Bab - 8

1389 Kata
Selama dalam perjalanan pulang, mata Desri hanya menatap pepohonan, lampu dan bangunan yang dilewati oleh mobil yang membawa dirinya melalui kaca jendela. Mirna, wanita itu tau jika sahabatnya itu sedang kesal. Apalagi Bima sampai mengajak Desri untuk kembali mengarungi kehidupan rumah tangga mereka. Sampai mati pun Desri tak akan pernah sudi! "Mir," panggil Desri pada sahabatnya. Mirna menoleh, kebetulan dia duduk di kursi depan. Menemani sang suami, Herman. "Kamu jangan kasih tau Mawar ya tentang hal tadi," pinta Desri. Dan hanya diangguki oleh Mirna. Mobil yang membawa mereka bertiga kini sampai di depan rumah milik Desri. Wanita itu turun, menatap ke arah sahabatnya yang masih duduk di dalam mobil, tidak turun. "Makasih ya, udah mau nganter aku," kata Desri sambil tersenyum, dan menyelipkan anak rambutnya yang diterbangkan oleh angin ke belakang telinganya. Wanita paruh baya itu tersenyum. Pada dasarnya Desri sudah cantik, malam ini ia memakai make-up hasil karya anaknya, hingga membuatnya semakin bersinar. "Iya, sama-sama, Des." Mirna tersenyum. "Tentang perjodohan anak kita, bagaimana, Mir?" Desri bertanya, memastikan. "Tentu saja, harus! Inget, jangan kasih anak kamu ke orang lain, ya?" ancam Mirna. "Ya ampun, aku juga nggak akan ngasih Mawar ke sembarang orang, Mir." Desri terkekeh. "Ya udah, kita pulang dulu, ya? Kita langsung adain pertunangan aja. Lagian mereka udah saling kenal juga." Desri terdiam, ta mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Mirna. "Maksudnya?" "Aku yakin, sekarang mereka lagi telponan! Kyaaaaa!" Mirna teriak sambil memegang kedua pipinya. Desri dan Herman hanya saling pandang. Tak mengerti kenapa tiba-tiba saja Mirna berteriak seperti orang yang baru saja kena copet. "Kenapa, sih, Ma? Jangan malu-maluin deh!" tegur Herman pada istrinya. "Tadi, sebelum kita berangkat, si bujang tua itu minta nomer telepon Mawar!" Desri terkejut, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Mirna. "Serius?" Desri tak percaya. "Iyalah! Masa aku boong, sih?" Terlihat kebahagiaan di raut wajah ketiga orang itu. Mereka berpikir, jika hubungan di antara mereka sudah ada kemajuan. Tapi, ternyata tidak sama sekali. ********* Hari ini keluarga Mirna akan berkunjung ke rumah Mawar, untuk acara pertunangan. Rendra dengan malas memakai pakaian yang sudah disiapkan oleh mamanya. "Ren, semangat dong ah! Masa lesu gitu, sih?" tanya Mirna sambil merapihkan kerah baju anaknya. "Iya, Ma. Ini juga kan semangat," dalihnya sambil tersenyum. Rendra dan Mawar, kedua orang itu sudah tidak bisa lagi menolak. Mereka sudah pasrah, mau menolak pun percuma. Karena kedua orang tua mereka memiliki seribu naskah drama. Dan ... mereka terlalu malas menghadapi drama-drama itu. "Udah siap?" tanya Mirna pada dua laki-laki yang sangat ia sayangi. Dua laki-laki itu pun mengangguk. Lalu mereka masuk ke dalam mobil, dan melajukan mobil yang mereka tumpangi menuju jalan raya. Selama dalam perjalanan, Rendra hanya menatap pepohonan yang ia lewati. Pikirannya melayang-layang, teringat pada Michelle, gadis yang memiliki posisi tertinggi di dalam hati Rendra. Setidaknya untuk saat ini, entah kedepannya bagaimana. Mobil berhenti di depan rumah milik Mawar. Rumah yang dihiasi oleh berbagai macam tanaman. Ketiga orang itu keluar dari mobil, berjalan menuju teras rumah Desri, dan mengetuk pintu. "Permisi, Des ...." Mirna memanggil sahabatnya. Dan tak lama kemudian terdengar sahutan dari dalam sana. Desri membuka pintu, menyambut tamu istimewanya untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Orang-orang itu sudah berbincang-bincang, tapi keberadaan Mawar masih belum terlihat. "Des, Mawar mana?" tanya Mirna heran, karena tak melihat calon mantunya. "Ada, di kamar, Mir," ungkap Desri sambil tersenyum lalu melihat ke arah kamar yang dipakai oleh Mawar. "Panggil dong, calon suaminya udah dateng gitu." Desri pun bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamar anaknya lalu mengetuk pintu itu beberapa kali, hingga akhirnya terdengar sahutan dari dalam. "Iya, Ma." Mawar pun keluar dengan mengenakan dress berwarna putih, dengan rambut tergerai hingga punggung. Wanita itu berjalan dengan sangat hati-hati karena memakai high heels. Berjalan perlahan, dengan wajah yang tertunduk, dengan tujuan agar tidak ada orang lain yang menyadari raut wajahnya yang penuh dengan keterpaksaan. "Aduh, mama juga tau kalo Rendra itu ganteng, tapi jangan nunduk terus dong, Mawar," goda Mirna sambil terus menatap Mawar yang terlihat sangat cantik. Sedangkan Rendra, laki-laki itu hanya menatap Mawar sekilas, lalu dia segera mengalihkan pandangannya. Melihat Mawar yang berpakaian seperti itu, membuatnya sakit mata. "Ren, beruntung kamu punya calon secantik Mawar." Herman berbisik di telinga putranya. "Ayah kenapa, sih?" Rendra menatap heran pada ayahnya. Mawar pun duduk di samping mamanya. Dia tak pernah mengangkat wajahnya sama sekali. Hanya sesekali curi-curi pandang pada laki-laki yang ada dihadapannya. Setelah berbasa-basi, Rendra dan Mawar pun bertukar cincin. Saat Rendra menyematkan cincin di jari manis Mawar, dia membayangkan jika wanita yang sedang ia genggam adalah Michelle, wanita yang selalu ia tunggu kepulangannya. Berapa bahagianya jika bayangannya berubah menjadi kenyataan. Sedangkan Mawar, gadis cantik itu tak pernah membayangkan jika dia akan menyematkan cincin pertunangan di jari laki-laki. Padahal, dia sudah mempunyai rencana, tidak akan menikah dan akan menua bersama mamanya. Tapi, kita sebagai manusia hanya memiliki rencana, selebihnya Tuhan yang memiliki kendalinya. Terdengar tepuk tangan memenuhi ruang tamu, saat mereka sudah melakukan tukar cincin. Raut kebahagiaan terlihat jelas di wajah orang tua Rendra dan Mawar. "Nak, ajak Rendra ke Curug Putri sana. Rendra pasti belum pernah ke sana." Mama Desri menyuruh anaknya untuk menjadi tour guide untuk calon suami putrinya. "Tapi, Ma -" Belum sempat Mawar protes, Mirna sudah memotong. "Nah, bagus juga idenya, Desn ya udah, Ren sana jalan-jalan. Sekalian buat pendekatan." Mama Mirna mengusir anaknya. Akhirnya dua manusia itu berjalan beriringan menuju Curug Putri, yang berada di bawah kaki gunung Ciremai. Kebetulan jarak antara rumah Mawar dan Curug Putri dekat, hingga bisa ditempuh dengan jalan kaki. Rendra berjalan duluan, meninggalkan Mawar yang terlihat kesusahan dengan langkahnya. Sedangkan Mawar, gadis itu terlihat sangat kesusahan saat akan melangkah. Mawar yang tak biasa menggunakan high heels, hingga membuatnya beberapa kali sempat oleng dan hampir terjatuh. "Lama banget deh!" Rendra berteriak. Dia berhenti berjalan, karena memang dia tak tau jalan. "Sabar, dong! Ga liat apa aku kesusahan gini jalannya!" keluh Mawar sambil berjalan dengan hati-hati. Rendra tersenyum sinis. "Lagian udah tau nggak bisa pake high heels, tapi malah sok-sok an! Nggak usah nyari perhatian gue pake cara gini ya! Nggak guna!" Mawar berhenti berjalan, dia menatap tajam ke arah Rendra. Dia, benar-benar kesal dengan apa yang dikatakan oleh Rendra. Padahal, dia memakai high heels karena disuruh oleh mamanya. "Heh, lagian siapa juga yang mau nyari perhatian kamu? Kayak nggak ada laki-laki lain aja! Ga guna banget astaga aku nyari perhatian kamu. Ga guna dan buang-buang waktu!" sungut Mawar. Gadis itu pun melepaskan high heels nya, lalu menjinjing nya dan berjalan duluan. Meninggalkan Rendra yang masih terpaku melihat ke arahnya. Karena emosi, Mawar tak melihat jalan yang ia lalui. Hingga akhirnya kakinya menginjak pecahan kaca, dan melukai kakinya. "Ah!" pekik Mawar lalu dia terduduk dan melihat kondisi kakinya. Mawar melihat telapak kakinya terluka cukup parah. Bahkan ada beberapa pecahan kaca yang tertinggal di dalam telapak kakinya. Rendra yang melihat Mawar yang tiba-tiba terduduk hanya diam. Lalu detik berikutnya dia berlari saat melihat telapak kaki Mawar berdarah. "Lo kenapa?" tanya Rendra dengan panik. Apa lagi saat melihat darah keluar dari telapak kaki Mawar. "Nggak sengaja nginjek pecahan kaca," ungkap Mawar sambil meringis. "Lagian Lo nggak hati-hati!" kata Rendra sambil melihat kondisi telapak kaki Mawar. Mawar kesal. Padahal, dia mencopot high heels nya gara-gara ucapan Rendra yang mampu membuatnya hingga naik pitam. "Aku gini kan gara-gara kamu!" pekik Mawar dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Antara kesal dan sakit menjadi satu, hingga membuatnya ingin sekali menangis. "Lho, ko gue?" Rendra heran. "Kalo kamu nggak ngomong gitu, aku nggak akan lepas sendal." "Itu sih salah sendiri. Jadi orang ko baperan banget!" Rasa sakit dari telapak kakinya memaksa matanya untuk mengeluarkan cairan bening. Padahal, dia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak boleh menangis. Tapi mata gadis itu mengkhianati pemiliknya. "Huwaaa." Tangis Mawar pecah, dia menangis dengan kencang. Mulutnya terbuka, matanya terpejam tapi air matanya masih tetap keluar. Rendra gelagapan. Dia sudah membuat anak orang menangis. Dia pun berinisiatif untuk pergi ke dokter terdekat, agar luka di telapak kaki Mawar bisa cepat diobati. "Bangun!" Rendra membantu Mawar untuk berdiri. Meski sedikit kesusahan, Mawar pun berdiri. Rendra memeriksa setiap inci tubuh Mawar, takut ada yang luka lagi. Lalu matanya melihat dress bagian belakang Mawar berwarna merah. "Heh, p****t kamu kena serpihan kaca juga?" selidik Rendra. "Nggak, ko. Kenapa emangnya?" "Itu, p****t kamu berdarah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN