Puri benar-benar marah dan mengamuk. Dengan melilitkan selimut pada tubuhnya, dia melempari Ical dengan bantal dan semua yang bisa dia raih.
“b******k kamu! Kurang ajar. Kamu pikir aku w************n yang bisa kamu pakai sesuka hati kamu?” Teriakan Puri terdengar begitu memekakan telinga.
Sambil menghindari barang-barang yang dilemparkan oleh Puri, Ical berusaha menjelaskan semuanya.
“Tenang, Mbak-tenang. Kita bisa selesaikan semua ini dengan baik. Kita bicarakan ini baik-baik, ok?” Ical mencoba negosiasi.
“Tenang? Om pikir aku ini w************n yang bisa seenaknya Om ajak bicara baik-baik? Aku ini wanita baik-baik.” Puri sangat geram karena mengira Ical mau kabur dan tidak mau tanggung jawab.
“Bukan gitu maksud saya. Makanya kita duduk dulu dan kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin,” balas Ical. Kali ini dia semakin menguasai diri dan bersikap tenang agar Puri tidak semakin terbawa emosi.
Puri terdiam dan mencoba tenang. Ical melihat Puri sudah tenang, dia pun mulai menjelaskan apa yang terjadi semalam.
“Semalam kamu udah ada di kamar saya dan kamu lagi tidur. Tapi saya nggak tahu kenapa kamu bisa tidur begitu pulas sampai nggak bangun sama sekali dan itu sangat aneh. Sepertinya ada yang jebak kita,” pikir Ical.
Pikiran Ical pun kembali ke malam itu. Di mana dia tiba-tiba saja merasakan sesuatu yang janggal. Dia pun ingat, setelah dia meminum minuman dari pelayan, dia merasa kepalanya pusing dan badannya terasa panas.
“Pasti ada yang kasih saya obat perangsang. Makanya saya bisa ngelakuin itu sama kamu,” tambah Ical lagi.
Ical sudah menceritakan semuanya, tapi Puri tidak percaya. “Bohong! Kamu pikir aku percaya dengan cerita karangan kamu?”
“Saya nggak bohong. Saya udah berusaha menahan diri, tapi saya kalah. Maafkan saya,” jelas Ical dengan penuh penyesalan.
Sesak sekali mendengar pengakuan Ical, sangat berat d**a Puri menerima penjelasan yang begitu menyakitkan. Dia semakin hancur, sedih, marah dan kecewa. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu.
“Jahat kamu! Kenapa harus aku? Kenapa kamu nggak pilih wanita lain buat puasin hasrat kamu itu, hah?” hentak Puri kecewa dan tidak terima dengan perlakuan Ical padanya.
“Saya minta maaf. Saya juga nggak mau lakuin ini sama siapapun, tapi semua ini di luar kehendak saya. Saya benar-benar sudah berusaha menahannya, tapi saya nggak bisa. Saya minta maaf,” hembusnya lirih penuh penyesalan.
“Bohong! Kamu pasti bohong. Kamu pasti udah rencanain semua ini kan? Kamu harus dihukum agar nggak ada lagi wanita di luar sana yang jadi korban kamu! Kamu harus di penjara,” putus Puri. Dia tidak percaya kalau semua ucapan Ical benar.
Ical begitu kaget mendengar Puri yang akan membawanya ke penjara. Dia tidak mau di penjara. “Tolong jangan bawa saya ke penjara. Saya mohon. Kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik,” pinta Ical.
“Enggak! Kamu harus di penjara. Om-om kayak kamu emang seharusnya berada di penjara biar nggak ada lagi remaja yang jadi korban kamu,” tekad Puri kuat.
Puri ingin menangkap Ical agar membawanya ke polisi. “Jangan kabur kamu!”
Cukup dia yang menjadi korban Ical dan dia tidak mau ada Puri lain yang menjadi korban Ical.
“Tunggu-tunggu. Saya mohon jangan bawa saya ke polisi. Kita bisa bicarakan semuanya dengan baik,” sambung Ical lagi.
“Enggak! Kamu harus dibawa ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kamu.”
Keadaan di kamar itu sangat menegangkan dan Ical msaih saja berusaha bernegosiasi dengan Puri.
***
Di saat Ical dan Puri tengah menikmati malam pertama mereka, para tamu undangan dan juga Surya mencari keberadaan Ical yang tiba-tiba menghilang.
“Haikal ke mana? Kenapa dia tidak ada di sini?” tanya Surya pada salah satu karyawannya.
“Tidak tahu, Pak. Tadi, sih, saya lihat dia lagi ngobrol sama tamu, tapi sekarang tidak tahu ada di mana,” jawabnya sambil terus mencari keberadaan Ical.
Tak hanya Surya, hampir semua tamu pun mencari keberadaan Ical. Suasana pesta yang meriah, kini mendadak resah. Pemilik pesta hilang tak tahu ke mana.
“Coba kita telpon saja, Pak. Siapa tahu dia lagi keluar sebentar,” saran seseorang dan Surya pun langsung menurutinya.
Surya segera menelpon Ical, tapi tidak diangkat. Berulang kali dia melepon, hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban.
“Tidak dijawab. Coba kita lihat di kamarnya. Ada yang tahu Haikal ada di kamar berapa?”
“Saya tahu, Pak. Mari saya antar.”
Surya pun diantar oleh salah satu pegawainya menuju kamar Ical.
Ada hal penting yang belum dia sampaikan, sehingga dia butuh Ical untuk menghadiri acara penyampaian itu. Jika tidak ada Ical, tentu dia tidak bisa mengatakan hal itu.
Begitu sampai di kamar Ical, pegawai laki-laki itu mengetuk pintu kamar Ical berulang kali. “Pak Haikal. Pak Haikal. Ada Pak Surya mencari Anda, Pak,” ucap pegawai itu.
Menunggu cukup lama, ternyata tidak ada respon apapun. Sepertinya kamar itu memang kosong dan tidak ada Ical di dalam sana. Ical memang tidak ada di kamarnya, melainkan ada di kamar Puri.
“Harry pasti tahu di mana Haikal. Saya akan telpon Harry,” pikir Surya lagi.
Surya pun memutuskan untuk menelpon Harry, tapi telpon Harry pun tidak bisa dihubungi. Selalu berada di luar jangkauan.
Surya menggelang kesal. “Anak ini. Ke mana lagi dia? Tidak biasanya dia bikin masalah, kenapa di hari yang penting ini dia malah membuat masalah,” geram Surya.
“Gimana, Pak? Apa Pak Haikal bisa dihubungi?” tanya pegawai itu lagi.
“Tidak bisa. Harry dan Haikal tidak ada yang bisa dihubungi.” Surya kecewa sekali, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Kita tunda saja pengumuman keduanya. Pesta hari ini kita akhiri dan saya mau pulang. Tolong antar saya pulang.”
Surya pun memutuskan menunda pengumuman kedua yang tidak kalah penting dengan pemindahan harta warisan atas nama Ical.
***
Reno dan Sinta yang menunggu di lobi, melihat tamu undangan dari pesta Ical mulai membubarkan diri. Banyak terdengar bisik-bisik kecewa karena pesta berjalan tidak seperti rencana.
“Padahal Pak Surya masih mau menyampaikan berita kedua, tapi kenapa ditunda, ya?”
“Denger-denger, Pak Haikal ilang. Makanya pesta dibubarin mendadak. Ada juga yang ngomong kalau Pak Surya masih mikir-mikir lagi buat ngumumin pengumuman kedua. Nggak tahu mana yang bener.”
Mereka mulai bergosip, entah dari mana sumbernya.
Reno hanya tersenyum miring mendengar mereka. Dia tahu pasti kenapa pesta mendadak dibubarkan.
‘Iyalah dibubarin. Orang tuan hajatnya lagi belah duren di kamar,’ gumam Reno dalam hati.
Dia tertawa puas sambil duduk santai di kursi lobi. Sementara itu, Sinta tengah tertidur karena hari memang sudah larut. Mereka akan menginap di sana untuk melaksanakan inti dari rencananya di esok hari.
Pagi pun sudah tiba. Reno dan Sinta bergegas datang ke kamar Puri.