Candu

850 Kata
Pagi masih buta ketika cahaya lampu remang-remang dari jendela kamar itu membanjiri ruangan. Arcene berbaring di ranjang dengan selimut yang hanya menutupi sebagian tubuhnya. Ia setengah terjaga, tetapi napas lembut Light di lehernya sudah cukup untuk membangkitkan kesadarannya sepenuhnya. Light, yang berada di sisinya, menatap Arcene dengan pandangan penuh gairah yang tak disembunyikan sama sekali. Bibirnya melengkung dalam senyuman tipis yang mencerminkan keinginan mendalam. Tangannya terulur, menyentuh rambut panjang Arcene yang berserakan di atas bantal, sebelum menelusuri lekukan wajahnya dengan jemari yang lembut namun penuh intensi. “Kau membuatku ketagihan,” gumamnya, suaranya serak dan berat, nyaris seperti bisikan. Arcene membuka matanya perlahan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Meski dia tahu apa yang akan terjadi, ada perasaan tak bisa dia definisikan di dadanya—rasa keterpesonaan, kesadaran, dan sedikit ketidaknyamanan. Ia tahu Light hanya mendekatinya karena daya tarik fisik. Malam tadi sudah menjadi bukti yang cukup jelas. “Light,” bisik Arcene, suaranya terdengar tenang namun ada rasa aneh di dalam dadanya karena Light menginginkannya sebesar itu. “Semalam belum cukup?” Pipi Arcene kembali memerah. Light tidak menjawab. Sebaliknya, dia mendekatkan wajahnya, bibirnya nyaris menyentuh telinga Arcene saat dia berbicara. “Tidak cukup. Sama sekali tidak cukup. Aku butuh lebih dari itu, Celine.” Sebelum Arcene sempat merespons, Light menunduk, menyentuh bibirnya ke bibir Arcene dengan lembut. Ciuman itu awalnya perlahan, seolah dia sedang memastikan bahwa Arcene tidak menolak. Namun, begitu Arcene membalasnya, ciuman itu berubah menjadi lebih mendalam, penuh gairah yang membakar. Light menarik tubuh Arcene lebih dekat, tangan-tangannya menjelajahi tubuh sintal Arcene dengan penuh keinginan. Nafas mereka saling berkejaran, ruangan terasa dipenuhi panas yang berasal dari aktivitas intim mereka. Arcene tahu betul bahwa ini hanyalah lanjutan dari tadi malam. Ia tahu pria di depannya tidak sedang jatuh cinta—hanya tergila-gila pada apa yang mereka lakukan di ranjang. Namun, Arcene membiarkan dirinya tenggelam dalam momennya karena dia juga menginginkannya. Entah mengapa, dia merasa bahwa menyerahkan dirinya kepada Light adalah caranya untuk meredam rasa sepi yang selama ini menjeratnya. Dia ingin menjadi Arcene yang berbeda dari biasanya. Bukan Arcene yang selalu sibuk bekerja keras dan mencari uang. Bukan Arcene sang penjaga kafe. “Celine,” gumam Light di sela-sela ciumannya, suaranya berat dengan hasrat yang terus meningkat. “Kau begitu memikat … aku tidak bisa menahan diriku untuk tak menyentuhmu, lagi dan lagi.” Arcene hanya tersenyum tipis, mengangkat tangannya untuk membelai pipi pria itu. “Nikmati aku selagi bisa,” katanya pelan. Ada nada sinis dalam suaranya yang tak bisa ditutupi. Light mengabaikan nada itu. Baginya, saat ini yang penting hanyalah mereka berdua. Ia merasa tidak pernah bertemu dengan wanita seperti Arcene sebelumnya—seorang wanita yang tidak hanya menarik, tetapi juga memiliki aura misterius yang membuatnya ingin terus mendekat. Penyatuan itu kembali terjadi. Mereka bergerak seirama dan menggoyangkan kembali ranjang besar itu. Mereka saling menyentuh, memeluk, menyesap, dan mendesah hingga memenuhi ruangan sepi itu. * * Setelah akhirnya mereka selesai, Arcene berbaring di samping Light dengan tatapan kosong ke langit-langit. Ia merasa tubuhnya masih berdenyut akibat sentuhan pria itu, tetapi pikirannya justru dipenuhi keraguan. Apa yang sedang dia lakukan? Mengapa dia membiarkan dirinya terjebak dalam situasi seperti ini? Light, di sisi lain, tampak santai. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh memeluk tubuh Arcene. Karena lelah, mereka pun akhirnya kembali tertidur karena hampir semalaman tak tidur. * * Arcene terbangun dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan. Pagi itu, sinar matahari yang mengintip melalui tirai jendela terasa terlalu terang, mengingatkan bahwa malam sudah lama berlalu. Meskipun baru tidur beberapa jam, tubuhnya terbiasa bangun pagi, terutama karena pekerjaannya yang mengharuskan dirinya bangun sebelum fajar menyingsing. Ia menggeliat pelan, mencoba tidak membuat suara. Di sebelahnya, Light masih tertidur dengan tenang. Lengan pria itu melingkar di tubuh Arcene, hangat dan protektif, seolah-olah dia tidak ingin wanita di sisinya pergi ke mana pun. Arcene menatap wajah pria itu—wajah yang begitu sempurna, dengan garis rahang yang tegas, kulit sedikit coklat karena sinar matahari, dan bibir yang tampak begitu memikat bahkan saat dalam tidur. Tetapi, semakin lama dia memandang, semakin sesak rasanya di dadanya. Arcene tahu betul bahwa ini tidak akan pernah menjadi kenyataan. Light adalah pria dari dunia yang berbeda. Dunia yang penuh kemewahan, status sosial tinggi, dan orang-orang yang jauh lebih pantas berada di sisinya. Sedangkan dirinya? Hanya seorang penjaga kafe yang kebetulan terseret ke dalam pesta topeng mewah ini karena kebetulan—atau mungkin takdir. ‘Apa yang kulakukan di sini?’ pikirnya. Perasaan menyesal dan malu mulai bergemuruh dalam dirinya. Ia tak seharusnya berada di kamar ini, apalagi di sisi seorang pria seperti Light. Jika Light tahu siapa dirinya sebenarnya, pria itu pasti tidak akan memandangnya dua kali, apalagi melibatkannya dalam momen-momen penuh gairah seperti malam tadi. * * Dengan perlahan, Arcene mengangkat tangan Light yang masih memeluknya. Ia menahan napas ketika Light bergerak sedikit dalam tidurnya, tetapi pria itu tidak terbangun. Arcene bangkit dari ranjang dengan hati-hati, memastikan setiap gerakannya tidak membuat suara. Ia berdiri di samping ranjang, memandangi Light sekali lagi. ‘Maaf, Light,’ gumamnya dalam hati. ‘Aku tidak bisa terlalu lama di sini. Waktuku sudah habis dan aku harus kembali ke realita kehidupanku.’ * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN