"Apa??!!!" Cahyani melotot sempurna. "Si bayi tajir tujuh turunan, Del? Sumpah?" Mulutnya menganga, tidak percaya.
Aku mengangguk.
"Iya, rumahnya aja udah hampir seukuran sekolah kita," kataku mengiyakan sembari memakan kacang atom milik Cahyani.
"Oh My God," ucap Cahyani alay, belum bisa move on dari rasa takjubnya. "Udah, pepet aja. Kalau perlu, lempar dirimu ke dia, Del." Cahyani memberikan usulan ngawur.
"Jangan ngawur! Mau sekaya apapun dia, aku nggak bakalan mau." Aku masih memegang teguh prinsipku.
Cahyani mencebikkan bibir.
"Nolak rejeki itu haram hukumnya, Del."
"Lagian apa susahnya nerima si bayi, sih? Tampan, tajir dan tulus pula cinta sama kamu." Cahyani menggeleng-gelengkan kepala heran.
"Dia masih bayi, aku nggak mau jadi tante girang yang demen brondong," tegasku.
Cahyani tergelak.
"Tante girang? Kamu dapat dia bukan jadi tante girang, tapi ratu girang. Lagian kapan lagi kamu bisa kelonan sama brondong? Minimal, kalau kamu nggak nikah sama dia, kamu sudah melukiskan catatan dalam sejarah hidupmu kalau pernah pernah jadi Cinderella," oceh Cahyani yang semakin konslet saja.
"Cinderella darimana? Dia bukan pangeran, tapi bayi, Cah," sanggahku.
"Bayi-bayi gitu dia masih bisa mungut sepatu, Del. Udah lempar aja itu sepatu usangmu di depannya biar dipungut," sahut Cahyani.
"Ish, emang Cinderella harus selalu sepatunya yang ketinggalan?"
Cahyani mengangguk.
"Iya. Kalau bukan sepatu apa? Bakiyak? Kamu pikir Cinderella dongeng dari Jawa?" Cahyani setengah nyindir.
Aku meringis pelan.
"Tauk, ah. Ngawur amat! Pokoknya aku nggak mau sama si bayi. Ogah."
Cahyani menghela napas berat.
"Aduh, susah amat ngomong sama kamu, Del! Dinasehatin mantul mulu." Cahyani rada BT.
"Ya udah nggak usah ngomong atau nasehatin aku lagi," putusku.
"Aih, kan kamu duluan yang cerita, mana bisa kamu berhenti di tengah jalan gitu? Ngegantungin orang itu nggak baik, Del! Ntar timbangan amalmu miring ke kiri."
"Hussh! Sembarangan aja ngomongnya, Cah," sambarku cepat.
"Ya, habisnya kamu keras kepala sih! Terdiri dari apa sih itu kepala kok keras amat!"
"Terdiri dari otak, tengkorak dan kulit," jawabku.
Cahyani mendesis pelan.
"Bukan gitu maksudku," elaknya.
Aku hanya tersenyum geli.
"Jadi, kamu mau ngapain? Berhenti aja dari sana?" tanya Cahyani.
Aku menggeleng.
"Aku udah telanjur janji buat bagi hasil gaji pertamaku sama abang, jadi nggak bisa berhenti sekarang."
"Poor you," kata Cahyani prihatin.
Aku terkekeh.
"Katanya mau punya Abang kayak abangku," godaku.
"Kalau sifatnya nggak kayak gitu, aku mau," sahut Cahyani.
"Itu mah namanya kamu cuma mau manisnya, ampasnya dibuang ke tetangga."
Cahyani hanya tergelak pelan.
"Ngomong-ngomong pacarmu apa kabar? Beneran jadian?" tanyaku baru ingat tentang pacar Cahyani.
"Yaelah, emang dikira jasa pengiriman bisa dibatalin? Jadian, kok. Taken udah diriku." Cahyani mendadak sombong.
"Oh gitu," responku singkat.
"Kenapa? Kamu mau aku kenalin sama teman-temannya pacarku?" tanya Cahyani nawarin.
"Ogah! Aku mau cari pacar pas kuliah aja," jawabku menolak tawaran Cahyani.
"Ngapain nyari pacar di waktu kamu kuliah? Si bayi aja kamu besarin sampe gede trus kawinin!" Cahyani masih saja mengusulkan usulan unfaedah.
"Udah, deh! Kamu nggak usah ngasih saran gila kayak gitu. Aku nggak mau ya pas aku kuliah, yang datang ngejemput bocah lelaki dengan seragam putih dongker. Malu banget." Aku bergidik, ngeri membayangkan si bayi menjemputku dengan memakai seragam SMP.
"Gampang, kalau masalahnya cuma itu. Tinggal kamu suruh aja si bayi pake baju bebas, beres," kata Cahyani dengan puas.
"Beres apaan. Pake baju bebas nggak akan ngebuat dia langsung naik jadi anak kuliahan." sanggahku.
"Setidaknya dia tingginya seukuran anak kuliah, Del! Tampang oke, keuangan apalagi. Kalau aja waktu itu dia ketemu aku, udah pasti aku pungut dengan segenap jiwa dan raga!"
"Yaudah, pungut aja itu bayi! Kan dia udah kenal kamu, udah nyapa juga kan?"
"Sorry, aku anti tikung-menikung. Aku nggak mau wajah cantikku sia-sia dengan cap pelakor," tolak Cahyani.
"Kan nggak ngerebut, aku yang ngasih. Gratis, sukarela," kilahku.
"Aku nggak mau, Adel! Si bayi cintanya sama kamu, bukan sama aku. Trus ya, Dia ditakdirkan sebagai jodohmu bukan jodohku," kata Cahyani bersikukuh.
"Kenapa harus dia jodohku sih?" delikku sebal.
Cahyani mengedikkan bahu.
"Jadi, Si bayi namanya siapa? Udah tahu belum?" tanya Cahyani.
Aku mengangguk.
"Siapa?"
"Yuby Lesmana Agung Mahendra."
Cahyani menaikkan satu alisnya.
"Itu nama apa gerbong kereta api? Panjang amat."
Aku hanya mengangkat kedua bahu sambil memasukkan beberapa kacang ke dalam mulut.
"Tapi namanya keren," puji Cahyani.
"Dari mananya? Karena anak konglomerat?"
Cahyani menggeleng.
"Bukan, Yuby, kalau dalam bahasa Jepang, bahasa awalnya Youbi artinya hari," jelas Cahyani.
"Hari? Day?"
Cahyani mengangguk.
"Kalau artinya gitu nggak keren," sanggahku.
"Aih, keren tauk! Jarang-jarang ada orang Indonesia dinamai pake nama Jepang gitu," kilah Cahyani.
"Kalaupun dinamai Jepang, aku yakin namanya diambil dari kata Kyuubi," sahutku.
Cahyani mengerutkan kening, sepertinya dia memikirkan sesuatu.
"Maksudmu rubah ekor sembilan, Kurama di anime Naruto itu?"
Aku mengangguk.
"Durhaka kamu, Del! Jodoh sendiri kok dipanggil rubah sih? Nggak sekalian kamu panggil dia Yonbi?" Cahyani tidak terima.
Aku tergelak.
"Tahu juga nama-nama Bijuu, Cah?" tanyaku sambil senyum cengengesan.
Cahyani mengangguk.
"Kamu pikir kamu doang yang suka anime Naruto? Aku juga! Aku ini fans dari si ganteng Gara tauk," sergahnya.
Aku tergelak.
"Aku pikir karena kamu suka bayi, kamu ngefans sama si boncel Yagura."
Cahyani nyengir.
"Nggak gitu juga, Del! Ngefans itu kan nggak tergantung itu! Semuanya dari hati."
"Ya udah sama aja, dong? Aku juga dari hati terdalam nggak suka sama si bayi! So, nggak usah maksa aku buat nerima dia jadi jodohku."
"Kalau si bayi, itu perkara lain, Del," pungkas Cahyani.
"Hah?”
"Tanpa perlu dari hati, di jidat itu bocah udah tertulis kalau dia jodohmu, Del! Jadi, kamu nggak boleh nolak-nolak dia, pamali," elak Cahyani.
"Aish, sok amat, Cah! Di keningnya nggak ada apa-apa tauk! Dia bukan jodohku pokoknya," sungutku tidak terima.
Cahyani cuma cekikikan.
"Kalau nanti kamu nikah sama dia, jangan lupa aku diundang," katanya tanpa memerdulikan kata-kata yang aku ucapkan barusan.
Aish, Dasar Cahyani menyebalkan!
***
"Udah belum?" tanya si bayi yang sore ini memberikan tugas keduanya di pertemuan keduaku sebagai guru privatnya.
Aku menghela napas sambil mengambil kecambah dari mangkok lalu memindahkannya ke piring kosong. Setelah membuat kakiku kram kemarin, sekarang dia membuatku menjadi pemilih kecambah mentah yang sepertinya sengaja dicampur ke dalam Rawon.
"Udah belum?"
"Udah," kataku sambil menggeser mangkok berisi Rawon padanya.
"Yakin kecambah mentahnya udah diambilin semua?" tanyanya belum merasa yakin.
Aku menghela napas, mencoba untuk sabar.
"Udah," jawabku singkat.
"Sip, sekarang kasih Kang Ujang sana," suruhnya.
"Hah?"
"Kenapa?"
"Trus ngapain aku pilihin kalau Kang Ujang yang makan?"
"Aku kan nggak pernah bilang kalau aku yang mau makan. Aku cuma nyuruh kamu milihin kecambah mentahnya, soalnya Kang Ujang nggak suka," jelasnya.
"Hah? Jadi, kamu suka?"
Si bayi mengangguk tanpa dosa.
"Sukalah, kan aku yang ngasih kecambahnya ke dalam rawon."
Aku mengepalkan tinjuku.
Sabar, Del. Tarik napas, hembuskan pelan-pelan. Sabar, demi uang 400ribu.
"Sana kasih trus ke ruang makan," katanya.
"Ngapain?"
"Aku mau makan. Laper," jawabnya lalu beranjak keluar dari kamar tanpa menunggu reaksi apapun dariku.
Aku terpaksa berdiri dan keluar kamar juga dengan membawa semangkok Rawon di tanganku. Rasanya benar-benar menyebalkan. Turun tangga lingkaran tanpa membawa apapun aja aku udah pusing, ini malah harus membawa rawon yang masih hangat. Kepalaku mendadak migran.
Bener-bener deh aku dikerjain bayi.
Turun dari tangga, Bi Asih langsung mengambil mangkok Rawon itu dari tanganku.
"Sudah ditunggu Aden Yuby di ruang makan nona!" katanya.
"Oh, oke. Makasih, Bi,” sahutku.
Bi Asih mengangguk lalu berjalan pergi. Sekarang aku menyadari bahwa pelayan di rumah ini berbeda dari PRT yang biasa aku lihat di TV. Lebih elegan, cerdas dan tenang.
"Del," panggil si bayi begitu melihatku.
"Kenapa?"
"Makan yuk!" ajaknya sambil menunjuk deretan makanan di meja makan.
Aku ternganga, bahkan sempat menelan ludah. Segala jenis makanan ada, udah kayak acara prasmanan di kondangan pernikahan.
Aku mau makan...
"Mau makan nggak?"
"Nggak." Aku pura-pura menolak, ngambek.
"Yakin?"
Aku mengangguk ragu-ragu.
"Yaudah," katanya lalu memakan sepiring gado-gado.
Aku meringis pelan.
Kok nyerah sih? Tawarin lagi napa? Dasar bayi nggak peka.
Si bayi sepertinya perlu diajari tata krama. Bagaimana bisa dia makan di depanku yang lagi berdiri? Minimal, dia harusnya nyuruh aku duduk, ya kan?
Si bayi menatapku setelah sempat fokus pada makanannya. Aku mengira, dia mau mengejek, tapi tidak, dia hanya menatapku cukup lama membuatku jadi penasaran.
"Kenapa?"
"Aku kepedesan."
"Trus?"
Si bayi senyum.
"Tapi mendadak jadi nggak pedes lagi,"
"Kenapa?"
"Pedesnya ilang karena kamu terlalu manis, Del!"
Howeekkk.... Tolong tenggelamkan ini bayi ke rawa-rawa. Gembel amat.
Si bayi nyengir lalu lanjut makan lagi.
Tak lama kemudian si bayi meletakkan sendoknya lalu mengibaskan tangannya seolah memberikan isyarat agar aku mendekat. Aku pun segera mendekat dan duduk di kursi di sebelahnya.
"Adel suka apa?"
Aku menautkan alisku.
"Makanan maksudnya," katanya sambil menatap deretan makanan di depannya.
Yes, sepertinya aku bakal diajak makan.
"Suka apapun yang bisa dimakan," jawabku.
"Udah makan?"
"Tadi siang udah."
"Mau makan lagi?"
"Iya."
"Nih, makananku nggak habis, habisin dong, Del! Mubazir!"
Aku mengepalkan kedua tanganku dengan mata terpejam. Jika aku Hulk, sekarang aku sudah berubah menjadi makhluk hijau besar dari tadi.
"Kenapa? Nggak mau?"
Aku nyengir kaku.
"Makan, dong! Kan aku yang nyuruh. Lagi jam les privat juga kan? Nggak boleh bantah."
Licik. Dasar Kyuubi.
Aku terpaksa memakan gado-gado sisa darinya.
"Enyaaakk," seruku tanpa sadar ketika mulutku mulai mengunyah.
Si bayi senyum-senyum. Bodo amatlah ya dia mikir apaan. Urusan rasa malu belakangan, urusan perut harus didahulukan. Setelah gado-gado itu habis, si bayi menggeser segelas minuman berisi sirup ke arahku. Aku meminumnya.
"Kenyang." Aku tersenyum puas.
Si bayi tersenyum tipis sembari menatapku lekat.
"Kita udah dua kali makan bareng, lho," katanya.
"Trus?"
"Lama-lama, kamu bakal biasa makan sama aku."
Aku mendengus kasar.
"Dengar, Yuby," kataku penuh penekanan biar dia mau menyimak ucapanku. "Aku nggak mau biasa makan sama kamu."
Yuby terkekeh.
"Masak, sih? Padahal makannya lahap gitu," ledeknya.
Aku menahan napas, kemarahanku sudah di ubun-ubun.
"Aku nggak suka brondong, Yuby! Aku nggak akan bisa suka sama kamu!"
"Itu kan sekarang, siapa yang tahu nanti kamu berubah pikiran. Prinsip orang bisa bergeser seiring waktu, Del!"
Hah? Sok tua amat ini bocah.
"Aku ngantuk! Pulang sana!"
Aargghhhhh.... Sabar, Del. Dia sumber keuanganmu.