Aku mendengus kasar, menatap si bayi yang benar-benar menungguku di depan g**g. Padahal aku sengaja datang lama. Dia memang lawan yang tidak mudah menyerah, masih bertahan meski sudah pukul tujuh kurang sepuluh menit. Tidak ingin terlambat, aku terpaksa berjalan kepadanya.
"Hei," sapaku.
Si bayi menatapku dengan ekspresi kesal.
"Lama," protesnya.
"Maaf, bangun kesiangan," ujarku memberikan alasan.
"Nggak pasang alarm?"
"Udah tapi nggak denger."
"Yakin volumenya digedein?"
"Yakin, tapi tetap nggak denger."
"Budeg atau lupa korek kuping sampe nggak dengar?"
"Yang kedua," jawabku tanpa rasa bersalah.
Si bayi mendesah kasar, sepertinya aku berhasil membuatnya kesal.
"Ya udah," katanya yang lebih cepat calm down dari dugaanku. Padahal aku kira dia akan kesal lalu pergi.
Bayi tidak mudah menyerah. Sekarang aku paham, perasaan kaum ibu yang harus bersabar dengan bayi mereka yang selalu bertindak rewel sampai ibunya putus asa dan memiliki mata panda yang menyeramkan setiap hari.
"Ayo!" ajaknya sambil mengulurkan tangannya.
"Ngapain?"
"Nggak mau berangkat, nih? Aku antar sampai sekolahmu," katanya.
"Hah?"
Nganter aku? Dia? Nggak kebali,k nih? Sepertinya si bayi salah makan sampe lupa usia.
"Tapi jalan kaki. Aku belum punya SIM jadi dilarang bawa sepeda motor," imbuhnya.
"Emang kamu bisa bawa sepeda motor?"
Dia mengangguk kecil.
"Bisa, kok. Mobil juga, cuma nggak berani bawa ke sekolah karena belum punya SIM," jelasnya.
Aku menatap si bayi, dari ujung kaki hingga kepala. Seragam yang dipakainya bener-bener ngebuat aku ngerasa tua. Terlebih, seragam itu masih baru seolah dia anak SD yang baru naik kelas.
"Aku kelas 8," katanya seolah bisa membaca pikiranku. "Ayo ah! Gandengan tangan aja lama."
Si Bayi tanpa basa-basi menggandeng tanganku. Walau begitu, aku tidak melawan, sudah pasrah. Untuk kali ini, aku akan membiarkannya.
Di perjalanan, si bayi mulai cerewet. Dia menanyakan tentang nama panggilan dan usiaku. Karena sedang baik hati, aku menjawab pertanyaan yang diajukannya. Saat aku mengatakan padanya kalau aku sudah kelas 12, dia hanya diam. Mungkin, dia sudah mengerti mengenai perbedaan kami yang cukup jauh.
"Aku salah ternyata," gumamnya kemudian.
Aku tersenyum tipis.
Akhirnya dia sadar, Tuhan kalau aku lebih tua dan nggak pantes buat dia.
"Aku salah sangka, Del. Karena kamu cantik begitu aku pikir kamu kelas X ternyata kelas 12, keren banget kamu, Del," katanya dengan santai, bahkan tertawa kecil.
Aku tak membalas, hanya mendengus kasar. Si bayi memang raja gembel.
"Tahu nggak, Del?"
"Nggak!"
"Denger dulu, dong!"
"Apa?"
"Saat ngeliat kamu waktu itu, aku udah jatuh cinta sama kamu, Del."
"Hah?"
Si bayi menoleh ke arahku lalu tersenyum.
"Aku pikir, kamu wonderwomen," katanya lembut mmebuat hatiku ciut.
Del, sadar diri!!! Dia bayi!!!
"Aku manusia normal tauk! Jangan samain sama tokoh pahlawan di film dong!" kataku sambil ngembungin pipi, memberikan kesan seolah sedang protes.
Si bayi tertawa kecil. Saat aku perhatikan lebih detail, ada t**i lalat di bawah bibirnya. Dia jadi makin imut aja.
Hah? Sadar Del. Kembalikan kesadaranmu!!!
"Bahkan, ngembungin pipi aja kelihatan cantik. Sepertinya aku benar-benar udah jatuh cinta sama kamu,” lanjutnya.
Aku menahan napas sebentar untuk mencegah rohku keluyuran ke mana-mana karena gombalan receh si bayi. Aku harus bisa tahan. Aku harus sadar!!
Bertahanlah Adela Saraswati. You must hang on from f*****g sweet words by this baby.
Tak ingin melayang semakin tinggi, aku mulai memarahi si bayi dengan berpura-pura untuk memintanya memanggilku dengan panggilan yang seharusnya, seperti kakak, mbak atau lainnya, bukan dengan nama saja. Namun, si bayi menolak dengan tegas. Dia beralasan bahwa dia pantang memanggil nama gadis yang dicintainya dengan julukan itu. Shock, dia bahkan mengungkapkan keinginannya untuk berpacaran denganku.
Dia nggak sadar betapa kontrasnya perbedaan di antara kami? Bagaimana bisa ada pikiran kayak gitu di otaknya?
"Aku nggak mau pacaran sama kamu," tolakku dengan kejam.
"Kenapa?"
"Nggak mau pokoknya!"
"Kamu bahkan belum kenal aku, Del!"
"Aku nggak mau kenal kamu," elakku.
"Jangan gitu, dong! Itu namanya nggak adil. Lagian nggak kenal maka nggak sayang, kenal aja dulu, nanti kamu pasti sayang sama aku," katanya penuh percaya diri.
"Nggak! Aku nggak akan sayang sama kamu," bantahku.
Si bayi menautkan alisnya.
"Kenapa? Aku sanggup jadi pacar yang baik."
"Kamu? Pacar yang baik? Kamu itu cuma anak ingusan," elakku.
Dia memegang hidungnya yang mancung lalu memencet-mencetnya.
"Nggak ingusan kok, Del," elaknya dengan mata beruangnya yang lugu.
Ya ampun... Bertahanlah, Del! Jangan marah. Marah hanya akan membuat kolagenmu habis. Kehabisan kolagen bisa ngebuat kulit keriput lebih awal.
Aku menghela napas lalu mengembuskannya perlahan, berusaha menahan diri. Pengontrolan diri yang minim bukan ciri orang dewasa. Aku tidak boleh kekanakan karena bayi egois.
"Maksudku, kamu itu cuma anak kecil yang masih butuh bimbingan orang tua! Kamu nggak cocok sama aku."
"Anak kecil yang diasuh orang tua? Kamu kan juga gitu, Del! Apa bedanya?"
What? Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Seandainya dia bukan manusia, sudah aku lempar dia ke tengah jalan biar jadi sasaran empuk kendaraan.
"Aku memang masih SMP, tapi layak dipertimbangkan,kok," katanya dengan percaya diri.
Aku memegang kepalaku, mendadak pening.
"Jangan kebanyakan mikir, waktu itu aja kamu bersedia mungut aku. Pacaran sama aku apa salahnya, Del?"
Si bayi ngajuin pertanyaan tanpa dipikir dulu.
Pacaran sama dia apa salahnya? Salahnya banyak tahu! Aku, Adela Saraswati, ingin jatuh cinta sekali dan pacaran juga sekali. Aku butuh cowok yang dewasa bukan balita, apalagi bayi.
"Oi, Del!"
Aku menghela napas panjang.
"Aku butuh lelaki dewasa."
"Aku bisa jadi dewasa, kok."
"Kamu cuma bayi," kilahku.
"Aku udah SMP, Del."
"Ya, tapi bagiku kamu masih bayi."
"Kok gitu?"
"Kamu pasti bakal egois pas sama aku. Aku butuh cowok yang bisa mengayomi dan melindungiku," kataku.
Dia menautkan alisnya.
"Itu tugas polisi, Del. Kamu mau nyari om-om?" sergahnya membuatku ingin menonjoknya.
"Maksudku aku butuh lelaki yang bisa melindungiku bukan yang minta dilindungi sama cewek."
"Tapi kan kamu wonderwomen, Del! Nggak ada pahlawan yang dilindungi," balasnya yang membuatku gigit jari.
Perdebatan antara aku dan si bayi pun berlanjut dan tidak menemukan titik terang. Si bayi memang keras kepala. Dia tidak cepat memahami tentang besarnya perbedaan kami yang tak akan hilang hanya karena sebatas rasa suka atau cinta sekali pun.
“Aku akan selalu di sisimu apapun yang terjadi, Del. I Love you.”
Howeek. Ya ampun, sepertinya selain obat sakit kepala, aku juga butuh obat mual.
"Oh iya, bentar!"
Dia mengambil sesuatu dari tasnya. "Nih!"
"Kamu nggak sarapan kan tadi?"
Aku mengangguk.
"Maaf ya, cuma bisa ngasih itu. Kalau aku kasih uang, takutnya kamu tersinggung." Dia tersenyum tipis.
Kata siapa? Nggak sama sekali! Aku lebih suka dikasih uang daripada roti.
"Nih!" katanya lagi.
Aku terpaksa mengambil roti kacang yang dia sodorkan.
"Makannya pelan-pelan ya nanti," katanya perhatian.
"Kenapa? Kamu kasih racun di dalamnya?"
"Nggak, kok," bantahnya cepat. "Aku cuma nggak mau kamu keinget aku terus pas makan roti ini."
Aku memutar bola mataku malas.
Ya, Tuhan, kapan ini nyampeknya? Sekolahku mendadak pindah ya? Lama amat nyampeknya.
"Udah sampe, Del."
Aku mendongakkan kepalaku, ternyata benar, kami sudah tiba di sekolahku. Selama hampir tiga tahun aku bersekolah di sini, rasanya baru sekarang aku bersyukur. Akhirnya, aku bisa lepas dari si bayi.
"Kamu pulangnya jam berapa, Del?" tanya si bayi.
"Aku pulang sama Cahyani, nggak usah jemput!" sambarku cepat.
Si bayi tersenyum miring sehingga terlihat sangat menyebalkan.
"Ngarep dijemput ya? Aku kan cuma nanya," katanya yang ngebuat aku geregetan. "Yaudah, masuk sana. Aku juga harus buru-buru berangkat ke sekolah, udah telat nih!" pamitnya. Si bayi melambaikan tangan lalu berlari pergi.
"Oh, lupa. Namanya siapa ya?" gumamku lalu segera masuk karena bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi.
Ah, bodo amatlah. Nggak penting juga tahu nama si bayi. Aku tetap nggak akan sudi pacaran sama dia. Never.