Bab - 13

1147 Kata
Undangan telah disebar pada orang-orang. Mereka hanya membuat sedikit undangan karena hanya orang-orang terdekat saja yang mereka undang. Malam itu Mirna mengundang Mawar dan Desri untuk makan malam di rumahnya. Hanya sebatas makan malam, tidak lebih. Rendra, laki-laki itu sudah rapih dengan mengenakan kemeja berwarna hitam, yang digulung hingga sikut, yang dipadukan dengan jeans. Rambutnya ia tata dengan rapih, tidak akan berubah meski terkena angin topan. "Ren, buruan ke rumah Lita!" Mirna nyelonong masuk ke dalam kamar anaknya. "Ya ampun, sabar dong, Ma." "Udah ganteng ko, Ren! Lita bakalan terpesona sama kamu, ko." Rendra berhenti saat ia akan melingkarkan jam di pergelangan tangannya. Padahal, ia di suruh oleh mamanya untuk terlihat rapih dan sempurna. Awalnya dia hanya akan memakai celana pendek dan kaos putih saja. Tapi sayang seribu sayang, Rendra malah kena ceramah dari mamanya dengan durasi hampir satu jam. "Ya udah, aku berangkat dulu ya," pamit Rendra pada mamanya. Yang dibalas oleh Mirna hanya dengan sebuah anggukan, lalu wanita itu melambai. Rendra masuk ke dalam mobil, mobil sudah hidup. Tapi masih belum jalan juga, masih diam di tempat. Rendra menyandarkan punggungnya pada kursi mobil. Laki-laki itu itu menghela napas. "Hah ... kalo kamu ada di sini, mungkin aku nggak akan menikah sama perempuan yang sama sekali tidak aku cintai." Pada akhirnya Rendra melajukan mobilnya, membelah jalanan yang dipadati oleh para muda-mudi yang sedang menghabiskan waktu malam minggu mereka di taman kota. Gemerlap lampu menemani Rendra dalam perjalanannya menuju rumah Mawar. Gelak tawa terdengar dari mereka yang sedang dimabuk asmara. Hanya Rendra seorang, yang tetap merasa kesepian di tengah keramaian. Mobil yang ia kendarai kini sudah berhenti di depan rumah yang bernuansa hijau. Bagian depannya dihiasi oleh bunga yang ditanam oleh Mawar. Kaki Rendra melangkah menuju teras rumah Mawar, yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Tangannya terayun, mengetuk pintu rumah Mawar. Tiga kali ia mengetuk, hingga akhirnya terdengar sahutan seseorang dari dalam. "Wah, Nak Rendra udah dateng?" tanya Desri sambil tersenyum, lalu membukakan pintu agar calon mantunya itu masuk. "He-he-he, iya Tante." "Ayo, mari masuk. Nunggunya di dalem aja, ya? Mawar masih siap-siap." Desri mengajak Rendra untuk masuk. Rendra pun menurut, ikut masuk dengan Desri lalu duduk di sofa ruang tamu. Sedangkan Desri, wanita itu pamit untuk ke dapur membuatkan minuman untuk Rendra. Mata Rendra menjelajahi setiap sudut ruangan. Ia melihat ada beberapa foto yang ditempel di dinding, lalu ada juga foto yang dihiasi oleh pigura yang di simpan di atas meja yang ada di sudut ruangan. Tangan Rendra terulur untuk mengambil foto yang ada di atas meja, yang ada di sudut ruangan. Senyuman mengembang di wajahnya, saat melihat siapa yang ada di foto itu. Ternyata itu adalah Mawar sewaktu kecil, menangis saat dirinya dihampiri oleh seekor anjing. "Nggak sopan kamu!" Tiba-tiba seseorang merebut paksa foto yang sedang digenggam oleh Rendra. "Lo ...." Suara Rendra tertahan di tenggorokan, tak keluar. Matanya menatap wanita yang sedang berdiri di hadapannya. Wanita cantik dengan dress berwarna navy membungkus tubuh wanita itu. Rambutnya ia gerai, make-up nya pun terlihat sangat sederhana bahkan terkesan natural. Tapi mampu membuat Mawar terlihat sangat berbeda. "Lo ... siapa?" Rendra menunjuk ke arah Mawar. "Ini aku." "Siapa?" Rendra bertanya, untuk memastikan. Bagaimana bisa wanita bar-bar itu terlihat sangat feminim malam ini? "Mawar!" Rendra sedikit terkejut saat mendengar jawaban yang diberikan oleh Mawar. Astaga, jantung pria itu berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Tak bisa ia pungkiri, jika wanita bar-bar itu - Mawar, terlihat sedikit cantik malam ini? "Biasa aja kali natap nya!" sindir Mawar. "Ekhem ...." Rendra berdeham. Rendra terlihat curi-curi pandang ke arah Mawar. Masih tak percaya, jika calon istrinya itu ternyata bisa terlihat sangat feminim. "Lo, kenapa pake dress yang ngetat gitu? Hem? Kayak lontong tau! Terus, muka Lo juga, kenapa cemong gitu? Merah-merah gitu, kayak orang demam aja! Sendal juga, kenapa Lo pake high heels? Emang Lo bisa pake gituan? Kan kemaren juga Lo sampe lepas itu high heels karena nggak bisa." Rendra mengomentari setiap apa yang Mawar kenakan. Sedangkan Mawar, gadis itu hanya mendengar setiap komentar yang dilontarkan untuk dirinya. "Lo denger nggak, sih?" tanya Rendra setelah selesai mengeluarkan uneg-unegnya. "Denger, ko. Aku denger," kata Mawar sambil mengangguk. "Terus, kenapa Lo diem aja? Hah?" "Udah selesai ngasih komentarnya?" Mawar bertanya dengan setenang mungkin. Menekan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun, agar tidak meledak. "Iya udah!" Rendra menjawab dengan ketus. "Tolong dengar, Bapak Rendra Mahesa Wijaya dengan seksama! Apapun yang saya kenakan, itu tidak ada hubungannya dengan, Anda! Entah itu saya akan mengenakan kolor, sendal ceplek, mau rambut aku di kepang, itu hak aku! Dan juga, aku enggak akan merepotin kamu ko! Gitu aja ko repot? Padahal aku yang pake juga!" Rendra tersenyum, benar juga apa yang dikatakan oleh Mawar. Untuk apa dirinya susah-susah berkomentar dengan apa yang dikenakan oleh Mawar? Toh dia tidak direpotkan oleh wanita itu juga, kan? Eits ... tiba-tiba Rendra mengingat bagaimana dirinya harus bersusah payah menggendong Mawar, saat mereka hendak ke puskesmas. "Kayaknya Lo lupa, ya?" sindir Rendra dengan senyuman yang mengembangkan di wajahnya. "Apaan?" balas Mawar. "Lo mending jangan pernah pake high heels, deh! Karena gue nggak mau harus ngegendong Lo lagi, gara-gara Lo nggak becus pake high heels!" Mawar terdiam. Tak menjawab apa yang baru saja dikatakan oleh Rendra. Karena baginya lebih baik diam, dari pada harus buang-buang tenaga dengan berdebat orang yang tak penting. "Lho, kenaps kalian malah ribut?" Desri kembali dengan membawa segelas kopi dan beberapa cemilan yang kemarin ia buat. "He-he-he, nggak, Tan. Biasa, ada sedikit beda pendapat." Rendra beralasan. "Oh, gitu? Ya wajar kalo terkadang kita beda pendapat. Jangankan sama orang lain, kadang sama adik atau kakak sendiri juga suka beda pendapat. Padahal mereka keluar dari lubang yang sama," jelas Desri sambil tersenyum. Sedangkan Rendra dan Mawar hanya tersenyum canggung. _________ Makan malam itu terlaksana dengan sangat khidmat. Mereka menikmati setiap makanan yang masuk ke dalam mulut mereka. Kini mereka tengah berkumpul di ruang tamu, sambil ditemani oleh secangkir teh hangat. Desri, Mirna dan Herman sibuk mengobrol. Sampai-sampai mereka lupa pada keberadaan Mawar dan Rendra. "Iya, untuk masalah gedung, dll udah aku urus semuanya. Kamu nggak usah khawatir," kata Mirna pada sahabatnya. Desri dan Herman hanya mengangguk. Sedangkan Mawar dan Rendra hanya diam, mendengar setiap pembicaraan di antara orang tua mereka. Mirna melihat ke arah Rendra dan Mawar. Dia tau, jika dua manusia itu masih perlu waktu untuk saling mengenal satu sama lain. "Ren, ajak Mawar ke depan gih. Malem ini cerah, pasti bakalan banyak bintang. Kalian duduk di ayunan di depan," suruh Mirna. "He-he-he, nggak usah, Ma. Mawar di sini aja," tolak gadis itu sambil tersenyum. "Ren ...." Mirna kembali memanggil anaknya. "Iya, Ma ... iya," kata Rendra sambil bangkit dari duduknya. Laki-laki itu berjalan ke arah Mawar. Lalu tangan kekarnya meraih tangan calon istrinya, dan menariknya hingga mau tak mau Mawar berjalan di belakang Rendra, dengan posisi tangannya masih berada dalam genggaman pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN