11

1897 Kata
"Bukankah itu nggak adil?" tanya si bayi yang kini sudah duduk di depanku dengan sebuah s**u kotak rasa cokelat di atas mejanya. Saat ini kami sedang berada di sebuah kedai. Dia menangkap basah diriku yang sedang menguping proses penembakannya dan berakhirlah kami di sini. Kami sedang berdebat mengenai topik yang sama. Dimana tadi dia menembakku dan aku kembali menolaknya. Tentu saja dengan alasan yang sama : dia masih bayi. Aku mengembuskan napas pelan. "Nggak adil apanya?" tanyaku, berpura-pura nggak ngerti dengan protes yang sedang dia ajukan. "Menganggapku nggak pantas jadi pacarmu hanya karena aku masih SMP!" jawabnya. "Aku butuh pacar yang dewasa," tegasku. Si bayi mendengus. "Dewasa atau tua?" tanyanya setengah menyindirku. Tarikan di sudut bibirnya saat ini terlihat sangat menyebalkan bagiku. "Keduanya," jawabku. Si bayi menatapku lekat. "Aku bisa menjadi dewasa untukmu, sekaligus tua bersamamu," katanya. First blood. "Tapi aku butuh seorang cowok yang lebih tua dariku, bukan yang akan tua bersamaku," tegasku lagi. "Bagimu cowok yang lebih tua mungkin terlihat dewasa tapi dia hanya punya itu, nggak sebanding dengan aku yang muda, kaya dan mencintaimu sampai tua," sahutnya. Double Kill. "Jangan berasumsi seenaknya, belum tentu pemikiranmu benar," elakku. "Bukankah kamu juga begitu? Mengasumsikan pemikiranmu seolah paling benar?" balasnya. Triple Kill. "Ya pokoknya, aku ogah pacaran sama bayi, By! Aku nggak mau dikatain tante yang demen berondong," kataku bersikukuh dengan prinsipku. Si bayi menghela napas kasar. Sepertinya dia mulai lelah untuk berperang argumen denganku. "Kamu masih muda, Del! Palingan 18-19 ya kan? Aku juga masih 14 tahun, cuma beda 4-5 tahun! Nggak mungkinlah di usia segitu kamu sudah menyamakan dirimu dengan tante-tante, ya kan?" katanya lagi. Aku diam, entah kenapa merasa tersavage olehnya. "Kalau nih misalkan kamu pacaran sama aku trus diketawain sama temen-temenmu, kamu nggak malu?" sahutku. Si bayi menggeleng. "Kamu udah mau pacaran sama aku, Del?" tanyanya. "Hah?" "Itu kamu bilang gitu, udah luluh?" tanya si bayi lagi. "Nggak! Ini misalkan, seandainya! If!" bantahku. "Oh," kata si bayi singkat. "Iya, gimana? Kamu pasti malu kan? Terlebih jika nanti aku masuk kuliah dan kamu masih SMP. Saat aku wisuda, kamu baru mau lulus SMA. Saat aku kerja, kamu masih kuliah. Dan saat kamu masih bergelayut dengan skripsimu, aku bakal merengek minta dinikahin! Kamu pasti bakal puyeng kan? Jadi, kita ini nggak cocok!" kataku panjang-lebar. Si bayi hanya diam, mungkin dia sedang merenungkan apa yang aku katakan barusan. "Kamu lagi nulis novel, Del?" katanya yang membuatku melongo. "Hah?" "Emang bener, latar belakang pendidikan kita bakal tumpang-tindih. Tapi kata siapa aku bakal malu meski aku harus menjemputmu di kampus pakai seragam putih-dongker atau putih-abu-abu?" "Hah?" "Aku nggak akan malu, Del! Bahkan jika kamu sudah ngebet banget mau nikah, aku bisa nikahin kamu pas aku lulus SMA. Tapi mama bakalan minta aku lulus kuliah dulu sih, tapi bisa ngambil D3 sih, Del! Dalam 3 tahun aku bakal lulus, kamu juga pas aku wisuda belum tua-tua amat. Pas aku tuntas kuliah di umur 20 tahun, kamu masih 25 tahun! Umur yang cukup buat nikah kan?" balasnya nggak kalah panjang. Aku merebahkan kepalaku di atas meja. Game over. "Masih nggak mau pacaran sama aku, Del?" tanyanya dengan nada yang entah kenapa terdengar mengejek. "Kamu masih muda, By. Kamu akan ketemu cewek yang lebih muda, lebih cantik dan lebih segalanya dari aku," kataku mencoba menyadarkan dia bahwa kami nggak ditakdirkan untuk bersama. "Jadi maksudmu, aku bukan cowok setia gitu? Yang bakal beralih ke cewek yang lebih muda jika kamu sudah tua?" katanya yang sepertinya rada tersinggung. "Bukan gitu, By," sanggahku. "Cuma menurutku, kamu bakal dapat cewek yang lebih baik dari aku," jelasku. Si bayi mengambil s**u kotaknya lalu meminumnya. Aku dengan sabar menunggu reaksinya. Bagaimanapun dia masih muda, jadi soal perasaan, dia nggak akan bertahan lama. Jika bosan, dia pasti akan mencari cewek yang sepadan. Si bayi diam. Sejak aku mengatakan itu, dia nggak ngasih tanggapan. Sampai pesanan makanan dan minuman kami datang, dia tetap bungkam. Bahkan sampai kelar makan dan minum, dia juga tetap bungkam. "Aku bayar dulu," katanya saat aku mau berdiri buat bayar. Aku duduk lagi, lumayan menghemat uang. Lagipula si bayi kan tajir, dia nggak akan miskin hanya karena bayarin aku makan dua kali. Selesai membayar, si bayi langsung keluar. Aku yang masih duduk di kursi terpaksa mengejarnya. "By, kok aku ditinggal sih?" protesku. Si bayi nggak ngejawab. "Marah ya?" tanyaku. Si bayi hanya menggeleng pelan. "Kamu mau langsung pulang?" tanyanya. Aku mengangguk. "Naik apa? Angkot?" "Jalan kaki," jawabku. "Ya udah, aku temani!" "Kenapa nggak minta jemput mobil?" tanyaku heran. Si bayi menoleh ke arahku lalu menggeleng. "Kamu bukan Cinderella, nggak usah manja, deh," katanya. "Hah? Maksudku kamu, kenapa kok nggak dijemput pakai mobil, bukan minta dianterin pakai mobil," jelasku. "Oh, malas aja," sahutnya. Dasar orang kaya sok miskin. Kalau aku, udah aku pakai itu mobil kemana-mana. "Pamer itu nggak baik, bikin penjahat kumpul," katanya sok bijak. Aku hanya mendengus. Entah kenapa rasanya, dia itu suka sekali menyindirku. "Serius nganterin aku? Nggak kebalik?" sindirku. "Cowok meski usianya lebih muda, tetep harus diposisikan sebagai cowok, pemimpin! Apa kata dunia kalau kamu nganterin aku pulang?" deliknya yang ternyata menjunjung tinggi harga dirinya sebagai lelaki. "Tapi kan boleh-boleh aja kalau aku nganterin kamu, By," kataku. "Ya, kapan-kapan. Sekarang aku yang nganterin kamu," sahutnya bersikukuh. "Iya," jawabku singkat. Enggan berdebat lagi. "Oh ya, cewek tadi, siapa?" tanyaku yang mulai kepo sama cewek yang tadi nembak si bayi. "Holifah," jawabnya. "Temanmu?" tanyaku lagi. "Ya," jawabnya. "Sekelas?" "Nggak," "Kok ditolak? Padahal cantik," "Aku cintanya sama kamu, lagian dia nggak cantik! Bagiku, kamu yang paling cantik, Del," jawab si bayi yang entah kenapa membuatku rada seneng. "Kok dia tahu kalau kamu suka sama anak SMA, bahkan dia tahu namaku," tanyaku penasaran. "Aku yang bilang, biar dia nggak salah ngenalin siapa cewek yang aku suka. Kenapa? Kamu mau protes karena aku seenaknya bilang ke semua cewek yang nembak aku kalau aku cintanya sama kamu?" ocehnya. Aku menggeleng pelan. Dia bilang ke semua cewek yang nembak dia? Wah.. Bibirku tertarik ke atas, melengkung. Seulas senyum menggantung indah. "Kenapa kok senyum-senyum?" tanya si bayi. "Ih, siapa juga yang senyum, nggak tuh!" sangkalku. Si bayi mencebikkan bibirnya. "Udah ketangkap basah, masih aja nyangkal. Cewek emang gitu ya? Suka nyangkal meski udah ketahuan?" dengusnya. Aku hanya nyengir, entah kenapa melihatnya merajuk membuatku senang. "Udah, jangan kebanyakan senyum nanti disangka nggak waras!" cibirnya. Aku nggak peduli, tetep nyengir. *** Aku dan si bayi tertegun, saat kami tiba di jalanan yang sepi dan sekelompok anak cowok berjejer di depan kami. Aku mengernyit, mengenali salah satu dari anak cowok itu. Si bayi maju sehingga kini seolah aku berada di belakangnya. Dia memang sok kuat. "Dia orangnya?" tanya seorang cowok bertubuh tinggi dengan wajah garang. Seorang cowok yang berdiri di dekatnya mengangguk. "Iya, cewek itu yang menyerang kami, Boss!" katanya melapor. "Oh, Kentang!" pekikku saat berhasil mengingat. "Hah? Kentang? Kamu bicara sama siapa hah?" si kentang sepertinya emosi. Si bayi yang berdiri di depanku semakin menegakkan tubuhnya membuatku yang lebih pendek darinya kini nggak kelihatan kalau dari posisi si kentang. Cowok yang dipanggil boss itu tampak tak bereaksi, entah apa yang salah darinya. Yang aku tahu karena mengintip, dia hanya mengernyitkan kening. Entah apa yang tengah dipikirkannya. "Kamu yakin dia?" tanya si boss yang akhirnya angkat bicara. "Iya, Boss," sahut si kentang. Iseng, aku menghitung jumlah anak buah si boss dan kentang. Ada sekitar 10 orang jika aku nggak melewatkan siapapun. Aku pasti kalah jika harus melawan mereka. Terlebih si bayi nggak bisa berantem. Haruskah aku lari? "Del," bisik si bayi. "Ya?" "Kamu nggak akan bisa ngelawan musuh sebanyak itu," katanya. "Lebih baik kamu lari saja." "Aku tahu, ayo lari bareng-bareng!" ajakku. "Akan aku hitung sampai tiga, trus kamu lari! Cari bantuan, aku bakal jadi umpan," kata si bayi. "Hah? Nggak mau, kamu harus lari sama aku," tolakku pada usul si bayi. "Jangan keras kepala, Del! Aku nggak bisa lari cepet," katanya. "Hah? Bohong amat, tadi kamu nangkep aku bisa tuh!" "Iya kalau nggak takut, sekarang aku takut!" katanya. "Bohong!" desisku. "Beneran tauk!" sahut si bayi. "Buktinya kamu nggak gemeteran atau keringat dingin sekarang, bohong!" kataku ngotot. Tiba-tiba tubuh si bayi menggigil di bagian kaki dan tangannya. "Nih, gemeteran kan?" katanya. "Hah? Sengaja nih!" "Nggak," elaknya. "Pokoknya, kamu lari sekencang mungkin, Del! Cari bantuan trus kesini lagi, oke?" si bayi bersikukuh menjalankan rencananya. Aku pun terpaksa menyetujui usulnya. "Oke," "Hitungan ketiga, langsung lari dan jangan menoleh ke belakang! Oke?" Aku mengangguk. "Satu, tiga, lari!!" Aku langsung berlari sekuat tenaga begitu mendengar aba-aba untuk lari dari si bayi. Aku sempat mendengar si kentang mencoba memberi perintah pada anak buahnya untuk mengejarku. Namun, aku nggak peduli. Aku hanya lari, trus berlari. Cukup jauh, aku berhenti. Sambil mencoba mengatur napasku yang terengah-engah, aku merogoh kantong seragamku. Aku ambil ponselku dan menghubungi polisi. Nggak ada orang karena jalan kecil dan siang hari, jadi terpaksa demi keselamatan Yuby aku melapor pada polisi. Tentu saja polisinya nggak cepet datang, aku masih dianggap anak-anak yang belum tentu bener dalam memberikan laporan. Alhasil, merasa putus asa, aku segera kembali ke sekolah Yuby, mengemis bantuan pada pak Badri dan juga beberapa tukang kebun sekolah. Bersama mereka, aku segera menuju ke tempat dimana si bayi berada. Aku tercenung melihat si bayi melambaikan tangan padaku begitu aku datang. "Lho? Ya ampun sampe manggil pak satpam dan tukang kebun," katanya ngerasa nggak enak. "Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya pak Badri. "Nggak apa-apa, Pak. Maaf merepotkan,” kata si bayi merasa nggak enak. "Syukurlah," ucap pak Badri. Setelahnya si bayi menyalami satu-satu pak Badri dan para bapak tukang kebun. Dia meminta maaf dengan sopan karena sudah merepotkan. Berbasa-basi sebentar, akhirnya pada bubar. Si bayi pun mengantarkan aku pulang lagi. Walau sangat bersyukur si bayi nggak apa-apa, aku merasa ada yang jangkal. Bagaimana bisa dia baik-baik aja? "Kamu nggak apa-apa, By?" tanyaku sekali lagi. Si bayi mengangguk. "See? I'm fine, don't worry about me," jawabnya sok bahasa Inggris, untung aku paham. "Kamu gimana?" tanyanya balik. "Nggak apa-apa, aku kan cuma lari aja," jawabku. Si bayi menghentikan langkahnya, aku pun juga terpaksa berhenti. Dia mengamatiku dari ujung kaki ke ujung kepala. Dia juga memeriksa lengan dan kakiku. "Aku nggak apa-apa, By," tegasku. Si bayi tersenyum, lega. "Aku tahu, hanya memastikan," katanya lalu lanjut jalan lagi. "Kok bisa sih?" tanyaku yang pada akhirnya nggak tahan buat nanya. "Apanya?" tanya si bayi nggak ngerti. "Kok bisa kamu nggak apa-apa? Mereka kan niat amat ngeroyoknya?" tanyaku memperjelas pertanyaanku. "Oh, aku berlutut memohon ampun tadi! Dilepasin deh!" jawabnya santai. "Begitu aja?" tanyaku nggak percaya. Si bayi mengangguk. "Ya, begitu aja," jawabnya. Aku mendesah pelan, rasanya ini terlalu aneh. "Nyampe," katanya kemudian. "Heh?" "Bengong mulu sih, udah nyampe di g**g dekat rumahmu kita Del," katanya ngasih informasi. Aku menoleh kiri-kanan, bener yang si bayi bilang rupanya kami sudah sampai di g**g dekat rumahku. "Ya udah, aku pulang ya Del," pamit si bayi. Aku mengangguk sambil mengamatinya sekali lagi. "Aku nggak apa-apa, Del," katanya meyakinkan aku. "Daripada kamu khawatir dan nyari tahu tubuhku luka atau nggak, mending kamu jadi pacarku aja biar hatiku nggak luka," katanya sambil tersenyum jail. "Ish, nyebelin amat sih! Pulang sana!" usirku. Si bayi terkikik. "Oke, aku pulang ya! Dah!" pamitnya sambil melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk. "Ya, hati-hati!" pesanku. Si bayi tersenyum miring. "Udah mulai khawatir ya?" godanya. "Hah? Aku cuma nggak mau kamu diserang lagi!" kataku. "Ya iya, sampai besok!" pamitnya lalu benar-benar berjalan pergi. Aku mengamati si bayi sebentar lalu berjalan pulang ke rumahku. Berlutut dia bilang? Tapi kenapa seragamnya, terutama bagian lutut bersih? Dia berlutut gimana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN