang Kak Ani, memperjelas ucapannya.
"Iya, Kak. Anna berjanji," ulangku pasti.
"Jika Kakak tiada nanti, menikahlah dengan kak Rama!" ucap kak Ani membuatku tegang seketika, kedua mataku membulat dengan sempurna, tubuhku gemetar. Bagaimana aku bisa menikah dengan suaminya?! Sampai kiamat-pun aku tidak akan melakukannya. Kak Ani, aku yakin kau pasti bercanda! Ada-ada saja.
*******
Masih part Flashback, All ....
Jangan lupa follow, share and tekan tombol Love. makasih ....
TBC.