9

1652 Kata
Saat membuka pintu kamarnya, aku melihat pemandangan yang sudah biasa terlihat. Berantakan, jorok, kapal pecah atau apapun sebutannya, kamar yang sedang aku teliti ini menunjukkan betapa malasnya makhluk yang tinggal di dalamnya. Aku menghela napas saat mengarahkan pandangan ke tempat tidur. Di sana seorang cowok berusia di awal dua puluhan sedang merangkak turun dari kasur. Dengan mengesot, dia menuju ke arah jendela kamar yang terbuka sejak semalam. Dia mendongakkan kepala, mencoba merasakan angin sepoi-sepoi yang berhembus dari luar. Ini sudah jam sepuluh pagi dan cowok yang mengenakan piyama tidur itu masih setengah sadar. Dia seperti enggan bangun, tidur lagi tidak bisa. Rambutnya sudah panjang, poninya nyaris menutupi kedua mata, mmebuatku ingin sekali menjambak dan mencukurnya habis. Niat itu tidak kunjung terwujud karena dia akan berpikir menjadi biksu Saolin jika dibotakin. "Oi, Bang! Bangun, udah siang," kataku mencoba menyadarkan abang terdurhaka yang malah membaringkan tubuhnya di lantai. "Adel," katanya sambil menggapai-gapaikan tangannya ke tumpukan cucian yang tidak terlalu jauh dari tempatnya berada. Aku menghela napas panjang lalu berjalan mendekat. Abang Izul meringkuk sebentar lalu tidur terlentang. Badannya yang tinggi itu sudah seperti pastel kentang yang siap digoreng. "Bangun, Bang!" "Argh," ucap abang Izul dengan malas. Dia mendongakkan kepalanya, menatapku dengan matanya yang tersembunyi. "Jam dinding berdetak, tik, tik, tik," ucapnya mulai berpuisi. Kumat lagi si Abang. "Waktu terasa begitu lambat dan menyakitkan. Saat itu aku sadar," lanjut bang Izul. "Sadar apa, Bang? Tobat?" Aku memunguti tumpukan pakaian kotor Bang Izul. Bang Izul tidak segera menjawab, mungkin puisi yang dibacakannya barusan belum kelar. Aku sempat tertegun menatap tumpukan CD berbentuk kolor pendek dan segitiga di antara pakaian kotor Bang Izul. Sebenarnya sudah biasa, tapi tetap saja malu. Bagaimanapun aku ini perempuan. "Kalau lapar," katanya lalu merebahkan kepala di lantai bak orang yang kehabisan tenaga. "Makanya, bangun! Adel udah masakin mie instan dan juga telur mata sapi di meja tuh!" Bang Izul langsung bangun. Tenaganya langsung terisi penuh. Sepertinya, selain uang dan kuota, makanan adalah sumber ketiga tenaga abangku yang lucknut itu. "Bilang dari tadi," katanya lalu segera berlari ke ruang makan. Dasar Abang abal-abal. Aku keluar dari kamar Bang Izul sambil membawa tumpukan pakaian kotor lalu memasukkannya ke dalam mesin cuci. Walau dari keluarga yang tergolong miskin, satu-satunya harta berharga di rumah yang bisa dicuri adalah mesin cuci. Televisi tidak ada, apalagi emas batangan. Nothing. Berbeda jauh dengan rumah Yuby, ada banyak barang yang bisa dicuri. Rumah mewah begitu pasti menyimpan banyak harta berharga. Walau begitu, aku sama sekali tidak mau mencuri di sana. "Adel," panggil Bang Izul. Aku menghampiri Bang Izul setelah memutar tombol mesin cuci. "Ada apa, Bang?" "Minum, dong," jawabnya sambil memasukkan mie instan ke mulutnya. "Ya ampun, Bang. Ambil sendiri nggak bisa ya?" ocehku sambil berjalan menuju ceret air. "Nggak bisa," jawab Bang Izul santai. Aku tuangkan segelas air lalu meletakkannya di meja dekat Bang Izul. "Nih!" Aku duduk di kursi seberang bang Izul, bersiap menyantap mie instanku. "Sekali-kali masak daging dong, Del." "Mana uangnya? Nanti Adel masakin," kataku sambil menengadahkan tangan. "Kamulah, aku mana punya uang, Del," katanya. "Aih, Adel juga nggak punya uang, Bang," kataku. "Minta ibu, dong," suruhnya. "Ogah," sahutku. "Abang aja minta ibu sendiri!" Abang manyun. "Kamu tahu, kan? Betapa pelitnya ibu, selain untuk kebutuhan sekolah, ibu nggak akan ngasih uang buat kita. Kalaupun ngasih, ibu akan minta bukti kwitansi!" "Ya udah, Abang kan kerja, pakai uang Abang aja," usulku. "Nah itu, Abang sudah berencana untuk ikut liburan makanya uang abang ditabung!" "Trus Adel yang harus berkorban? Ogah!" Abang menghela napas berat dengan mata sayu penuh kesedihan. "Abang pengen daging, Del." Bang Izul memasang wajah memelas. Aku yang melihatnya begitu mendadak tidak nafsu makan. "Itu kan daging," kataku. "Mana?" tanya bang Izul penuh semangat. "Mie instan rasa daging ayam," kataku sambil menunjuk mie instan bang Izul yang sudah tinggal kuahnya. "Aih, nyebelin amat sih, Del!" Bang Izul kesal. Aku hanya cekikikan. "Iya, kan? Sama-sama daging, cuma dalam bentuk mie," kataku. Bang Izul mendengus kesal. "Durhaka," katanya. "Lebih durhaka Abang," sanggahku. "Ish, ngebantah aja kalau dibilangin," sahut Bang Izul nggak terima. Aku cuma cekikikan. “Hemat, dong, Bang. Lagian ya bang, abang sampai kapan gini trus? Suatu saat abang bakal menikah, lho." "Nikah? Apaan itu? Merek sandal?" sahutnya sewot. "Aish, Abang ini! Adel kasih tahu ya, suatu saat Adel juga akan menikah dan pergi dari sini makanya abang yang mandiri, dong!" "Nggak bisa ya Abang ikut aja?" tanyanya dengan santai. "Hah?" "Atau kamu nikah sama orang kaya aja, Del! Tiap bulan kirimin abang uang, kuota dan juga bayarin rekening listrik, pembantu rumah tangga dan juga biaya hidup Abang," katanya dengan seenak jidat. "Abang mau Adel nikah sama orang kaya cuma buat itu?" tanyaku kesal. Abang Izul mengangguk. "Hooh," jawabnya tanpa menyangkal sama sekali. "Lagian ya, kalau kamu nggak ada gunanya buat hidup abang, pergi aja sana dan jangan kembali! Ngerebut jatah makan dan uang jajan aja." Aku berdecak pelan. Punya abang kayak abang Izul emang harus extra sabar. Jujur sih dianjurkan tetapi terlalu jujur juga menyebalkan. "Oh ya, Bang," kataku yang tiba-tiba teringat soal si bayi. Aku curiga kalau abangku itu sudah tahu soal si bayi dan bekerjasama dengannya untuk menjualku pada si bayi dengan imbalan sejumlah uang. Oke, aku tahu ini negatif thinking, tapi melihat betapa sukanya abang dengan uang, aku rasa hal yang wajar menaruh curiga padanya, bukan? "Soal murid dari teman Abang itu, Abang sudah tahu nggak?" tanyaku. Bang Izul menaikkan satu alisnya. "Tahu apa?" Bang Izul penasaran. Aku mengamati ekspresi bang Izul, mukanya menunjukkan dia tidak tahu apa-apa. "Nggak jadi, lupakan," kataku lalu mulai menyantap mie instanku yang dari tadi dianggurin. "Aih," decak Bang Izul pelan. "Kalau mau ngomong itu dituntaskan! Sama kayak pup, jangan ngegantung gitu bikin greget!" "Ish, Abang! Adel lagi makan ini," kataku sambil mengeluarkan kembali mie instanku yang hampir masuk ke dalam mulut. Bang Izul nyengir. "Mie instan warnanya kuning ya, udah sama kayak..." gurau Bang Izul dengan tatapan menyebalkan. "Tauk ah!" Aku meletakkan kembali sendokku lalu pergi dari ruang makan meninggalkan mie instanku yang baru sesuap aku makan. "Haha." Tawa Bang Izul pecah. Jika ada oscar untuk abang terdurhaka, aku rasa bang Izul yang bakal menang. Dia sudah k*****t sekali sebagai seorang kakak. Anehnya, ibuku sangat membanggakannya. Mungkin karena abang Izul adalah satu-satunya lelaki di keluargaku. Kesal rasanya jika mengingat alasan betapa dimanjakannya dia karena jenis kelamin. Protes pun percuma. Aku melangkah menuju kamar, mencoba untuk setidaknya berdamai dengan kehidupan selagi libur. Aku pengen tidur setelah semalam tidak bisa tidur karena kesal dengan si bayi bertambah menyebalkan. Dia sudah mirip anak kolonial Belanda, tipe-tipe penjajah. Aku merebahkan tubuh di kasur, menikmati betapa kerasnya kasur yang sudah mengeras karena usia. Bukan dari bahan kapuk mahal, tidak empuk. Kasur bekas bang Izul sebelum dia merengek minta dibelikan kasur baru. Baru saja mataku terpejam tetapi handphoneku yang biasanya hanya disinggahi pesan dari operator atau Cahyani berdering. Aku melihat nomer baru sedang menelponku. Betapa kerasnya aku berpikir, tetap saja tidak tahu siapa yang menelpon. Akhirnya panggilan berakhir. Sedetik kemudian, nomer itu memanggil lagi. Aku membiarkannya saja. Baru di deringan ketiga, aku menjawabnya. "Siapa?" tanyaku begitu tombol hijau ditekan. "Jodohmu," jawabnya. "Hah?" seruku terkejut. Dari suara sepatah kata saja, aku sudah tahu siapa penelpon itu. Yups, it’s the Big Boss, si bayi. "Tahu nomerku dari siapa?" Sengaja, aku menjutekkan nada suaraku. "Yaelah, kamu kan guru privatku, Del! Masak nggak tahu?" Aku menaik-turunkan kepalaku. "Iya juga ya," kataku yang mendadak merasa bodoh. "Kamu ngapain, Del?" "Tiduran, kenapa?" "Nggak apa-apa, nanya aja." "Oh." "Iya, nggak mau nanya balik?" "Nggak!" "Oh yaudah." Setelahnya tidak ada percakapan, kami seolah sedang asyik mendengarkan suara dan hembusan napas masing-masing. "Tadi aku sarapan sendirian, Del! Tadi malam juga," curhatnya. Aku hanya diam, mendengarkan. "Kesepian aku, Del! Aku nggak nafsu makan jadinya makananku nggak habis," lanjutnya. Aku masih diam. "Tahu nggak Del aku makan apaan?" Aku diam. "Daging sapi, Del! Beneran deh, aku jadi ingat kamu. Pengen aku bagi ke kamu tapi takutnya kamu nggak mau." Mana ada orang miskin nggak mau daging sapi? Yang ada mereka bukan nggak mau, tapi nggak mampu beli. "Trus ya, Mama pergi belanja, aku dapat baju baru. Tapi mama lupa nggak beliin kamu, Del. Yaudah aku ngambek. Trus kata mama, aku disuruh nanya ukuran bajumu. Kamu mau nggak Del kalau dikasih baju?" Aku menguap. Ngantuk. Mengiming-ngimingi aku baju baru nggak akan buat aku luluh, bayi. "Oi, Del! Masih hidup kan?" tanyanya karena sejak tadi aku diam. "Jawab, dong!" "Iya," jawabku malas. "Nah gitu, bersuara! Aku nanya dari tadi diam aja, kenapa sih?" katanya dengan kesal. "Oh, tadi nanya? Aku kira curhat," sahutku dengan tersenyum puas. Aku mendengar si bayi mendengus kesal. Rasakan! Nggak enak kan dikerjai? Si bayi ngambek, diam saja setelah itu. Hanya suara napasnya yang terdengar. Aku pun juga diam saja, tidak mau kalah. Dua menit berlalu, lima menit dan lama-lama aku semakin mengantuk. "By, aku ngantuk, nih!" Yuby diam saja. "Kamu nggak ada yang mau diomongin lagi kan? Aku matiin telponnya ya?" Aku mohon pamit. Bagaimanapun dia adalah sumber keuanganku, kalau dia ngambek dan tidak mau diajarin lagi bisa gawat. "By? Jangan marah ya, aku bercanda aja tadi. Soalnya aku lagi kesel sama abangku, jadi dilampiasin ke kamu deh! Sorry ya!" Aku berbaik hati meminta maaf duluan. Yuby masih diam, hanya menghela napas panjang. "By? Yuby?" Mana nih bayi? Tidur kah? "By, tidur ya?" tanyaku "Yuby!" panggilku rada keras. "Hm?" Akhirnya si bayi bersuara. "Tidur ya? Daritadi aku nanya nggak dijawab," kataku BT. "Oh tadi nanya, aku kira curhat," balasnya. Kampret. "Aih, nyebelin amat sih ka-," Tut.. Tut.. Tut.. Panggilan diakhiri. "Akh!" teriakku kesal. "Adel!!!!!" teriak bang Izul dari dapur. Aku yang kesal segera bangun lalu pergi menemui Bang Izul. "Ada apa sih, Bang?" tanyaku BT. "Cuciannya udah tuh," jawab Bang Izul sambil menunjuk ke mesin cuci. "Nggak bisa ya gantiin Adel nanganin?" delikku. Bang Izul mengedik. "Kan pembantunya kamu, bukan aku," katanya sambil berjalan pergi menuju kamarnya. Aku menghela napas panjang. Sabar Del.. Sabar.. Orang sabar banyak ayamnya, kalau beternak. Sumpah, nggak ada cowok yang bener di hidupku. Apes.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN