4

1486 Kata
"Del, mukamu kenapa kok kusut gitu?" Pertanyaan sok khawatir itu meluncur dari mulut abangku durhaka sedunia. Dikatakan durhaka karena selalu mencari kesempatan untuk menendangku dari rumah. Entah dia itu Abang kandung atau jadi-jadian, keinginannya untuk membuatku lenyap dari rumah sudah mengalahkan tingginya gunung Rinjani. "Kenapa emang? Apa urusannya sama Abang?" tanyaku kesal. "Ya, kali aja kamu udah dibuang sama Ibu. Jadi, aku bisa nyuruh kamu pergi tanpa khawatir diusir balik,” sahutnya. Aku mendengus kasar lalu bangkit dari sofa ruang tamu. Hatiku lelah, berdebat dengannya tidak baik untuk kesehatan jantungku. Terlebih, dia hanya menang karena lahir lebih dulu.  Sedangkan tingkat kedewasaannya selevel anak PAUD. "Hei, Abang lagi nanya kok malah kabur, sih?!" omelnya tidak terima. Aku berbalik badan lalu menatapnya tajam seperti tokoh anime yang mampu mengeluarkan laser sehingga membuat bagian kepala bolong. Abangku bergidik ngeri, takut. "PMS, Del?" tanyanya hati-hati. "Mood Adel lagi jelek banget. Kalau Abang nggak mau dibanting, jaga jarak aman mulai sekarang," ancamku lalu pergi ke kamar. Abangku tidakk bereaksi. Biasanya dia tidak semudah itu menyerah. Mungkin, dia mundur karena tatapan laser dariku barusan. Nyalinya itu, bisa dibilang setipis bulu hidung Gorilla. Moodku jelek hari ini. Pernyebabnya, tentu saja si bayi alias anak SMP yang tidak tahu diri itu. Dia sudah mirip komedo yang tidak bisa diusir dengan mudah. Tadi dia memaksa mengantarku pulang, melihat kondisi mukanya yang mirip bayi baru lahir, aku menolak tawarannya. Lagipula, dunia akan mengutukku jika aku mengiyakannya. Dia SMP, sedangkan aku SMA. Harga diriku akan terinjak-injak. Setelah perdebatan panjang ala sinetron alay, dia akhirnya mau pulang lebih dulu setelah aku berjanji untuk mau berangkat ke sekolah dengannya besok. Aku bilang, kami akan bertemu di depan g**g rumahku. Selain ingin menyembunyikan letak rumahku yang masih masuk ke dalam, aku tidak mau dicemoóh oleh abangku yang durhaka. Bisa gawat, kalau dia tahu aku dijemput anak SMP. Aku masih belum tahu nama si bayi atau dia kelas berapa. Lagipula, apa pentingnya semua itu? Aku tidak berminat pacaran sekarang, apalagi sama bayi. Mending aku jomlo sampai masuk kuliah dan bertemu kakak tingkat yang sudah jelas dewasa dan siap dibawa ke pelaminan. I need a man, not a boy. Aku menguap, menatap jalanan dari jendela kamarku. Keinginan untuk tidur mendadak lenyap, menunggu abang tukang bakso yang biasa lewat depan rumah sepertinya lebih baik daripada tidur menjelang malam begini. Aku malas makan di rumah, bukan sok kaya tapi ibu belum pulang dan tidak ada makanan. Mengharapkan abangku yang lucknut berbagi makanan denganku seperti menunggu mangga yang masih mentah jatuh dari pohonnya sendiri tanpa ditimpuk dengan batu. Impossible. Pintu kamarku tiba-tiba diketuk. Firasatku langsung terasa tidak enak. Itu abangku yang durhaka. "Del, abangmu yang cakep masuk ya," katanya setengah teriak. "Ngapain?" tanyaku waspada. Bahkan, sudah berdiri dan memasang kuda-kuda. "Ada bisnis." "Ogah! Enyah sana!" "Jahat. Dengar dulu, dong." Aku diam, berpikir dulu sebelum memberikan jawaban. “Oke.” Bisnis yang abangku maksud, bukan sejenis perdagangan atau hal lain yang menyenangkan. Jika bilang “bisnis”, artinya dia memiliki tawaran pekerjaan untukku. Abangku sudah kuliah, kampusnya masih satu daerah sama rumahku. Dia ogah kuliah keluar kota dengan alasan agar tidak kehilangan peluang untuk menertawakanku jika diusir dari rumah. Bahkan, abang mau aku keluar dari rumah saat kuliah. Dia mau menyewakan kamarku sebagai kamar kos jika itu terjadi. Sungguh Abang jadi-jadian yang minta diruqyah. Aku cemberut saat melihat wajah abang yang sedang tersenyum lebar ketika melihatku duduk di kasur. Firasatku buruk. Belajar dari pengalaman sebelumnya, bisnis yang dilakukan dengan abang selalu berakhir tragis. "Ada tetangga temenku yang nyari guru privat, kamu bisa nggak?" tanya Abang to the point. Tumben langsung ke tujuan, biasanya dia memakai preambule yang membosankan dulu. "Privat apa? Otak Adel cuma bisa dipakai untuk pelajaran tertentu. Terlebih, Adel udah kelas 12, Bang. Nggak ada waktu buat nguru-." "Bayarannya empat ratus ribu perbulan," potong abangku cepat. "Di mana? Kapan bisa mulai?" Abang cekikikan. "Jangan ketawa. Awas kalau ini cuma akal-akalan Abang." Abang menggeleng pelan. "Serius, kok. Awalnya Abang yang diminta, tapi kan kamu tahu, abangmu yang cakep ini sibuk, jadi aku kasih kamu aja." "Sibuk apa, Bang? Bukannya Abang lagi libur kuliah dan nganggur pula?" tanyaku heran. Abangku berdecak pelan. "Sembarangan. Mulai besok abang jadi pekerja paruh waktu di counter." "Bayarannya tinggi?" Abang menggeleng. "Nggak, tapi kerjanya santai. Bisa ngegame." Dasar pecandu ML. Lama-lama aku savage juga dia. "Kalau mau, nanti Abang bicarain lebih lanjut sama temen abang. Tapi ada syaratnya.” Abang mulai menunjukkan sisi Serigalanya. "Apa?" "Gajian pertama, bagi setengahnya sama abang." "Rentenir!" Abang tertawa puas seolah mengaku kalau memang rentenir yang suka memeras kaum duafa. "Mau nggak? Kalau nggak mau, abang nggak akan kasih Adel." "Ya udah," sahutku mengalah. "Oke, deal." Abang mendekat padaku lalu mengulurkan tangan. Aku tatap dia dengan bibir manyun. "Biar sah perjanjiannya," jelas Abang. Terpaksa, aku menerima uluran tangan Abang. "Sip, deal," kata Abang lagi. Aku mengangguk. "Jangan cemberut, dong. Smile," kata Abang sambil tersenyum lebar. Aku terpaksa menarik sedikit bibirku ke atas. "Oke, senang berbisnis dengan anda," kata Abang lalu keluar dari kamar sambil tersenyum girang. Dasar pemalas. Nggak kerja tapi mau dapat duit. Orang kayak gitu, pasti nggak akan kaya. Pasti. Aku kembali menatap jalanan, walau segera menutup gordennya lagi. Si Markonah lewat, bukan nama sebenarnya, cuma merasa najis jika harus menyebut namanya. Sebagai manusia yang suka teraniaya, tetangga depan rumah sekaligus teman sepermainan yang barusan lewat itu, adalah musuhku. Kami sudah musuhan sejak dua tahun yang lalu. Lucunya, aku bahkan tidak tahu alasannya. Rasanya terlalu k*****t jika harus berteman dengan seseorang yang membuang muka tiap kami berpapasan atau seseorang yang nyinyir tentang kejelekanmu ke teman-temannya. Aku tidak suka permusuhan. Namun, peperangan itu tidak terelakkan lagi. Dulu, aku pernah mencoba bertanya padanya dari hati ke hati, tetapi hatiku malah terlempar ke aspal karena dia serang dengan caci maki tanpa filter. Sejak itu, aku berhenti bicara padanya. Menjadikannya musuh adalah solusi terbaik dari perang dingin menyebalkan di antara kami. "Adel! Adel!" Teriakan itu membuatku yang sedang rebahan mau tidak mau keluar dari kamar. Abangku itu pasti berulah lagi. "Adel!" jerit Abang tambah nyaring. "Apa, Bang? Di mana, sih?" "Di kamar mandi, Del! Cepetan, Del!" Aku segera berlari ke kamar mandi. "Apa, Bang? Ada apa?" Sedurhakanya abang, dia tetap saudara kandung dari induk yang sama. "Dengerin!" Bret.. Bret.. Bret.. "What the-." "Akhirnya, keluar juga, Del! Emang harus manggil kamu biar pencernaan abang lancar," katanya lalu terbahak. Aku memasang muka datar. Seandainya ada granat di tanganku sekarang, sudah aku lempar ke dalam kamar mandi agar abangku itu meledak jadi serpihan t***a. k*****t sekali dia. "Nyebelin amat, Bang." "Eh? Masih di sini, Del? Aku udah bisa pup, lho. Balik sana," usir abang tanpa rasa empati sama sekali. "k*****t," dengusku lalu balik lagi ke kamar. Abangku yang durhaka sekaligus selalu mengaku tampan itu bernama Faizul Haq, dipanggil Izul. Terkadang beberapa temannya memanggil Zulhaq. Abangku alisnya tebal dengan mata rada sipit sehingga kalau ketawa matanya suka membentuk garis lurus. Sudah dwasa, meski kelakuan kayak anak PAUD. Nyebelin. Hobi bikin rusuh, jorok banget dan kalau pacaran nggak pernah lewat dari tiga hari. Abang bilang, pacaran dari tiga hari adalah pantangan baginya. Udah mirip pengabdi setan pakai pantangan segala. Itu nggak mungkin sebenarnya. Mengingat wajah abangku sama sekali nggak berubah dan auranya juga masih gelap. Abangku itu juga masih aja k*****t dan jelek begitu. Di mataku, abang Izul seperti selembar roti yang nyaris kadaluarsa dan berbau apek. Dimakan bikin sakit perut, tapi kalau nggak dimakan mubazir. Endingnya, disimpan di kulkas biar tahan lama. "Del, tukang baksonya lewat, tuh! Beli nggak?" Aku yang nyaris terlelap segera bangkit dari kasurku. "Mana, Bang? Suruh tunggu, Adel ke dapur dulu ambil mangkok!" Aku buru-buru ke dapur meski penglihatan masih rada kabur karena masih dalam keadaan melayang. Aku sempat berhenti dulu di dapur, menyandarkan diri ke tembok untuk setidaknya memiliki penglihatan yang lebih baik. Setelah itu segera ke depan rumah untuk membeli bakso. Pintu rumah dibuka dan hanya kesunyian yang menyambut. Jika ini di webtoon atau serial komik, akan ada efek suara jangkrik. Si tukang bakso langganan tidak ada, aku dikerjai lagi sama abang lucknut. "Abang!!!!" Terdengar suara tawa so hard dari kamar Abang. "Katanya ada tukang bakso, mana kok nggak ada?" Abang masih terdengar tertawa. Kamar abang memang di bagian depan rumah. Habis teras, kamar abang. Sedangkan kamarku di bagian tengah, dekat dapur. "Iya, tapi bohong!" Aku mendengus kasar lalu masuk ke dalam kamar lagi. Entah apa dosaku di kehidupan sebelumnya sampai bisa ditakdirkan menjadi adik dari abang lucknut macam dia. Aku pengen deh, Del. Punya abang cakep dan baik kayak abangmu. Begitu curhatan Cahyani saat main ke rumah dan bertemu abangku yang selalu tampak baik kalau di depan orang lain. Jika saja Cahyani tahu, tentu dia ogah mempunyai abang seperti abangku. Nyebelin, membuat hepatitis dan hipertensi kalau mental lemah. Selagi Cahyani tidak tahu, seharusnya aku pukul saja abangku itu sampai pingsan lalu masukkannya ke dalam kardus. Tinggal dibungkus rapi lalu disumbangkan ke Cahyani untuk dipungut. Pungut? Damn. Aku jadi inget si bayi. Apes bener dah hidupku, dikelilingi sama cowok yang nggak pantes diajak hidup bareng.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN