Lampu kamar milik sepasang pasutri, sudah meredup. Mereka sudah terbaring sambil berpelukan di bawah tebalnya bad cover.
"Pa, gimana rencana mama tadi. Bagus nggak?" tanya Mirna samby bersandar pada d**a Herman, suaminya.
"Em, tapi Rendra udah jelas bakalan nolak, Ma," ucap Herman sambil mengelus pucuk kepala istrinya.
"Tenang, kalo masalah itu bisa diatur, Pa!" Mirna meyakinkan.
Papa Herman hanya mengangguk, dengan harapan semoga anaknya mau menerima perjodohan kali ini.
"Tapi, gimana caranya kita buat mempertemukan mereka?" Lagi-lagi Herman mempertanyakan rencana istrinya.
"Em ... gimana, ya?"
"Lha, nggak tau."
"Kalo si bujang tua itu di suruh nyamper ke sini, gimana?" Mirna bertanya.
Herman terlihat sedang berpikir. "Kayaknya nggak akan mau deh dia. Pasti alesannya kerja, kerja, dan kerja."
Begitulah Rendra. Dia selalu menyibukkan dirinya sendiri dengan bekerja, dengan alasan agar dirinya tidak selalu teringat pada Michelle.
"Kalo masalah itu, kita bisa minta bantuan Max, Pa," ujar Mirna memberikan saran.
Sang suami hanya mengangguk. Setelah perundingan itu, pasangan suami istri itu langsung terlelap, mengingat seharian ini mereka belum istirahat sama sekali sejak tiba dari Jakarta.
*******
Desri baru saja keluar dari kamar, setelah memikirkan rencana yang dibuat oleh sahabatnya, Mirna. Lalu matanya melihat Mawar, yang sedang asik menonton TV.
"Eh Mama, sini, Ma!" ajak Mawar pada mamanya, lalu dia menepuk-nepuk sofa kosong di sebelahnya.
Mama Desri lalu berjalan menuju sofa, dan duduk di samping anaknya. Tapi sayangnya mata wanita paruh baya itu bukan mengarah ke TV. Matanya malah menatap putrinya yang ada di sebelahnya.
" Kenapa, Ma?" tanya Mawar heran.
"Nak, kapan mau menikah?"
"Ih, Mama kenapa, sih? Ko tiba-tiba ...."
"Kamu harus nikah, ya? Nanti, kalo kamu nggak nikah, kamu mau hidup sama siapa di masa tua nanti? Kamu nggak punya sanak saudara, nggak punya adik ataupun kakak yang bisa menemani kamu nanti. Mama takut, kalo nanti di masa tua nanti kamu hidup sendiri, lalu kesepian" lirih Mama Desri.
Mawar terdiam. Apa yang diucapkan oleh mamanya memang benar. Dia tidak memiliki sanak saudara yang akan menemaninya di hari tuanya nanti.
"Tapi Mawar kan punya Mama. Mama yang selalu di samping Mawar, Mama yang selalu ada buat Mawar," kata gadis itu sambil menatap netra coklat milik ibunya. Mata yang selalu memandangnya dengan tatapan hangat, mata yang selalu basah saat melihat dirinya terluka.
"Nak, ingat ... manusia itu tidak ada yang abadi, tidak selamanya mereka hidup di dunia yang fana ini. Suatu saat nanti, mama juga akan berpulang ke tempat yang semestinya jika kontrak hidup mama sudah habis. Maka dari itu, mama pengen liat kamu menikah, mengandung anak, lalu membesarkannya."
Mawar terdiam. Lagi-lagi apa yang dikatakan oleh mamanya benar. Akan hidup bersama siapa dirinya kelak, jika mamanya sudah tidak ada disampingnya lagi? Membayangkan dirinya hidup seorang diri, tanpa ada yang menemani, terlebih tanpa ada Mama Desri di sampingnya, hingga membuat mata gadis itu terasa perih. Pandangan matanya berkabut, seperti ada yang menghalangi. Lalu sedetik kemudian, cairan yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah juga!
"Tapi, Mawar takut jika akan bertemu laki-laki seperti ayah, Ma," ucap Mawar sambil terisak.
Mama Desri tersenyum, lalu dia menarik putrinya dan membawanya ke dalam dekapannya. Di usap-usap punggung anaknya itu, sambil sesekali mencium pucuk kepalanya.
"Kan, kata mama juga apa? Nggak semua laki-laki itu sama seperti ayah kamu, Nak. Masih banyak laki-laki baik di luar sana. Mama hanya bisa mendoakan, semoga kamu bisa bertemu dengan laki-laki yang baik, laki-laki yang setia, menerima kamu apa adanya." Sederet harapan dan do'a Desri ucapkan untuk anak semata wayangnya.
Mawar masih menangis dalam pelukan mamanya. Setelah merasa cukup tenang, dia menarik dirinya lalu mengusap air matanya.
"Udah, jangan nangis, ya? Kita bobo sekarang, ya?" tanya Mama Desri sambil mengusap sisa air mata anaknya.
"Iya, Ma," kata Mawar sambil mengangguk.
Kemudian ibu dan anak itu pergi ke kamarnya masing-masing, dan memejamkan mata untuk mengarungi alam mimpi.
*********
Rendra terbangun saat telepon miliknya berdering. Pria itu masih terlelap saat waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Itulah yang Rendra lakukan ketika akhir pekan.
"Halo?" sapa Rendra dengan suara khas orang bangun tidur, dan mata elang milik pria itu masih terpejam.
"Halo, Ren? Masih tidur?" tanya Herman memastikan.
Rendra menjauhkan ponsel yang menempel di telinganya, lalu melihat nama kontak yang tertera di layar itu. Untuk memastikan siapa yang menelepon dirinya.
"Iya, kenapa, Pa?"
"Bisa ke Kuningan?" pinta Herman.
"Ngapain? Besok Rendra harus kerja, Pa," tolak pria itu dengan cepat.
"Mama kamu, dia ...." Herman menggantung ucapannya.
"Mama kenapa?" tanya Rendra penasaran.
"Mama jatuh di kamar mandi, Ren!"
Rendra tak terkejut sama sekali. Bahkan pria tampan itu tidak berkomentar apa-apa saat mendengar bahwa mamanya baru saja jatuh di kamar mandi.
"Ren?" panggil Herman. Takut jika anaknya malah kembali tidur.
"Iya, kenapa, Pa?"
"Mama baru aja jatuh di kamar mandi, Ren," kata mengatakan perihal itu lagi.
"Iya, tau. Tadi kan Papa bilang."
"Kamu ke sini, dong! Kasian mama nih," bujuk Herman, dengan harapan jika anaknya itu mau menurut kemauannya.
"Besok Senin Rendra mau kerja, Pa ...."
Mirna yang mendengar hal itu, menjadi naik darah. Bagaimana bisa jika anaknya itu bersikap dingin padanya? Meski sebenarnya dia baik-baik saja, tapi respon yang diberikan oleh anaknya itu sedikit keterlaluan.
"Dasar anak durhaka!" teriak Mirna.
"Mama!" sergah Herman.
"Tuh, mama udah teriak kayak gitu, berarti mama baik-baik aja. Yaudah, Rendra tutup ya. Mau bobo lagi."
Sudah, setelah itu sambungan telepon sudah selesai. Mirna kesal setengah mati, lalu ibu satu anak itu mengambil ponsel miliknya yang sedang dipegang oleh suaminya, dan mengetik sebuah pesan yang tertuju untuk Rendra.
Mama Mirna : "Kalo kamu nggak mau ke sini, mama coret kamu dari KK! Tau, kan? Mama nggak pernah bercanda?"
Rendra yang baru saja akan merebahkan kembali tubuhnya, menjadi urung karena ponselnya bergetar lagi. Dia melihat, jika mamanya mengirimkan pesan.
"Cih!" Dia berdecak kesal.
Tring ....
"Kalo sampe malem kamu nggak dateng, siap-siap, ya!"
Rendra langsung loncat dari ranjangnya, dan berlari menuju kamar mandi. Dia takut dengan ancaman yang diberikan oleh mamanya. Setidaknya, dia masih punya rasa takut pada orang tuanya.
*********
"Ma, Mawar mau ke supermarket dulu, ya?" Mawar meminta ijin pada mamanya.
"Mau ngapai?"
"Mau beli sesuatu, he-he-he."
"Iya, boleh, Nak."
Setelah mendapatkan ijin, Mawar langsung bergegas menuju Terbit, supermarket yang terletak tak jauh dari taman kota.
Setelah memarkirkan motornya di tempat parkir, Mawar mengambil keranjang untuk menyimpan belanjanya. Dia pergi ke Terbit untuk membeli make-up untuk mamanya besok.
Dia pergi ke bagian kosmetik, dan memilih beberapa kosmetik yang akan ia pakaikan pada mamanya. Setelah selesai, dia berencana ingin langsung pergi menuju kasir. Tapi sayangnya ponsel miliknya berdering, hingga membuatnya mengurungkan niatnya.
"Halo, kenapa, Ma?" Ternyata namanya yang menelpon dirinya.
"Masih di supermarket?" tanya Mama Desri.
"Iya, masih, Ma. Kenapa?"
"Beli buah-buahan sekalian, ya? Mama dapet kabar, katanya Mama Mirna jatoh di kamar mandi."
"Iya, Ma. Nanti Mawar beli buah-buahan."
Setelah selesai menelpon, Mawar langsung pergi ke bagian buah-buahan, dan memilih beberapa buah-buahan. Saat ia sedang memilih buah, terdengar suara jeritan beberapa wanita.
"Kyaaa! Astaga!"
Mawar juga jadi ikutan kaget karena jeritan itu. Dia berjalan menuju sumber suara, ingin memastikan takutnya ada yang dicopet, atau gimana.
Setelah tiba di tempat kejadian, gadis cantik itu hanya melihat segerombolan wanita yang sedang mengerumuni sesuatu. Seperti semut yang sedang dikerumuni oleh semut.
"Kyaaaa! Ganteng banget!" teriak seorang gadis, sambil terus mengarahkan ponselnya pada objek yang ada di depannya.
Mawar melihat, seorang pria tampan dengan tinggi 180cm, dengan proporsi tubuh yang sangat sempurna. Kulit putih, mata setajam mata elang, rambut yang disisir dengan rapih, dan juga rahangnya terlihat sangat kuat.
Mawar langsung membalikkan tubuh, saat tau jika para wanita itu sedang mengerubungi seorang laki-laki.
"Minggir!" bentak pria itu pada wanita yang menghalangi dirinya.
Mawar langsung menghentikan langkahnya, dan membalikkan tubuhnya. Dia berhenti karena baru saja dia mendengar bentakan seseorang.
"Aku bilang minggir! Aku tau, kalo aku itu ganteng. Tapi nggak gini juga!"
"Kyaaaaa!!" Lagi-lagi para wanita malah teriak. Terkejut karena ketampanan pria itu bertambah saat sedang marah.
"Minggir!" pria itu kembali membentak. Tapi sayangnya bentakannya itu tidak mempan. Dan malah membuat para wanita itu semakin menjadi.
"Dasar orang-orang kampung! Nggak pernah liat cowok ganteng kayak gini, ya?" cibir pria itu.
Mawar yang mendengar cibiran itu menjadi geram sendiri. Dia berjalan menuju kerumunan itu, hingga para wanita yang sedang mengerubungi laki-laki itu melihat heran ke arahnya.
"Kalian mending bubar, deh! Ga guna ngerubungin laki-laki sombong kayak gini! Ganteng sih iya, tapi kalo sombong dan sikapnya kayak gini, buat apa?"
Para wanita itu mengangguk, membernarkan apa dikatakan oleh Mawar. Lalu satu per satu wanita itu mulai meninggalkan Mawar dan laki-laki itu. Setelah semuanya pergi, Mawar pun ikutan pergi. Tapi sebelum pergi dia sempat ngedumel sebentar, sampai terdengar oleh laki-laki itu.
"Cih, ganteng sih iya, tapi sikap sombongnya nggak ketulungan! Narsis juga! Amit-amit deh punya suami modelan kayak gitu!"
Mata laki-laki menyipit saat mendengar dumelan Mawar.
"Apa? Lagian siapa yang mau jadi bini Lo? Hah?"
Mawar mengehentikan langkah kakinya, lalu membalikkan tubuhnya dan menatap tajam ke arah laki-laki itu.
"Nggak, lagian siapa juga yang mau jadi bini situ? Nggak ada! Lagian punya sikap kok kayak setan gitu!"
Setelah mengatakan hal itu, Mawar langsung pergi meninggalkan laki-laki itu yang sedang menatapnya dengan tajam, dan tangan yang mengepal karena menahan emosi.
"Cih, gadis sialan! Amit-amit punya istri modelan kayak gitu! Bar-bar, ga ada akhlak. Jauh banget dari Michelle yang lemah lembut!" Rendra menggerutu sambil melihat punggung Mawar yang semakin menjauh.