"Kamu siapa?" Aku waspada saat melihat seorang cowok datang lalu duduk di depanku dan Cahyani yang sedang makan di kantin.
"Aih, ini Gandhi, Del" sergah Cahyani.
"Siapa?" tanyaku masih bingung.
"Pacarku," jawab Cahyani.
"Oh," sahutku lalu cengengesan.
"Kan udah pernah lihat, lupa?"
Aku mengangguk lalu menyeruput minumanku.
"Sorry," kataku seraya menoleh kea rah Gandhi.
Gandhi hanya mengangguk. Tampilannya model-model anak IPS, anak IPA. Seragamnya jauh dari kata rapi, rambutnya berwarna agak kemerahan, mukanya cukup ganteng tapi terkesan tengil. Tatapan matanya mengisyaratkan kalau dia kuat, beda dengan tatapan si bayi yang lemah itu.
"Dia Adel, sahabatku yang jauh lebih penting daripada pacar," kata Cahyani memperkenalkanku pada Gandhi.
Aku meneliti wajah Gandhi, mencoba melihat bagaimana reaksinya setelah mendengar apa yang Cahyani katakan barusan. Sebenarnya, aku sudah tahu kalau Cahyani itu bawel dan menyebalkan, tapi tidak menyangka akan berkata begitu ke setiap pacarnya. Entah terlalu setia kawan, atau mau aku dan pacarnya saling tonjok-tonjokan, aku tidak mengerti. Jalan pikiran Cahyani terlalu bercabang bak Aritmetika, sulit dipahami, meski kami sama-sama perempuan.
"Aku Gandhi," katanya dengan nada datar.
"Oh, hai," kataku mencoba bersikap ramah.
"Hai," sahutnya singkat.
Sungguh reaksi yang terlalu hambar. Sepertinya dia lupa makan garam.
"Kamu nggak pesen, hubby?" tanya Cahyani pada Gandhi.
Hubby? Dia manggil pacarnya gitu?
Aku bukannya norak, sampai kaget hanya karena panggilan sayang. Hanya saja, Cahyani selalu mengubah nama panggilan untuk setiap pacarnya. Beberapa kali pacaran, panggilan sayangnya selalu berbeda. Kalau tidak salah, dia dulu memanggil mantan-mantan pacarnya dengan sebutan beib, chayank, honey, sayang, yank, Pi, Bi dan sekarang hubby. Sungguh Cahyani kreatif sekali.
"Pesen nggak, Hubby?" ulang Cahyani.
Gandhi menggelengkan kepalanya setelah cukup lama berpikir.
"Nggak, deh," jawabnya kemudian.
"Yaudah, mau nyicip aja nggak?" Cahyani menawarkan mie baksonya.
Gandhi mengangguk, "Boleh."
Cahyani tersenyum lalu mengambil sesendok mie dan memasukkannya ke mulut Gandhi yang terbuka. Setelahnya pacar Cahyani itu mengunyah sebentar mie bakso lalu menelannya.
"Lagi, dong," pintanya.
Cahyani mengambilkan satu sendok lagi. Gandhi mungkin berniat meminta lagi kalau aku tidak menepis sendok Cahyani sampai jatuh. Pasangan baru itu menatapku bersamaan, kaget.
"Kamu semiskin itu? Beli napa, minta mulu," sergahku rada sebal.
Gandhi menatapku lekat, sepertinya akan marah besar. Di luar dugaan, dia beralih menatap Cahyani.
"Beliin dong," katanya pada Cahyani.
Cahyani mengangguk lalu nyaris berdiri sebelum aku tarik lagi lengannya agar duduk.
"Beli sendiri, dong!"
"Oke," katanya sambil menyodorkan tangannya pada Cahyani.
Cahyani mengambilkan uang dari saku seragamnya dan hendak memberikannya pada Gandhi sebelum aku sambar uang itu.
"Apa sih! Pakai uangmu sendiri belinya!"
"Del,"
"Ho?"
"Ini uangnya Gandhi," kata Cahyani.
Heh?
"Dia itu rada boros kalau nggak dikontrol, jadi uang sakunya aku yang pegang." Cahyani menjelaskan.
Aku menurunkan tanganku, terkulai lemas ke bangku panjang yang sedang diduduki sekarang. Malu banget. Aku menoleh ke arah Gandhi lalu tersenyum kaku, "Sorry."
Gandhi hanya berdecak pelan.
Dingin amat.
Setelahnya cowok tengil itu mengambil uang dari Cahyani lalu pergi membeli mie bakso.
"Jadi, kamu kenapa? Kok kayak orang nahan amarah gitu?" Cahyani mulai menginterogasiku.
"Nggak, kok," elakku.
"Del, aku sudah mengenalmu dari awal SMA, jangan nyoba b**o'in aku! Kalau kamu udah kasar dan nggak jelas gitu, pasti ada masalah kan? Apaan? Cepet cerita!" Cahyani mulai bawel.
Aku hanya menghela napas panjang.
"Aku kesel," kataku mulai curhat.
"Sama?"
"Si bayi dan abangku."
"Kenapa?"
"Jadi cowok nyebelin amat," sahutku.
Cahyani terkekeh pelan.
"Itu mah sikap mereka aja yang begitu, nggak semua cowok kayak gitu, Del!"
"Tapi aku ketemunya cowok yang nyebelin begitu, songong dan sok ganteng lagi!"
Cahyani mengulas senyum.
"Itu, udah jadi nasibmu, Del," katanya. "Makanya, nikahin aja si bayi, lumayan tujuh turunan nggak akan miskin," imbuhnya lalu terkikik.
Aku berdecak pelan.
"Nyebelin amat, Cah," dengusku.
Cahyani nyengir.
"Kan di hidupmu emang cuma ada orang-orang yang nyebelin," guraunya.
"Tauk ah," desisku.
Cahyani merangkul lenganku.
"Adela Saraswati, hidup itu nggak melulu bertahan, kamu juga perlu menikmatinya. Kalau datang cowok kayak si bayi, nikmati aja. Semua berproses, Del."
"Lagipula, kamu belum tahu bagaimana Yuby. Hanya perlu pencahayaan yang tepat untuk ngebuat kamu memandangnya secara berbeda," Cahyani menambahkan. "Coba aja buat kenal sama dia, Del," bujuk Cahyani lagi.
Aku terdiam, sedang mempertimbangkan saran dari Cahyani.
"Hari ini kita pulang bentar kan ya, Cah?"
Cahyani mengangguk.
"Iya, aku dengar nanti ada rapat buat TO minggu depan," jawabnya. "Kenapa?"
"Aku mau ke sekolah Yuby, ikut nggak?"
Cahyani menggeleng.
"Nggak, ah! Mau ke bekas SMP-mu dulu itu?"
Aku mengangguk.
"Kenapa nggak ikut?"
"Adikku sekolah di sana, malas amat ketemu dia," jawabnya.
"Si Monica sekolah di sana?"
"Iya, kelas 9."
Aku bergidik.
"Adikmu aja lebih tua dari Yuby dan kamu nyuruh aku buat nikahin si bayi?"
Cahyani nyengir.
"Kan bagus, kamu jadi lebih muda dari adikku," sahutnya santai.
Aku hanya mendesis.
"Udah, ke sana aja! Semangat!" Cahyani menyemangati.
"Ya, deh."
Tak lama kemudian Gandhi datang, kami pun melanjutkan makan kami yang sempat tertunda.
Yuby, I will stalking you. Be careful!
***
Sesuai dugaan, sekolahku pulang lebih awal. Mengikuti rencana, aku pergi ke sekolah Yuby. Aku ingin tahu kelakuannya di sekolah. Selama ini dia selalu mengaku menyukaiku, di belakang belum tentu. Aku tidak mau terlihat konyol kalau ternyata di sekolahnya, dia sudah punya pacar atau bahkan playboy. Aku nggak mau dipermainkan lelaki, terlebih sama seorang bayi. Ogah!
Aku berdiri nggak jauh di depan gerbang sekolah Yuby, lagi ngadem, mantau sambil minum pop ice. Bentar lagi waktu sekolah Yuby. Entah apa sebabnya, si Yuby itu selalu pulang sekolah jalan kaki sepertinya. Padahal, dia yang bilang hartanya nggak bakal habis meski tujuh turunan. Tapi, kenapa dia jalan kaki?
Aku melangkahkan kakiku dari penjual pop ice, saat melihat beberapa murid keluar. Sepertinya sudah waktunya pulang sekolah. Aku pun mengedap-edap, dengan hati-hati mencoba untuk mencari Yuby di antara tumpukan murid lelaki yang lewat.
Aku mengernyitkan kening, si Yuby nggak ada. Apa mungkin dia nggak masuk sekolah hari ini? Nggak mau waktuku terbuang sia-sia, aku memberanikan diri mendekati satpam sekolah.
"Pak Badri," sapaku pada satpam sekolah bekas SMP-ku.
Aku kenal baik dengan beliau. Selain karena dikenal sebagai murid paling suka telat, aku beberapa kali tertangkap tangan sedang memetik mangga sekolah.
"Oh, Adel," balasnya yang rupanya masih mengingatku.
"Mangganya belum musim, Del!" kata pak Badri setengah bergurau.
Aku hanya nyengir.
"Nggak, Pak! Saya kesini mau jemput adik saya, tapi kok nggak ada ya daritadi saya tungguin," kataku.
"Adik? Emang Adel punya adik?" tanya pak Badri heran.
"Nggak sih, Pak! Adik sepupu," jelasku.
"Oh, siapa namanya? Kelas berapa?" tanya pak Badri.
"Yuby, kelas 8, Pak," jawabku ngasih informasi.
"Oh, coba cari aja ke kelasnya, Del! Kelas 8 ada di jejeran dekat ruang guru!" kata Pak Badri.
"Nggak apa-apa nih masuk, Pak? Saya kan sudah bukan murid sini," kataku merasa nggak enak.
"Nggak apa-apa, kan niatnya nyari adiknya! Masuk aja!" sahut pak Badri ngasih izin.
"Ya udah, Pak! Makasih, Pak!" kataku.
Pak Badri hanya mengangguk sambil senyum. Tanpa babibu lagi, aku segera menuju ke kelas 8. Dulu waktu masaku, di dekat ruang guru itu kelasku, kelas 9. Ternyata sekarang sudah jadi kelas 8.
Tiba di jejeran kelas 8, aku mengamati satu-satu kelas 8 A sampai kelas 8 D, tetapi si Yuby nggak kelihatan. Selain itu kelasnya kosong. Baru di kelas 8E, aku melihat dua orang siswi yang masih mengobrol di depan kelas.
"Permisi," kataku.
Dua orang murid itu menoleh ke arahku.
"Cari siapa, Kak?" tanya salah satu murid cewek berambut panjang.
"Anu, kenal Yuby nggak?" tanyaku.
Murid cewek itu menoleh ke temannya yang berambut pendek.
"Yuby?" gumamnya seperti sedang mengingat-ngingat.
"Ah, si murid pindahan di kelas F paling," katanya.
Murid pindahan?
"Ah, yang tinggi trus imut itu bukan Kak?" tanyanya mencoba memastikan dugaannya.
Aku mengangguk.
"Dia di parkiran kali, Kak! Tadi diajak Holifah. Mau ditembak nggak sih?" katanya pada dirinya sendiri.
"Oh gitu, thanks ya!"
Kedua murid cewek itu mengangguk.
Aku pun langsung ke parkiran, dimana letaknya berada di belakang perpustakaan. Aku segera merapatkan diriku ke dinding begitu melihat si Yuby lagi ngobrol dengan cewek yang katanya bernama Holifah itu. Jarak kami cukup dekat sehingga aku bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Ternyata, cewek tadi benar, Yuby sedang dalam moment penembakan.
Akhirnya, si bayi bakal taken dan go away dari hidupku. Banzai!!
"Yuby, aku suka kamu!" kata si cewek setelah cukup lama bungkam. Aku yakin dia mengumpulkan banyak keberanian untuk mengatakan pengakuan cinta itu.
"Sorry, aku nggak suka kamu," jawab si Yuby dengan dingin.
Dasar bayi nggak berperasaan.
"Dingin amat sih, Yub!" dengus si cewek itu bernama Holifah itu.
"Udah ngomongnya? Aku mau jemput Adel!" kata si Yuby.
Adel? Aku, dong?
"Adel siapa? Anak SMA itu?" tebak Holifah.
Aku menautkan alis.
"Iya, siapa lagi? Udah ya," kata si Yuby.
"Nggak boleh! Akan aku bongkar rahasiamu kalau berani ninggalin aku," ancam Holifah.
"Wah parah, nggak nyangka aku kalau kamu sepicik ini," decak si Yuby.
"Biarin, terserah kamu mau bilang apa!" sahut si Holifah.
"Jangan gitu, dong! Aku nggak suka k*******n!" kata si Yuby.
Si Holifah terdengar tertawa mendengar pernyataan Yuby barusan. Dia terkekeh cukup lama seolah apa yang dikatakan si bayi sangatlah lucu. Padahal, menurutku wajar aja si bayi nggak suka k*******n, dia kan lemah. Lantas, apa yang harus ditertawakan?
"Kamu sama Adel nggak cocok, By! Dia anak SMA, udah mau lulus juga kan?" kata Holifah setelah tawanya reda.
Yuby hanya diam saja, sepertinya enggan menanggapi lebih jauh.
"Lagipula, apa menariknya cewek tomboy kayak dia?" tanya Holifah lagi.
Wait. Dia tahu aku?
"Setidaknya, dia nggak akan menghabiskan uangku untuk beli pakaian, tas atau alat make up, ya kan?" sahut si bayi memberikan serangan balasan. Sudah kuduga dia emang nggak mudah dikalahkan. Nice, Bayi!
"Tapi kalian nggak selevel, By. Dia miskin, kamu kaya! Dia mungkin mendekatimu karena tahu kamu dari keluarga konglomerat," kata si Holifah lagi.
"Ya emangnya kenapa kalau dia miskin dan mendekatiku karena aku dari keluarga konglomerat?"
Hah?
"Kan udah wajar, yang kaya ngebantu yang miskin. Salahnya dimana?" tanya Yuby polos yang entah aku harus merutukinya atau nggak dengan pemikirannya itu.
"By, dia hanya suka uangmu," dengus si Holifah nggak menyerah.
"Nggak, Adel nggak suka uang," sanggah si bayi.
Wrong, aku suka uang By. Suka banget malah.
"Udah, hentikan! Apapun yang kamu katakan, aku tetap cinta Adel!" tegas si bayi.
Aku yang mendengar langkah kaki si bayi buru-buru mengambil langkah seribu. Tapi, belum juga berhasil pergi, tanganku sudah tertangkap.
Aku menoleh dan bengong menatap si bayi yang sudah mencengkram tanganku.
"Lho, Del?!" serunya kaget.
Aku hanya nyengir.
"Aku nggak nguping, kok," kataku. “Beneran!”
Si bayi mengernyit lalu melepas cengkramannya. Dia meraih tanganku dan beralih menggandengnya.
"Kita perlu bicara!" katanya.
Aku hanya mengangguk pasrah.
Kok dia tahu kalau ada yang nguping? Udah gitu, dia bisa ngejar aku lagi. Aneh.