"p****t kamu kenapa berdarah?" tanya Rendra penasaran. Karena yang ia tau, kaki Mawar yang tak sengaja menginjak pecahan kaca, lalu kenapa p****t gadis itu juga jadi ikutan berdarah?
Mawar terdiam. Ia merasakan basah pada bagian dalam intimnya.
"Kamu dateng bulan?" tanya Rendra sekali lagi.
Mawar jadi makin tak karuan. Antara malu dan kesal menjadi satu. Malu karena darahnya terlihat oleh Rendra, dan kesal karena tebakan laki-laki itu tepat sasaran!
"Bukan, kok! Kamu nggak usah sok tau!" Mawar kesal.
"Terus apaan? p****t kamu juga nggak sengaja ngedudukin pecahan kaca?" Rendra masih keukeuh.
"Ah, udah ah! Sekarang enter aku ke puskesmas!"
Kini Rendra tengah menunggu Mawar yang sedang diobati oleh dokter. Setelah berdebat mengenai darah yang ada di p****t Mawar, akhirnya Rendra membawa Mawar ke puskesmas.
Untungnya puskesmas masih buka, sehingga tidak membuat Mawar menunggu dengan rasa sakit yang teramat. Cukup lama Rendra menunggu, akhirnya Mawar keluar dengan kaki bagian bawahnya di perban.
Rendra menghampiri Mawar, dan bertanya pada dokter.
"Bagaimana lukanya, Dok?" tanya Rendra.
"Kami sudah menjahitnya dan mengeluarkan beberapa kaca yang menancap di telapak kaki Mawar," jelas dokter tampan itu.
Rendra mengangguk, dan mengucapkan terimakasih pada dokter yang sudah mengobati calon istrinya. Lalu dokter itu pun berpamitan untuk undur diri. Rendra menatap Mawar, sisa-sisa air mata masih tertinggal di wajah cantiknya. Dress putihnya berubah menjadi dekil, belum lagi di bagian belakangnya ada noda darah.
"Sini!" titah Rendra.
Mawar terkejut saat melihat Rendra tiba-tiba berjongkok. Dia celingukan, melihat keadaan sekitar.
"Kamu ngapain?" tanya Mawar heran.
"Sini naek!" ketus Rendra sambil melihat ke arah belakang.
Mawar masih terdiam, dia belum naik ke punggung lebar milik Rendra. Karena Mawar yang tak kunjung naik, membuat Rendra geram. Laki-laki itu bangkit dari jongkoknya dan berjalan menghampiri Mawar yang masih berdiri.
"Kamu mau aku gendong dari depan? Biar kayak di drama-drama gitu? Ala-ala bridal style? Hem?" Rendra bertanya sambil berkacak pinggang.
Mawar menggeleng.
"Terus, mau digendong di belakang?"
"Nggak," kata Mawar menggeleng.
"Terus, Lo pulang mau kayak gimana?"
"Nggak tau."
Rendra tersenyum kecut, dia terkekeh sendiri. Merutuki dirinya sendiri, yang sial memiliki calon istri yang aneh seperti Mawar.
Rendra mendekat ke arah Mawar, lalu bersiap-siap untuk menggendong Mawar dari depan, ala bridal style. Belum sempat juga Rendra menggendong, gadis itu sudah menjerit duluan.
"Berisik!" kelakar Rendra sambil menutup mulut Mawar.
"Jangan macem-macem! Jangan nyari kesempatan dalam kesempitan!" tegas Mawar sambil menunjuk ke arah wajah Rendra.
"Cih, siapa juga yang mau nyari kesempatan! Badan kayak alas setrikaan juga! Gue nggak nafsu!" cibir Rendra sambil menatap tubuh Mawar dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Mawar yang merasa dirinya sedang disensor, langsung menutup bagian dadanya, dengan menggunakan kedua tangannya.
"Cepetan! Gue mau balik nih! Lo mau pulang sendiri apa gimana?" Sekali lagi Rendra bertanya dengan nada yang sangat tidak sabaran.
Memang benar sih, dia sudah ingin cepat-cepat pulang ke rumah, lalu istirahat di kamar.
"Jongkok!" pinta Mawar pada laki-laki yang ada di depannya.
Rendra pun menurut, laki-laki itu berjongkok. Sedangkan Mawar, dengan ragu mulai menempelkan tubuhnya pada punggung Rendra dan mengalungkan tangannya pada leher pria itu.
"Udah," lirih Mawar ketika dirinya sudah sepenuhnya menempel pada punggung Rendra.
Rendra, pria itu pun bangun dan memegangi betis Mawar, agar tubuh gadis itu tidak melorot. Tapi pikirannya tiba-tiba kacau saat punggungnya merasakan bukin milik Mawar.
Pikiran liarnya mulai berlarian di dalam kepalanya. Ia merasakan, jika bukit milik Mawar akan sangat pas ketika berada dalam genggaman tangannya. Ia berhenti sejenak, hingga membuat Mawar heran, tapi gadis itu tak bertanya. Tak lama kemudian Rendra pun kembali berjalan dan berhenti lagi.
"Sialan!" umpatnya hingga membuat Mawar terkejut.
"Kenapa?" tanya Mawar heran.
"Lo berat!" dalih Rendra.
"Ya udah, turunin aku!" pinta Mawar.
Tapi Rendra malah menggeleng dan tetap berjalan. Dia enggan jika harus menurunkan Mawar dengan kondisi kaki yang masih terluka. Meski dirinya tidak menyukai Mawar, tapi setidaknya laki-laki itu masih memiliki simpati pada Mawar sebagai sesama manusia.
"Pegangan!" kata Rendra dengan suara yang dingin.
Mawar hanya menurut, gadis itu mengencangkan pegangannya pada leher Rendra. Senyuman merekah di wajah tampan Rendra. Tanpa Mawar sadari, baru saja Rendra mengambil kesempatan dalam kesempitan pada saat menggendong dirinya.
Terdengar suara telepon berdering di antara mereka. Mawar melihat ke arah Rendra, sedangkan pria itu hanya terdiam dan melanjutkan langkahnya. Tapi lagi-lagi ponsel miliknya kembali berdering, mau tak mau Rendra harus menyuruh Mawar untuk mengambil ponselnya yang ia simpan di dalam saku jasnya.
"Ambil!"
Tanpa berkomentar apa-apa lagi, Mawar mengambil ponsel milik Rendra. Dan melihat nama yang tertera pada layar benda pipih itu.
"Si jomblo yang nelpon," kata Mawar.
"Angkat!"
"Tapi ini panggilan video."
"Udah! Angkat aja!"
Mawar pun menekan tombol berwarna hijau, lalu mengarahkan ponsel itu pada wajah Rendra.
"Halo, Bro!" sapa Max dengan senyuman secercah siang itu.
Rendra hanya diam, dia tak menanggapi sapaan Max. Pria itu masih tetap melanjutkan langkahnya menuju rumah Mawar. Sedangkan Max, laki-laki itu malah memperhatikan Mawar yang sedang digendong oleh sahabatnya, Rendra.
"Itu, siapa, Ren?" tanya Max dengan penasaran.
"Siapa aja! Nggak usah kepo!" bentak Rendra, dengan tatapan mata yang mulai menajam.
Sedangkan Mawar, gadis itu malah menyembunyikan wajahnya di belakang kepala Rendra. Agar dirinya tak terlihat oleh Max.
"Itu calon Lo, Ren?" Lagi-lagi Max bertanya.
Rendra mendengus kesal. "Iya, puas? Hah?"
Max hanya terkekeh melihat reaksi sahabatnya. Sebelum sahabatnya kembali bertanya, laki-laki itu menyuruh Mawar untuk mengakhiri panggilan video itu.
Akhirnya mereka berdua sampai di rumah Mawar. Semuanya terkejut melihat Mawar yang digendong oleh Rendra, apalagi dengan keadaan kaki yang di perban dan noda darah di bagian p****t Mawar.
"Ya ampun, kamu kenapa, Nak?" tanya Desri dengan cemas.
"Nggak apa-apa, Ma. Mawar nggak sengaja nginjek pecahan kaca," jelas Mawar sambil tersenyum, agar mamanya tidak khawatir.
"Nak Mawar, kenapa?" Mirna pun jadi ikutan khawatir melihat calon menantunya pulang dalam keadaan yang cukup kacau.
"Mawar nggak sengaja nginjek pecahan kaca, Tan," kata Mawar sambil tersenyum semanis mungkin.
"Ko bisa? Kamu kan pas keluar pake sendal." Desri bertanya lagi.
Mawar tersenyum, lalu gadis itu melihat ke arah Rendra yang sedari tadi hanya diam tak bersuara seperti orang bisu.
"Mawar copot, Ma. Mawar nggak bisa pake sendal model gituan."
Desri merasa bersalah. Tak seharusnya dia memaksa Mawar untuk memakai high heels.
"Maaf, nggak seharusnya mama maksa kamu buat pake high heels, Nak." Desri tertunduk. Padahal dia tau, jika anak gadisnya itu paling anti memakai hal-hal yang seperti itu.
Bagi Mawar, sendal gunung adalah salah satu sendal favoritnya. Selain nyaman dipakai, sendal gunung juga mudah digunakan. Begitulah Mawar, gadis cantik yang selalu tampil dengan sederhana. Tidak neko-neko seperti anak gadis pada umumnya.
Itu juga daya tarik Mawar. Hingga banyak yang menyukai gadis itu. Tapi sayangnya sifat bar-bar nya pada laki-laki, membuat sebagian laki-laki takut duluan untuk mendekat.
Rendra yang mendengar penjelasan Desri, langsung melihat ke arah Mawar. Tak seharusnya dia berburuk sangka pada Mawar. Ia pun merasa bersalah, tapi sayangnya mulut seksi pria itu tetap terkatup. Hingga akhirnya kata 'maaf' pun tak keluar dari mulutnya.
"Terus, p****t kamu kenapa? Ko berdarah?" Mirna bertanya sambil menggenggam tangan Mawar.
"O - oh, itu ...." Mawar gelagapan. Tak mungkin kan ia mengatakan jika dirinya datang bulan? Mau ditaruh dimana wajahnya nanti?
"Kamu dateng bulan?" Desri bertanya dengan santai mengenai persoalan wanita. Dia lupa, jika di ruangan itu masih ada Herman dan Rendra.
"B - bukan, ko!" dalihnya dengan gugup.
"Ma, pulang, yuk!" ajak Rendra pada mamanya.
Lalu semuanya melihat ke arah Rendra. Sedangkan yang ditatap hanya memasang wajah datar.
"Ko buru-buru pulang sih, Nak Ren?" tanya Desri.
"Iya, Tan. Mau siap-siap ke Jakarta. Kerjaan nggak bisa ditinggal lama-lama."
Setelah itu, Rendra dan keluarga pun pamit untuk pulang ke rumah mereka. Sedangkan Mawar, gadis itu masih duduk sambil merasakan sakit dari bagian telapak kakinya.
"Nak, menurut kamu, Nak Rendra gimana?"