88. Masalah yang Belum Tuntas

2007 Kata

“Pelan-pelan, Sya.” Mas Dhika meringis, menahan sakit ketika pundaknya kukompres dengan air dingin. Pundaknya memar, seperti kena pukul dengan keras. Ini jelas bukan stang motor karena stang motor palingan hanya sepinggangnya. Entah apa benda yang mengenai pundaknya sampai memar seperti ini. “Sakit banget, Mas?” “Sakit aja, kalau banget enggak.” Terkahir, aku meletakkan kompres di pundak, lalu membiarkannya. Setelah itu, aku mengambilkan minum untuk Mas Dhika. Dia minum dengan patuh, lalu tersenyum. “Tenang aja, Sya. Aku baik-baik aja. Nanti juga hilang memarnya.” “Gimana aku mau tenang kalau suamiku kaya gini? Kalau yang keserempet pinggang, aku masih lebih lega karena anggap aja itu emang pengemudi random yang ugal-ugalan. Tapi pundak? Jauh banget jarak stang motor sama pundak. Itu

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN