"Anna! Maukah kau berjanji?!" ulang Kak Ani, seolah sebuah batu besar yang membebani kepalaku, sangat berat. "Anna!!" serun Kak Ani lagi, mengguncang-nguncang bahuku.
"T-tidak mungkin, Kak. Aku memang sangat menyukai kak Rama. Tapi bukan berarti harus menikah dengannya. Aku menyayanginya sebagai seorang kakak, bukan sebagai seorang suami," protesku ingin berjalan pergi. Tapi tangan kak Rama memegangi tanganku, dia seolah setuju dengan ucapan Kak Ani. Ada apa ini?!
"Anna, orangtua bicara dengarkan dulu, jangan kabur," ucap kak Rama, tidak mau dibantah.
"Tapi, Kak Rama. Kak Ani--"
"Anna, kau sudah berjanji," lirih Kak Ani, tidak mau mengerti. "Baiklah! Kalau kau tidak mau berjanji lebih baik aku pergi, apa gunanya menasehatimu?! Kau sudah dewasa!" marah Kak Ani, semakin menjadi-jadi.
"Tapi, Kak--"
"Mau atau tidak, Anna?! Percayalah!! Kau akan bahagia!!" seru Kak Ani, memintaku membuat janji.
"B-baiklah," ucapku menyerah.
Kak Ani tampak bahagia demikian pula dengan Kak Rama, meski tidak sebahagia Kak Ani tapi aku tahu kak Rama merasa lega.
"Terima kasih, Anna-ku sayang. Percayalah! Jika ada orang baik di dunia ini selain Kak Ani adalah Rama!" seru Kak Ani, bahagia, dia tersenyum lega.
Kak Rama menatapku penuh kasih sayang, dia mengusap keringat yang membasahi dahinya dan mengajakku berangkat ke sekolah bareng bersama mobilnya.
"Kau sudah berjanji pada kakakmu, Anna. Jadi mulai sekarang ... jangan berani mendekati pria lain selain diriku. Mengerti?! Kalau tidak ... Aku akan marah," ucap kak Rama, penuh ancaman.
"Tapi, Kak. Kau kan tidak mencintaiku? Bagaimana bisa menjadi suamiku?" tanyaku tidak tenang.
"Aku bisa mencintaimu dengan sangat cepat, Anna. Jangan banyak alasan buat melanggar janjimu atau kakakmu Ani akan sedih," ucapnya membuatku terdiam. Aku bungkam.
"Baiklah," lirihku tidak b*******h.
*********
Setelah memintaku menikah dengan kak Rama, tidak terasa sudah satu bulan lamanya kak Ani sakit-sakitan. Entah sakit apa semua keluarga tidak mau bicara, terutama kak Rama, dia seolah tidak peduli dan sepertinya ingin kak Ani cepat pergi.
Semakin lama tingkah laku kak Rama dan Kak Amel semakin berubah, mereka jarang pulang. Aku menjadi gelisah karna mereka. Kak Rama terus saja pulang malam dan kak Amel-lah yang selalu melayaninya. Jika aku bertanya, kak Rama hanya acuh saja, tidak mau bicara, langsung masuk ke kamar dan tidur.
Sementara kak Amel ....
Dia lebih sering menyiapkan makan kadang mengambilkan air minum untuk kak Rama. Tak jarang mereka juga pergi malam-malam bersama.
Aku yang selalu melihat gerak-gerik mereka jadi kesal dan frustasi.
"Ini maksudnya apa, sih?! Sudah tahu kak Ani sakit, malah pergi terus sama, kak Amel!" gerutuku kesal.
Seperti saat ini kak Ani tergeletak lemah di ranjang dan aku-lah yang merawat Alice.
"Anna," panggilnya lemah.
"Iya, Kak Ani," jawabku menghampirinya.
"Apa kak Rama belum pulang?" tanya-nya dengan wajah memucat.
"Belum, Kak. Tadi siang kak Amel mengantarkan makan siang ke kantor kak Rama dan belum kembali juga," sahutku cemas.
"Mungkin mereka lagi ada urusan, Sayang," jawab kak Ani dengan tatapan sayu.
"Urusan apa sih, Kak?! Sudah tahu kak Ani lagi sakit, malah tidak pulang seperti ini. Lihatlah! Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam," protesku menyalahkan mereka.
Aku mengambil ponselku dan berusaha buat menghubungi kak Rama, tapi tidak diangkat juga! Untuk yang kesekian kalinya.
Karna berkali-kali menghubungi kak Rama dan tetap tidak bisa, akhirnya aku mencoba menghubungi nomor kak Amel, dan hasilnya sama, tidak di angkat juga.
Aku menidurkan Alice yang sedari tadi terus menangis, merawat kak Ani dan menjaga Alice seorang diri, sungguh membuatku frustasi. Apalagi di umurku yang masih labil seperti ini.
"Um, Sayang ... tidurlah, Nak. Sudah malam, ssstttt ... pintarnya, Anak manis. Tidur ya, Sayang," ucapku sambil menimang-nimang badan mungil Alice.
Kak Ani mendesah kesakitan, kekhawatiranku semakin menjadi-jadi.
Aku kembali menghubungi kak Rama dengan perasaan jengkel, tapi masih tidak bisa juga. Karna tidak mau menyerah, aku terus menghubunginya.
"Hallo!" jawab seorang wanita dengan suara sexsi-nya, akhirnya ada yang mengangkat telpon kak Rama, tapi kenapa harus kak Amel?! Astaga!! Apa mereka tinggal berdua?!
"Kak Amel, mana kak Rama?! Mengapa kau yang mengangkat telponnya?!" tanya-ku emosi.
"Oh, jadi kau, Adik kecil. Rama sedang ada di kamar mandi," jawab kak Amel, santai.
"Kamar mandi?! Memangnya kalian ada dimana?!" tanyaku hilang kesabaran.
"Bukan urusanmu, Anna."
"Keterlaluan!! Kak Ani sedang kesakitan! Cepatlah pulang!!" perintahku kesal bukan kepalang.
Aku bisa mendengar nafas benci dari kak Amel. Sepertinya dia benar benar tidak ingin diganggu. "Kakakmu itu sudah seringkali sakit! Jadi sabarlah! Sebentar lagi dia juga akan baik-baik saja! Atau kalau tidak, biarkan dia mati sekalian!!"
"Kak Amel!! Jaga ucapanmu!! Kalau tidak! Aku akan membunuhmu!!" ancamku ingin sekali meremas mulutnya, dia sudah keterlaluan.
"Emang iya, bukan?! Orang kalau sering sakit tujuannya kemana?! Mati bukan?!" seru Kak Amel, penuh tekanan.
Bagai di hantam batu, aku marah mendengar ucapannya, ingin rasanya kuhabisi kak Amel saat itu juga. Astagfirullah ... Aku harus bersabar, Kak Ani sedang kesakitan.
"Baiklah, berikan ponselnya pada Kak Rama, Kak Ani kesakitan," ucapku merasa lelah.
"Maaf, Anna. Kau tidak akan bisa menghubungi Rama, kita sedang berada di kamar hotel bersama."
"Apa?! Kak Amel--"
Tut ....
Sambungan telponnya terputus, hatiku hancur bukan kepalang, bagai diremas dari dalam, bagaimana bisa kak Rama bersenang-senang dengan kak Amel Sementara kak Ani kesakitan! Kurang ajar!! Benar-benar keterlaluan.
"Anna," panggil kak Ani, dengan suara lemah.
"Iya, Kak," jawabku menghampiri kak Ani, aku menaruh Alice yang sudah tertidur di sampingnya.
"Ambilkan kakak minum, Sayang. Kakak sudah tidak kuat," ucap kak Ani, membuatku ketakutan. "Kak--"
"Cepat, Anna."
Aku segera berlari ke dapur dan mengambilkan air minum buat kak Ani, tapi setelah kembali ke kamar, betapa terkejutnya aku karna kak Ani jatuh tersungkur ke lantai.
"Kakak!! Apa yang terjadi?!" tanyaku panik.
Kak Ani memejamkan mata dan mulutnya mengeluarkan busa. Aku melihat botol obat di samping kepalanya.
"Astaga! Kenapa bisa kosong?! Apa Kakak meminum semua obatnya?! Kakak!!" teriakku ketakutan.
Aku mencoba menghubungi nomor kak Rama lagi, dan syukurlah di angkat. "Hallo!! Kak Rama!!" teriakku panik.
"Ada apa, Anna?! Aku sedang sibuk, sebaiknya kau tidur dan jangan menggangguku," jawabnya dan langsung menutup telepon.
"Kak Rama!!"
Tut ....
"Astaga! Apa yang harus aku lakukan?" bathinku cemas.
Aku menangis pilu, sambil memegangi kepala kak Ani. "Kakak!! Bangunlah!" pintaku memelas.
"Sayang ... K-kakak sudah tidak kuat ... tuntunlah Kakak membaca doa, Sayang. Kalimat syahadat--" rintihnya tertahan-tahan.
"Kakak!! Kakak akan baik baik saja, Aku akan memanggil taksi!" seruku berusaha menyemangati kak Ani.
"Anna ... Kakak sudah tidak kuat, Sayang ... ingat janjimu! Menikahlah dengan kak Rama, Kau akan bahagia ... sekarang tuntun kakak, Sayang--" paksa Kak Ani, membuatku sedih setengah mati hati. Aku membaca kalimat sahadat dengan tetesan air mata. Tubuh kak Ani benar-benar lemah dan sangat membuatku ketakutan.
"Kakak--" Aku menangis menciumi wajahnya.
Setelah mengikuti ucapanku, tak lama kemudian kak Ani pergi, tubuhnya melemas dan jatuh di pangkuanku.
Nafasnya sudah tidak ada, aku menjerit sejadi-jadinya, hidupku hancur melihat kepergiannya. Sementara Rama, aku sangat membencinya, mulai sekarang hilang sudah hubungan keluarga. Kakak kesayanganku tiada gara-gara dirinya.
Dan kak Amel ....
Aku sangat membencinya, hilang sudah rasa kemanusiaanku padanya.
Aku membenci mereka berdua.
*******
Masih part Flashback, Kawan ....
Jangan lupa tekan Love nya. Aku senang kalian semua, terima kasih .....
TBC.