2

1124 Kata
“Kebetulan banget aku lagi haus. Minum dulu ah.” Puri yang saat itu kehausan, tanpa curiga meminum minuman itu dan tak lama kemudian, dia pun tertidur pulas akibat pengaruh oba tidur tersebut. Dari balik pintu, ternyata ada Sinta dan Reno sedang mengintip. Mereka sudah mengatur semuanya dengan rapi, termasuk memberikan obat tidur agar rencana mereka berjalan dengan lancar. “Puri sudah beres. Sekarang tinggal rencana selanjutnya,” tutur Reno penuh kelicikan. Tidak ada rasa kasihan pada anaknya sendiri yang akan dia jadikan korban, yang ada hanya ambisi untuk jadi kaya. ‘Maafin Mama, Sayang. Mama terpaksa melakukan ini demi masa depan kita. Mama harap kamu nggak marah sama Mama,’ batin Sinta menangis dan tidak rela dengan apa yang sedang dia lakukan dengan Reno. Reno pun mengajak Sinta pergi dari kamar itu, menuju tempat selanjutnya. Namun, sebelum Reno dan Sinta sampai di tempat tujuan, Sinta mengajak Reno untuk bicara. “Mas. Apa benar yang kita lakukan ini? Kenapa kita harus korbankan Puri demi keinginan kita?” Sinta mulai berubah pikiran. “Apa maksud kamu? Kita udah bicarain ini dari kemarin dan kamu udah setuju dengan semuanya. Kenapa sekarang kamu malah kayak gini? Kamu mau rencana kita berantakan?” Reno marah dan tidak terima. “Aku emang mau dapatin harta haikal, tapi apa harus dengan menumbalkan Puri?” “Siapa yang ditumbalkan, Sinta? Nggak ada yang ditumbalkan. Lagi pula di zaman sekarang, tidur sama laki-laki itu udah biasa. Banyak cewek yang hamil duluan dan gugurin kandungannya. Mereka biasa-biasa aja, tuh. Kamu juga tahu kan tentang hal itu?” tekan Reno. Sinta terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia pun terpaksa melanjutkan rencana mereka yang akan mengeruk semua harta Ical. *** Reno menggunakan masker dan mendekati Ical yang tengah sibuk menyapa para tamu undangan. Dia tersenyum menyapa dan berbicara sekedarnya saja. Saat itulah Reno memanfaatkan kesempatan itu untuk memberikan minuman yang sudah dicampur dengan obat perangsang. “Minumannya, Pak?” tawar Reno dan Ical pun langsung mengambil dan meminumnya. Saat itulah Ical merasakan hal aneh. Dengan pura-pura baik, Reno mengantarkan Ical pada kamar putrinya, bukan kamar Ical sendiri. Setelah rencananya berjalan lancar, Reno dan Sinta menunggu dengan santai di lobi hotel, seolah tidak terjadi apapun. “Puas banget rencana kita berjalan dengan lancar. Pasti mereka berdua sedang enak-enakan.” Reno tertawa membayangkan apa yang tengah terjadi antara Puri dan Ical. Tidak ada rasa bersalah, dia justru sangat bahagia. Entah ke mana naluri seorang ayah di hati Reno, dia seperti tidak punya. “Mas. Bagaimana nanti kalau Puri kenapa-kenapa? Aku takut,” sela Sinta sedih. “Puri itu nggak papa, Sinta. Kamu jangan perlakukan dia kayak anak kecil. Dia itu udah gede. Sebentar lagi juga dia akan menikah dan pasti akan melakukan itu. Udah, deh. Nggak usah bawel. Yang penting sebentar lagi rencana kita akan berhasil.” Sinta tetap saja dimarahi Reno, tapi Sinta tidak bisa berontak. Reno tidak peduli dengan Puri, baginya hanya uang. ‘Dengan Puri dan Haikal melakukan itu, aku bisa peras Haikal. dengan begitu, aku bisa dapatkan banyak uang. Bila perlu, sampai semua hartanya habis!” pikir Reno dalam hati. Dia sudah bosan hidup miskin. Selama ini dia malas untuk bekerja. Dia hanya bisa menipu orang bersama Sinta dan Sinta pun tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan Reno tersebut. *** Matahari sudah muncul, sekelebar sinarnya menyelinap masuk lewat celah gorden yang tertiup angin. Silaunya cahaya matahari membuat Puri terbangun. “Hmmm. Enak banget aku tidur,” gumam Puri sambil meregangkan kedua tangannya ke samping. “Eh, tunggu. Aku kan tadi lagi nungguin Mama. Aku pasti ketiduran, nih. Aduh, gimana ini? Mama pasti marah, deh, sama aku,” seru Puri seorang diri. Dia sangat heboh memikirkan kesalahannya yang sudah lalai pada ibunya, tanpa dia tahu kalau ada hal yang jauh lebih gawat dari kesalahannya pada Sinta tersebut. Dia pun segera duduk dan saat itu dia merasa ada sesuatu yang aneh. “Kok, badanku sakit semua, ya? Apa karena aku nggak biasa tidur di kasur yang empuk?” pikir Puri tanpa curiga. Dia pun fokus duduk dan di sanalah dia juga menemukan hal janggal lainnya. “Kamarnya, kok, berantakan banget, ya? Bukannya semalam kamar ini rapi? Eh, tunggu. Itu kayak baju yang aku pake semalam.” Saat itu juga dia menoleh pada tubuhnya. Betapa terkejutnya dia saat menyadari kalau dia tidak memakai baju dan hanya tertutup selimut. Seperti ada batu besar menghantam dirinya dan tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Air matanya luruh begitu saja, dia sangat syok. Puri membeku dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa terdiam dengan air mata yang terus berjatuhan. “Kenapa aku nggak pake baju? Jangan-jangan ... enggak. Nggak mungkin. Nggak mungkin itu terjadi.” Puri meyakinkan dirinya kalau tidak terjadi sesuatu padanya. Meskipun itu bertolak belakang dengan hatinya, dia tidak mau menerima sesuatu yang memang telah terjadi padanya. “Semalam aku lagi nungguin Mama dan nggak mungkin ada laki-laki yang masuk ke sini. Kan kuncinya yang pegang aku. Mama nggak mungkin biarin aku jadi korban laki-laki nggak bertanggung jawab kan?” racau Puri terus menepis dugaan buruknya. Puri menggeleng dengan terus membohongi dirinya sendiri, kalau semuanya baik-baik saja. Sementara itu, Ical pun sudah mulai sadar. Dia membuka mata dan kepalanya sangat pusing. “Ah, kepalaku. Kenapa pusing banget?” ringisnya sambil memegangi pelipis. Dia pun memijat lembut pelipisnya agar tak pusing lagi. Setelah enakan, dia duduk dan mulai mengedarkan pandangan ke sekitar. Ical sangat terkejut melihat kamarnya berantakan dan samar terdengar suara tangisan. “Kenapa kamarku berantakan? Tunggu ... apa yang sudah terjadi semalam?” Ical mencoba mengingat semua kejadian semalam dan dia pun mulai ingat dan segera melihat tubuhnya yang saat ini hanya terbalut selembar kain. “Ya Tuhan, jadi semalam itu benar-benar terjadi? Astaga! Apa yang sudah aku lakukan?” sesal Ical. Kepalanya terasa semakin berat mengetahui kalau dia sudah berbuat kriminal. Dia pun segera mengambil celana pendek yang tergeletak di lantai dan memakainya dengan cepat. Puri yang berada di samping Ical, mendengar suara Ical. Dia pun mendekati Ical dengan emosi yang meluap-luap. “Kurang ajar kamu! Berani-beraninya kamu lakuin ini ke aku. Aku nggak terima. Kamu harus dihukum dengan hukuman yang setimpal,” teriak Puri penuh kemarahan. Ical ketakutan melihat Puri yang begitu marah dengan air mata yang masih membasahi pipi. “Tenang dulu. Aku bisa jelasin semuanya. Semua ini nggak seperti yang kamu pikirin,” tepis Ical sambil berdiri dan mengangkat tangan di depan d**a. “Nggak seperti yang aku pikir? Kamu pikir aku bodoh apa!? Kamu udah hancurin masa depan aku dan kamu bilang semua ini nggak seperti yang aku pikir? Gila kamu!” Puri tidak mau mendengar jawaban Ical. Dia terus mendekati Ical untuk melampiaskan kekesalannya. Namun, Ical menghindar agar tidak terluka. Kuku Puri cukup panjang dan Ical tahu kalau kuku itu menancap di kulitnya, pasti akan terasa sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN